Celia adalah seorang ibu tunggal yang menjalani kehidupan sederhana di kota Bandung. Setiap hari, dia bekerja keras di toko perkakas milik ayahnya dan bekerja di bengkel milik seorang kenalan. Celia dikenal sebagai wanita tangguh, tapi ada sisi dirinya yang jarang diketahui orang, sebuah rahasia yang telah dia sembunyikan selama bertahun-tahun.
Suatu hari, teman dekatnya membawa kabar menarik bahwa seorang bintang basket terkenal akan datang ke kota mereka untuk diberi kehormatan oleh walikota dan menjalani terapi pemulihan setelah mengalami cedera kaki. Kehebohan mulai menyelimuti, tapi bagi Celia, kabar itu adalah awal dari kekhawatirannya. Sosok bintang basket tersebut, Ethan Aditya Pratama, bukan hanya seorang selebriti bagi Celia—dia adalah bagian dari masa lalu yang telah berusaha dia hindari.
Kedatangan Ethan mengancam untuk membuka rahasia yang selama ini Celia sembunyikan, rahasia yang dapat mengubah hidupnya dan hidup putra kecilnya yang telah dia besarkan seorang diri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DENAMZKIN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENCARI PERTOLONGAN
Dewi berdiri di ruang tamu sambil menatap layar televisi yang menampilkan kekacauan di depan sekolah. Ruang tamu itu sunyi. Ethan duduk di sofa, sementara ibu dan ayahnya duduk di sofa lain, menonton dengan sedih saat Celia berusaha memasukkan cucu mereka ke dalam mobil.
"Kevin, tolong telepon polisi setempat dan minta mereka menempatkan mobil di depan rumah. Aku ingin para reporter itu menjauh dari halaman, setidaknya sepuluh meter," kata Dewi sambil mengambil ponselnya.
"Apa yang akan kita lakukan?" tanya Maria sambil menggenggam tangan Eddie. "Rion pasti ketakutan."
Eddie menatap putranya, lalu kembali melihat ke layar. Sejak mendengar berita itu, dia belum mengucapkan sepatah kata pun kepada Ethan. Dia terus memandangnya dengan kecewa sambil menggenggam tangan istrinya. Ethan bersandar di sofa, merasa tak berdaya, menyaksikan mobil itu meninggalkan trotoar depan sekolah.
Ethan bangkit dari sofa, merasa perlu bergerak agar darahnya mengalir. Pergelangan kakinya terasa kaku, dan dia berjalan terpincang-pincang ke jendela untuk melihat beberapa orang yang ada di halaman rumahnya. Semua ini salahnya. Seharusnya dia lebih hati-hati saat makan malam bersama Celia malam itu. Siapa pun bisa saja mendengar, dan berita seperti ini pasti tidak akan diabaikan.
Ethan berbalik, memperhatikan ayahnya yang juga bangkit berdiri.
"Aku akan mengambil senapan. Itu pasti akan membuat mereka menjauh dari halamanku," kata ayahnya sambil berjalan ke belakang rumah.
Dewi menutup ponselnya dengan satu tangan. "Dia bercanda, kan?" tanyanya sambil menatap Ethan.
"Tidak," jawab Ethan sambil meringis saat mencoba memutar pergelangan kakinya dengan hati-hati.
"Hati-hati," kata Kevin, yang baru saja menutup telepon dan berjalan melintasi ruangan. "Ayo, kita harus mengendurkan ototmu. Stresmu tidak akan membantu."
“Dia tidak akan stres kalau dia tidak membuat kekacauan ini,” kata Dewi dengan nada kesal sebelum kembali ke panggilan teleponnya.
Ethan menghela napas panjang dan menoleh ke ibunya yang duduk sambil memijat pelipisnya. Ethan mengangguk ke arah Kevin, lalu mereka berjalan ke ruang makan agar Ethan bisa duduk di kursi. Setelah dua puluh menit menahan rasa sakit ringan sambil melihat Dewi melakukan panggilan telepon tanpa henti, bel pintu berbunyi. Maria pergi untuk membukanya, ditemani Eddie yang membawa senapan di tangannya.
Ketika pintu terbuka, Celia berdiri di depan pintu dengan putranya yang dibungkus dalam selimut di pelukannya.
“Kami butuh bantuan,” katanya.
Eddie mengarahkan senapan ke luar, mengusir reporter dan paparazzi yang nekat mendekat. Maria tersenyum lembut dan mempersilakan mereka masuk. Begitu pintu ditutup dan Eddie mengunci pintu dengan rantai pengaman tambahan, dia berbalik bersama yang lainnya, menatap Celia. Tidak ada yang tahu harus berkata apa saat melihatnya berdiri di sana, tubuhnya berlumuran minyak dan keringat, dengan putranya yang masih terbungkus selimut di tangannya.
“Berapa banyak orang yang kamu beri tahu?” tanya Dewi sambil menyilangkan tangannya.
“Hanya dua, dan mereka tidak mengatakan apa-apa,” jawab Celia sambil menurunkan Rion.
“Jadi ada burung merpati yang menelepon para reporter itu?” Dewi menatap frustrasi.
Celia membuka selimut yang membungkus Rion, menggulungnya menjadi bola, lalu melemparkannya ke lantai. Dia kemudian menutup kedua telinga putranya dan memandang Dewi dengan tatapan kesal.
“Bukan, tapi Ivan yang melakukannya,” katanya sambil menatap Ethan yang kini berdiri. “Dia mendengar percakapan kita malam itu, dan karena aku menolak tidur dengannya, dia menjual cerita itu seharga dua ratus juta.” Celia berbisik, lalu kembali menatap Dewi.
“Aku akan sangat menghargai jika kamu bisa menjaga mulutmu sampai putraku keluar dari ruangan ini,” lanjutnya dengan suara rendah tapi penuh ketegasan, tatapannya tajam ke arah Dewi. “Aku belum menemukan cara terbaik untuk memberitahunya.”
Ekspresi wajah Dewi melunak, dan lengannya yang tadinya menyilang kini turun.
"Aku minta maaf." Ujar Dewi
"Kamu bisa menginap di sini malam ini," kata Maria sambil melangkah maju. "Kami tidak akan membiarkanmu kembali ke sana sendirian."
"Terima kasih," ucap Celia sambil membuka tangan dari telinga Rion. Rion menatap ke atas dan mengamati ruangan itu.
"Kita di mana Mommy?"
"Kamu ada di tempat yang aman, dan namaku Maria, tapi kamu bisa memanggilku nenek," kata Maria sambil membungkuk untuk meraih tangannya. "Kamu lapar?"
Rion menatap ibunya, dan Celia mengangguk dengan senyum sopan, memberi isyarat bahwa semuanya baik-baik saja. Rion kembali menatap Maria dan mengangguk.
"Bagaimana kalau aku buatkan sandwich keju panggang dan segelas jus apel?" tawar Maria dengan senyum.
Rion mengangguk dengan antusias, lalu mengikuti Maria ke dapur, meninggalkan para orang dewasa di ruang depan. Setelah mereka benar-benar pergi dan tidak bisa mendengar pembicaraan, Celia meremas buku jarinya. Adrenalin yang sempat memuncak kini mulai mereda, dan rasa sakit dari pukulan sebelumnya mulai terasa.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Ethan, khawatir seseorang telah menyakitinya.
"Ya," jawab Celia sambil menggoyangkan tangannya untuk mengurangi rasa sakit, kemudian menatap Dewi.
"Kamu bisa membantu kami atau tidak?"
Ethan terpincang-pincang mendekatinya dan mengambil tangannya, mengangkatnya untuk memeriksa.
"Tanganmu bengkak."
"Wajahmu juga akan bengkak kalau kamu menyentuhku lagi," kata Celia sambil menarik tangannya dari genggamannya.
"Aku menyukainya," kata Eddie sambil mendorong tubuhnya dari pintu. "Aku akan mengambilkan es batu."
Dewi menghela napas panjang dan menatap Celia dari atas ke bawah. Wanita itu mengenakan jumper biru, seragam kerjanya, dengan lengan dan wajah penuh noda minyak dan kotoran. Jumper itu diikat di pinggang, memperlihatkan tank top putih yang sudah kusam dan kotor. Rambutnya berantakan, beberapa helai keluar dari tempatnya, dan wajahnya tampak tegang.
"Ini akan sulit," ujar Dewi.
"Sudah sulit bahkan sebelum pernikahanku" kata Ethan dengan wajah muram, tetap menjaga jarak dari Celia.
"Kamu dan Dina sudah menikah selama sembilan tahun, Ethan. Anak ini berusia sembilan tahun," kata Dewi sambil menggeleng. "Ini terlihat buruk. Ini seperti kamu meninggalkan anakmu, berselingkuh dari Dina dengan seseorang yang tampak seperti—"
"Hei," potong Celia sambil maju dengan marah, tapi Kevin segera memegang lengannya untuk menahannya.
"Sayang, bisa tidak kita gunakan deskripsi yang lebih sopan?" sela Kevin dengan lembut.
Dewi menghela napas lagi dan menyilangkan tangannya.
"Kita perlu melakukan tes DNA."
"Tidak," jawab Celia sambil menghempaskan tangan Kevin. "Aku tidak ingin anakku menjadi bagian dari semua ini. Cukup katakan saja dia bukan anakmu dan anggap ini kesalahpahaman," katanya sambil menatap Ethan.
"Kamu tidak berencana memberi tahu apapun pada Rion, bukan?" tanya Ethan, dengan kemarahan mulai terdengar dalam suaranya.
"Aku pikir itu tidak perlu. Lagipula, kamu tidak akan menyerahkan reputasi dan kariermu, kan? Aku lebih memilih ini diselesaikan secara diam-diam daripada menyeretnya ke dalam kekacauan ini tanpa alasan," jawab Celia dengan tegas.
Eddie kembali ke ruangan dengan sekantong es.
"Ini, coba kompres dengan ini," katanya sambil menggunakan kain untuk membungkus es dan memberikannya kepada Celia.
“Aku ingin menjadi ayahnya,” kata Ethan dengan suara tenang, sementara orang di ruangan itu yang tengah menyaksikan Eddie mengompres tangan Celia dengan es memutar kepalanya ke arah Ethan saat dia mengatakan hal yang mengejutkan.