Laras terbangun di tubuh wanita bernama Bunga. Bunga adalah seorang istri yang kerap disiksa suami dan keluarganya. Karna itu, Laras berniat membalaskan dendam atas penyiksaan yang selama ini dirasakan Bunga. Disisi lain, Laras berharap dia bisa kembali ke tubuhnya lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Elmu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tempat Apa Ini?
Berbeda dengan keberangkatan tadi. Suasana mobil hening. Laras menyandar lemas, seraya membuang tatapannya keluar. Gimana gak syok, ekspektasinya bukan cuma hancur. Tapi memang gak nyata. Rumah yang dianggap rumahnya ternyata bukan rumahnya. Wanita itu bukan mamanya. Mereka tidak mengenalnya. Jangankan bertemu dengan jiwa Bunga dan tubuhnya, dia malah disodorkan fakta kalau rumah itu dari dulu pemiliknya sama. Tadi memang dia sempat mengelak, mungkin saja mamanya pindah. Tapi faktanya, rumah itu dari dulu milik keluarga lain. Ah, bagaimana bisa? Laras meraup wajahnya, menghembuskan napas kasar.
Melihatnya, Aksa menyeringai tipis.
"Bagaimana, masih mau mencari mamamu?" ucapnya, dengan nada mengejek.
Laras menggumam tak jelas.
"Atau kita ke rumah sakit?"
Laras menarik wajahnya. "Ngapain? Gue udah sembuh."
Aksa manggut-manggut. Mengetuk jemarinya ke stir.
"Secara fisik mungkin iya. Tapi isi kepalamu tidak."
Laras mendecak. Lagi-lagi pria itu masih menuduhnya amnesia.
"Dibilangin gue ini bukan Bunga, kita cuma tukeran jiwa, kok ngeyel," gumamnya, menggerutu. Dia masih kesal gara-gara fakta tadi. Eh, Aksa malah membuat rasa kesalnya makin bertambah.
"Kamu itu masih terbawa mimpi."
"Mimpi apa? Orang gue gak tidur," sangkal Laras. Dia masih membuang pandangannya. Malas melihat pria di sampingnya. Bikin kesel aja.
"Kamu tahu, berapa hari kamu di rumah sakit?"
"Gak ada sehari. Pagi gue pingsan, sorenya gue bangun. Itu aja, tiba-tiba ada elo."
"Tiga hari."
Laras reflek menoleh. Menyorot Aksa kaget.
"Kamu koma selama tiga hari," jelas Aksa.
Laras mengerjap. "Ti-tiga hari? Ma-mana mungkin ... orang gue ..." dia menggantung ucapannya, bingung.
"Perlu lihat surat medis?" Tawar Aksa.
Laras diam. Berusaha mencerna.
"Ada mimpi dalam koma. Mungkin saja selama tiga hari kamu memimpikan kehidupan lain. Ya seperti yang sekarang kamu fikirkan. Namamu Laras, bukan Bunga. Tinggal di rumah tadi bersama mamamu. Tapi nyatanya? Rumah tadi milik keluarga lain sejak dulu. Dan tidak ada wanita yang kamu sebut mama."
Laras tak menyangkal. Aksa bisa jadi benar. Tapi dia masih menolak percaya. Memorinya terlalu nyata. Detail. Dan lengkap.
"Masih belum percaya?" Aksa mendapati kebimbangan gadis itu.
"Atau, kamu ada tempat lain yang ingin kamu kunjungi? Siapa tahu masih perlu bukti?"
Tawaran menarik. Laras mengangguk. Baiklah. Dia masih ada beberapa tempat untuk membuktikan kalau ini bukan mimpi. Tapi dia nyata Laras, bukan Bunga.
.
.
"Nadine? Disini tidak ada yang namanya Nadine."
"Hah? Apa sih? Orang aneh. Sejak kapan disini sekolahan? Salah tempat kali."
Bahkan ke kampus ....
"Nama anda tidak pernah terdaftar di kampus kami."
Laras memijat pelipisnya. Matanya terpejam. Pusing.
Dari sekian tempat yang dia datangi, rumah temannya, lokasi sekolahnya dulu, sampai dengan kampus dimana dia merasa masih menjadi mahasiswi disana pun, tidak memberinya jawaban memuaskan. Tidak ada nama Laras. Tidak ada Nadine, sahabatnya. Bahkan dia sempat diusir gara-gara bersikeras mendatangi sebuah rumah yang dia yakini tempat tinggal ayahnya. Aksa yang sedari tadi menjadi saksi, hanya mengamati gerak gerik gadis itu.
"Jadi ... Gue beneran mimpi?" dengkusnya kasar. Tak terima kenyataan.
"Menurutmu?" Aksa membalikkan pertanyaan. "Dari sekian bukti yang kamu cari, tidak ada yang sesuai, bukan?"
Laras mendesah pelan. Aksa benar. Dirinya seperti fiksi, identitasnya tidak di akui. Atau, jangan-jangan dia berasal dari dunia paralel? Aish! Pikiran apalagi itu. Laras mengacak kasar rambutnya sendiri. Dia frustasi.
"Tapi, gimana mungkin? Gue bahkan gak tahu tentang Bunga sama sekali," dirinya masih menyangkal.
"Karna kamu amnesia. Dokter sudah menjelaskan."
Laras mendecak kasar. Menatap pria di sampingnya dengan sorot tajam.
"Lo gak macem-macem kan sama gue?"
Aksa menaikkan sebelah alisnya.
"Gue masih perawan, kan?" ceplosnya, gamblang.
Aksa melirik sekilas. Terkekeh kecil.
"Pernikahan kita cuma pura-pura. Buat apa aku menyentuhmu?"
Laras bersidekap. "Ya siapa tahu. Lo diam-diam grepe-grepe gue. Namanya cowok, gak bisa dipercaya."
"Itu menurutmu."
"Dih, emang iya kali. Emang sejak kapan cowok bisa nahan nafsunya? Apalagi serumah berdua sama cewek. Diem-diem pegang-pegang kan gak tahu."
Sreet. Laras terhenyak. Hampir saja kepalanya membentur. Tiba-tiba saja Aksa menepikan mobilnya tanpa aba-aba.
"Gila lo! Kalau gue jantungan gimana? Huft ...." protesnya. Menepuk dadanya sendiri, menetralkan jantungnya yang hampir mencelos.
"L-lo .... Lo mau apa?" susah payah Laras menelan salivanya, gugup. Tanpa dia sadari keberadaan Aksa yang sangat dekat ke arahnya. Bahkan kalau saja dia bergerak sedikit saja, mungkin bibir mereka sudah bertabrakan tadi.
"Menurutmu?" Aksa memindai titik wajah yang menjadi pusat perhatiannya.
"Ja-jangan macam-macam!" ancam Laras, terbata.
Pria itu menyeringai. Mengunci pergerakan Laras dengan tangan kekarnya. Memangkas jarak hampir tak tersisa. Bahkan hembusan hangat deru napas keduanya saling menerpa wajah masing-masing.
"Daripada melakukannya diam-diam, bukankah lebih baik terang-terangan begini? Supaya kita bisa saling menikmati."
Merinding. Bulu kuduk Laras mendadak berdiri. Suara huski Aksa terdengar mengerikan. Tangan kekar sang pria bahkan terasa membelai pipinya. Reflek Laras memejamkan matanya, meremat pinggiran kursi yang didudukinya. Hingga ...
"Aaaww!!" Gadis itu menjerit spontan. Mengelus pipinya yang ditarik. Aksa kembali ke posisinya semula. Datar tanpa rasa bersalah.
"Kamu lihat, justru kamu yang menginginkan aku," ejek Aksara, menyeringai.
Laras mendecih. Mengusap lembut pipinya yang sempat molor. Sial, sakit sekali. Rasanya seperti bengkak.
"Dih. Mana ada. Jelas-jelas lo yang nafsuan," sahutnya tak terima.
Aksa terkekeh. "Buktinya kamu memejamkan mata. Kenapa? Berharap aku cium beneran?" ejeknya.
Laras mendecak. Memang sialan, sih. Ngapain dia pasrah kayak tadi. Harusnya dia dorong pria menyebalkan itu. Aish! Ini seperti bukan dirinya. Mendadak tubuhnya lemas, tadi. Bahkan, dia akui, jantungnya tiba-tiba berpacu kencang.
"Melihat reaksimu tadi, aku malah curiga. Jangan-jangan kamu yang suka mencari kesempatan," Aksa melirik.
"Ck! Nuduh. Enggaklah, mana mungkin."
"Mungkin saja. Kamu kan, lupa."
Laras membuang pandangan. Dia makin kesal. Bodohnya dia tertipu muslihat Aksa. Salahkan saja tubuh tak dikenalnya ini yang pasrah banget. Jangan-jangan Aksa benar, tubuh ini diam-diam suka cari kesempatan.
Dih, amit-amit. Jangan sampek!
Aksa kembali melajukan mobilnya. Tidak ada yang memulai percakapan ataupun perdebatan. Laras canggung, sedangkan Aksa menyeringai tipis, karna berhasil mengerjai gadis tersebut.
.
.
Laras merebahkan tubuhnya ke ranjang. Telentang. Menatap langit-langit kamarnya.
"Aiishh!!" mengacak rambutnya frustasi.
Alih-alih meratapi kegagalannya mencari informasi, malah dia terbayang-bayang kejadian di mobil tadi. Perlahan, tangannya meraba dada.
"Kenapa, jantung gue berdetak kencang banget tadi," gumamnya, bengong.
Iris legam Aksa yang biasanya tajam, tadi terlihat teduh. Pahatan hidung mancungnya semakin kokoh dilihat dari dekat. Bibir tipis yang sering menyungging smirk itu bahkan terlihat manis. Bulu halus dan juga kumis tipis menambah aura maskulin. Juga aroma khas Aksa tiba-tiba terasa akrab bagi indera penciumannya. Itu yang membuat tubuhnya tiba-tiba lemas dan pasrah. Bahkan berharap bibir manis itu menyentuhnya.
"Aaarrrh! Kayaknya lo mulai gila, Laras!" memukuli ranjang acak. "Cuma gitu doang, deg-degan. Iih!" rutuknya tak terima.
Laras meloncat duduk. Menatap lekat foto wanita yang tengah tersenyum di dinding.
"Heh, kamu!" tunjuknya. "Bisa gak sih, tubuhnya jangan reaksi kayak gitu. Gue bukan elo. Kalau lo cinta sama dia, jangan ajak-ajak gue. Nyebelin tahu, enggak!" kesalnya, mencak-mencak.
"Aissh!!" kembali menghempas kasar tubuhnya. Berguling-guling di ranjang.
Tanpa dia tahu, Aksa sedari tadi berdiam diri di depan pintunya. Niatnya hendak memanggil gadis itu, tapi dia urungkan mendengar ocehan gadis itu di dalam. Gurat tipis menghiasi bibirnya. Pria itu mengurungkan niatnya, dan berlalu.