Zharagi Hyugi, Raja ke VIII Dinasti Huang, terjebak di dalam pusara konflik perebutan tahta yang membuat Ratu Hwa gelap mata dan menuntutnya turun dari tahta setelah kelahiran Putera Mahkota.
Dia tak terima dengan kelahiran putera mahkota dari rahim Selir Agung Yi-Ang yang akan mengancam posisinya.
Perebutan tahta semakin pelik, saat para petinggi klan ikut mendukung Ratu Hwa untuk tidak menerima kelahiran Putera Mahkota.
Disaat yang bersamaan, perbatasan kerajaan bergejolak setelah sejumlah orang dinyatakan hilang.
Akankah Zharagi Hyugi, sebagai Raja ke VIII Dinasti Huang ini bisa mempertahankan kekuasaannya? Ataukah dia akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs Dream Writer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Terduga
Malam itu, Zharagi sedang mempelajari laporan di ruang pribadinya ketika seorang pengawal masuk tergesa-gesa. "Yang Mulia, Lady Ira dari Biara Shiyen telah tiba dan meminta audiensi," lapornya.
Zharagi mengerutkan kening. Biara Shiyen dikenal sebagai penjaga rahasia dan pengetahuan kuno, dan Lady Ira jarang keluar dari biara kecuali ada sesuatu yang sangat penting.
“Aku akan menemuinya di aula utama,” jawab Zharagi.
Namun, saat Zharagi bersiap untuk pergi, ia menyadari Tarei, yang biasanya selalu mendampinginya, menghilang. “Di mana Tarei?” tanyanya kepada pengawal.
“Kami tidak tahu, Yang Mulia. Dia pergi sejak sore tadi tanpa memberitahukan ke mana tujuan—”
Belum sempat pengawal menyelesaikan laporannya, Zharagi memotong, “Siapkan kudaku. Aku akan menemui Lady Ira sendiri.”
Zharagi memilih untuk berkuda sendirian menuju Biara Shiyen, merasa gelisah dengan ketidakhadiran Tarei dan alasan mendadak Lady Ira meminta bertemu. Jalanan malam gelap, hanya diterangi oleh sinar bulan dan lentera kecil di sepanjang jalur menuju biara.
Di tengah perjalanan, suara burung hantu dan desir angin membuat suasana semakin mencekam. Meski demikian, Zharagi tetap memacu kudanya. Ada firasat bahwa sesuatu yang besar akan terjadi, dan ia harus mengetahuinya secepat mungkin.
Di tempat lain, Tarei berdiri di hadapan Ratu Hwa yang tampak anggun namun tegas dalam balutan jubah putihnya. Meskipun berada dalam pengasingan, Hwa memancarkan aura seorang ratu yang tidak bisa diabaikan.
“Tarei,” ujar Hwa dengan suara dingin, “kau tahu kenapa aku memanggilmu.”
Tarei mengangguk, meskipun ragu. “Ya, Yang Mulia. Tapi apakah ini keputusan yang bijak? Jika Yang Mulia Raja mengetahuinya—”
“Zharagi tidak perlu tahu. Belum,” potong Hwa tegas. “Aku telah menyusun rencana ini selama bertahun-tahun, dan malam ini adalah waktu yang tepat untuk bertindak. Aku membutuhkan kau untuk membawa Raja keluar dari istana. Jauhkan dia dari para pengkhianat di dalam istana, karena mereka akan bergerak malam ini.”
Tarei mengerutkan kening. “Jadi, Yang Mulia sudah mengetahui siapa para pengkhianat itu?”
“Aku tahu,” jawab Hwa dengan dingin. “Dan aku juga tahu mereka sudah cukup lama memanipulasi Zharagi, membuatnya tidak mempercayaiku. Tapi malam ini, aku akan mengakhiri permainan mereka.”
Tarei terdiam sejenak, lalu menunduk hormat. “Baiklah, Yang Mulia. Aku akan memastikan Raja tidak berada di istana malam ini.”
Setelah perjalanan panjang, Zharagi akhirnya tiba di Biara Shiyen. Lady Ira sudah menunggunya di gerbang utama, ditemani dua pendeta biara.
“Yang Mulia, aku senang kau datang,” ujar Lady Ira sambil memberi hormat. “Kita tidak punya banyak waktu.”
“Apa yang terjadi, Lady Ira?” Zharagi bertanya, suaranya penuh ketegangan. “Dan di mana Tarei? Dia menghilang tanpa jejak.”
Lady Ira terdiam sejenak sebelum menjawab, “Tarei tidak mengkhianatimu, Yang Mulia. Dia sedang menjalankan perintah Ratu Hwa.”
Zharagi membeku. Nama Hwa seperti duri di hatinya, namun ia tak bisa mengabaikan rasa penasaran. “Apa maksudmu? Hwa tidak memiliki kekuasaan untuk memberikan perintah.”
Lady Ira tersenyum tipis. “Kau tidak tahu seberapa banyak yang telah ia korbankan untuk melindungimu. Ratu Hwa telah menyusun rencana untuk menggagalkan pemberontakan yang akan terjadi malam ini. Tapi untuk itu, kau harus keluar dari istana.”
“Pemberontakan?” Zharagi merasa dadanya bergetar. “Siapa yang terlibat? Dan mengapa Hwa—”
“Aku tidak bisa memberikan semua jawabannya sekarang,” potong Lady Ira. “Yang bisa kukatakan adalah ini: percayalah pada Ratu Hwa untuk satu malam saja. Kembalilah ke istana saat fajar tiba, dan kau akan melihat sendiri apa yang ia lakukan untuk menyelamatkan kerajaan ini.”
Zharagi ingin menuntut lebih banyak jawaban, tetapi tatapan Lady Ira membuatnya terdiam. Akhirnya, ia memutuskan untuk mempercayai kata-kata itu. Namun, rasa bersalah dan keraguan terus menghantui pikirannya. Apakah ia benar-benar telah salah menilai Hwa selama ini? Jika ya, bisakah ia menebus kesalahan itu?
Sementara itu, di istana Ratu Hwa, “Tarei, waktunya telah tiba,” katanya.
“Apa maksud Yang Mulia?” Tarei bertanya dengan hati-hati.
“Aku membutuhkanmu untuk membawa Zharagi keluar dari istana malam ini,” jawab Hwa. “Aku tahu dia mempercayaimu. Ini akan memberiku waktu untuk menyelesaikan masalah para pengkhianat di dalam istana.”
Tarei tertegun. “Yang Mulia, jika rencana ini gagal, Raja mungkin akan melihat Anda sebagai ancaman.”
Hwa menatapnya dengan mata penuh keyakinan. “Aku lebih baik dihukum oleh Zharagi daripada membiarkan para pengkhianat menghancurkan kerajaan ini.”
Kembali ke biara, Lady Ira mencoba mengalihkan perhatiannya dengan percakapan santai, tetapi gelisah Zharagi tak bisa disembunyikan.
“Yang Mulia,” kata Lady Ira lembut, “mungkin ada hal yang tidak Anda pahami tentang Ratu Hwa. Terkadang, keputusan yang tampak kejam adalah bentuk cinta yang paling tulus.”
Zharagi menatapnya, terdiam. Kata-kata itu menggema dalam pikirannya.
Di istana, Ratu Hwa memimpin pasukan kecilnya untuk menyergap para pengkhianat yang berkumpul di aula belakang. Para pejabat tinggi yang selama ini ia curigai akhirnya menunjukkan wajah aslinya.
“Ratu Hwa, Anda tidak seharusnya berada di sini,” ujar salah satu dari mereka, berusaha mempertahankan topeng kepatuhannya.
Namun Hwa hanya tersenyum dingin. “Cukup. Aku sudah tahu semuanya. Kalian telah merencanakan ini sejak lama, bukan?”
Prajurit setia Hwa menyerbu ruangan, dan pertempuran sengit pun terjadi. Meskipun jumlah pasukan Hwa lebih sedikit, mereka bertarung dengan semangat tinggi. Hwa sendiri menunjukkan keahlian luar biasa dengan busur dan pedangnya, menjatuhkan musuh satu per satu.
Namun, salah satu pengkhianat berhasil melarikan diri dengan membawa dokumen penting. Hwa mengejarnya hingga ke lorong sempit dekat perpustakaan istana.
“Berhenti!” serunya.
Pengkhianat itu berbalik, terpojok. “Kau mungkin menang malam ini, Hwa, tapi Zharagi tidak akan pernah memaafkanmu!”
Hwa mendekat, menodongkan pedangnya. “Aku tidak peduli jika dia memaafkanku atau tidak. Tugas utamaku adalah melindungi kerajaan ini, meskipun itu berarti melawannya.”
Dengan sekali tebas, Hwa merebut kembali dokumen itu dan menuntaskan perlawanan.
Saat fajar menyingsing, Zharagi kembali ke istana, didorong oleh firasat kuat. Ia mendapati halaman utama penuh dengan prajurit yang terluka, sementara para pengkhianat dirantai dan berlutut di depan istana.
Di tengah kerumunan itu, ia melihat Hwa berdiri tegak, meski tubuhnya terlihat lelah. Darah menghiasi jubahnya, namun matanya tetap tajam.
“Hwa…” Zharagi mendekatinya dengan campuran emosi—kebingungan, kekaguman, dan kemarahan. “Apa yang kau lakukan?”
Ratu Hwa membungkuk hormat. “Aku telah menghentikan para pengkhianat sebelum mereka sempat menghancurkan kerajaan ini, Yang Mulia.”
Zharagi terdiam, memandang ke arah para pejabat yang ia percayai selama ini. Perlahan, ia mulai menyadari bahwa Hwa telah melindunginya dengan cara yang tak pernah ia duga.
“Kenapa kau tidak memberitahuku?” tanyanya dengan suara bergetar.
Hwa menatapnya dengan lembut. “Karena aku tahu kau tidak akan mempercayaiku. Tapi aku tidak butuh kepercayaanmu untuk melakukan apa yang benar.”
Zharagi hanya bisa mengangguk, menyadari bahwa malam itu, Hwa telah menyelamatkan lebih dari sekadar kerajaan. Ia menyelamatkan kepercayaan Zharagi pada dirinya sendiri.
Dengan nada tegas, Zharagi berkata, “Mulai hari ini, kita akan berjuang bersama. Aku tidak akan lagi meragukanmu.”
Hwa tersenyum samar. “Itu yang aku butuhkan darimu, Yang Mulia.”