NovelToon NovelToon
Serat Wening Ening Kasmaran

Serat Wening Ening Kasmaran

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Mengubah Takdir
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: RizkaHs

Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.

Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ꦠꦸꦗꦃ

Mekani lemah, mekani gampang diserang.

ꦱꦶꦗꦸꦤꦸꦁ ꦢꦼꦠꦸꦁ ꦧꦱꦸꦁ

Memasuki abad ke-17

Pada suatu sore yang suram, di sebuah ruang yang dipenuhi dengan aroma tembakau dan keheningan, percakapan antara dua prajurit militer berlanjut, menciptakan ketegangan yang mengalir di udara. Di luar jendela, langit mulai memerah, mengingatkan mereka akan medan perang yang menanti.

"Aku rasa aku sudah lelah harus benar-benar bergaul dengan para pribumi ini," ujar salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh tegap dengan wajah keras, seolah-olah kata-katanya telah terkumpul sejak lama. "Bukankah ini terlihat hina jika warga negara kita mengetahuinya?" suaranya penuh keputusasaan, mencerminkan ketegangan yang menggerogoti hati dan pikirannya.

Rekan di hadapannya, seorang pria dengan kumis tebal dan ekspresi cemas, mengangguk pelan, menatap lurus ke depan seolah berpikir keras. "Benar juga," jawabnya dengan suara yang lebih tenang, tetapi tetap mengandung nada kesal, "tapi kita masih belum bisa melakukan penyerangan. Kita harus membuat strategi, persiapan yang matang, dan kita juga harus melakukan pelatihan terampil untuk menyerang pribumi itu."

Percakapan tersebut terdengar semakin tajam, seperti pedang yang terhunus di udara. Mereka bukan hanya mempersiapkan pertempuran fisik, namun juga perang batin yang lebih dalam: antara perintah yang harus dilaksanakan dan perasaan pribadi yang semakin ragu.

"Namun, sampai kapan kita begini terus?" tanya prajurit yang lebih muda, matanya mulai menunjukkan kelelahan yang tidak hanya fisik, tetapi juga mental. "Tidak ada perubahan, semuanya hanya berputar-putar di tempat."

Pria berwajah lebih tua itu menghela napas panjang, tampak berpikir sejenak. "Aku tidak tahu," katanya dengan suara yang lebih pelan, "Vanwilsen punya alasan sendiri untuk menahan kita. Dia yang memimpin, dia yang menentukan kapan saatnya kita bertindak." Ada kekesalan yang terpendam dalam suaranya, namun ia tak bisa berbuat banyak.

"Ya, tapi sampai sekarang dialah yang belum datang ke mari," balas prajurit muda itu, suaranya semakin keras, tak bisa menahan rasa frustasinya. "Kita hanya menunggu dan menunggu, sementara keadaan semakin tidak menentu."

Rekan yang lebih tua itu menunduk, tampak berpikir lebih dalam. "Kau tahu, negara kita juga masih dalam krisis. Jangan sampai semua ini terulang untuk kedua kalinya," ujarnya dengan nada serius, seolah memperingatkan, menyentuh masalah yang lebih besar dari sekadar perbedaan dengan pribumi yang mereka hadapi.

"Jangan kita terlena," lanjutnya, "kita berada di ujung jurang. Persiapkan dirimu, karena saat serangan dimulai, semuanya bisa berubah dalam sekejap. Semua yang kita usahakan selama ini bisa hancur begitu saja."

Dalam keheningan yang melingkupi ruangan itu, kedua prajurit terdiam sejenak. Pikiran mereka berlarian jauh, membayangkan kemungkinan yang belum jelas, tetapi rasa takut akan kegagalan dan kehancuran mulai menyalakan keteguhan baru dalam diri mereka. Dunia yang mereka kenal tak lagi sama, dan setiap langkah selanjutnya terasa seperti mengambil keputusan yang akan menentukan nasib mereka dan nasib negara mereka.

Perlahan, suara langkah kaki terdengar dari luar. Mereka tahu bahwa keputusan besar semakin dekat, dan mereka akan segera dihadapkan pada kenyataan yang tak bisa mereka hindari.

Malam itu, di Balairung Agung Kerajaan Mataram, suasana terasa hening namun sarat dengan ketegangan. Pendar obor yang menggantung di tiang-tiang kayu jati menerangi ruangan dengan temaram, memantulkan bayangan di dinding-dinding megah. Raja Mataram, Sultan Agung, duduk di singgasananya dengan wajah penuh wibawa, namun ada gurat kekhawatiran di matanya. Para menteri dan panglima telah berkumpul, mengenakan pakaian kebesaran mereka, menunggu aba-aba dari sang raja untuk memulai musyawarah.

Sultan Agung membuka pembicaraan dengan suara tegas, "Para menteri dan panglima, malam ini kita berkumpul bukan untuk hal sepele. Belanda, yang mengaku sebagai tamu di tanah kita, kini menunjukkan wajah aslinya. Mereka bertindak arogan, memaksakan kehendak, dan merendahkan martabat kita. Apakah ini harus terus kita biarkan?"

Seorang menteri senior, Patih Danurejo, menundukkan kepalanya sejenak sebelum bersuara. "Gusti Sultan, perilaku Belanda memang kian tak dapat diterima. Mereka bukan hanya ingin berdagang, tetapi perlahan ingin menguasai. Namun, melawan mereka bukan perkara mudah. Kekuatan mereka besar, dan senjata mereka jauh lebih maju dari milik kita."

Panglima Wiraguna, yang terkenal sebagai sosok berani, segera menyahut. "Ampun, Gusti. Hamba rasa kita tidak perlu takut pada mereka. Semangat dan keberanian prajurit Mataram jauh lebih kuat dibandingkan besi-besi mereka. Dengan izin Paduka, hamba siap memimpin pasukan untuk mengusir mereka dari bumi Mataram."

Sultan Agung mengangguk pelan, tetapi matanya tetap tajam menatap para bawahannya. "Aku menghargai keberanianmu, Wiraguna. Namun, kita harus bertindak bijak. Tidak cukup hanya dengan semangat, kita butuh strategi. Jika kita bertindak gegabah, negeri ini justru akan jatuh dalam kekacauan."

Menteri lain, Tumenggung Martapura, mengangkat tangannya untuk berbicara. "Gusti Sultan, mungkin kita bisa memanfaatkan kelemahan mereka. Belanda tidak mengenal medan di tanah kita sebaik kita. Jika perang harus terjadi, kita bisa menggunakan tipu muslihat dan menjebak mereka di tempat-tempat yang menguntungkan kita."

Suasana kembali hening sejenak. Sultan Agung mengusap janggutnya, merenungi saran-saran yang telah disampaikan. Akhirnya, ia bersuara lagi dengan nada penuh kewibawaan.

"Jika demikian, kita akan siapkan strategi perang yang matang. Namun ingat, kita tidak hanya berperang dengan senjata, tetapi juga dengan akal dan keberanian. Biarlah mereka tahu bahwa Mataram tidak akan tunduk pada kesewenang-wenangan. Malam ini, aku ingin kalian semua mempersiapkan rencana. Besok pagi, aku ingin mendengar hasil pemikiran kalian."

Para menteri dan panglima serentak menundukkan kepala, "Sendika dawuh, Gusti Sultan."

Setelah semua menunduk memberi hormat, suasana kembali lengang. Hanya suara api obor yang berderak memecah keheningan. Namun, tak lama, Patih Danurejo kembali mengangkat suaranya, pelan namun penuh kehati-hatian.

"Jika Paduka berkenan, izinkan hamba menambahkan. Selain kekuatan militer, Belanda memiliki kecerdikan dalam membujuk hati. Mereka pandai memecah belah, menawarkan hadiah untuk melemahkan kesetiaan. Hamba khawatir, jika tidak berhati-hati, ada yang akan terpengaruh oleh tipu muslihat mereka."

Sultan Agung menatap tajam, mata seperti elang yang mengawasi mangsa.

"Siapa yang kau curigai, Patih? Jangan berbicara setengah-setengah. Jika ada pengkhianat di dalam barisan kita, sebutkan namanya."

Patih Danurejo segera menunduk lebih dalam.

"Hamba tidak bermaksud menuduh siapa pun, Gusti. Hanya mengingatkan agar kita semua tetap waspada. Godaan emas dan kekuasaan sering kali membuat manusia lupa pada tanah airnya."

Panglima Wiraguna menimpali dengan nada lebih keras.

"Jika ada yang berani berpaling dari Mataram, biarkan pedangku yang bicara! Hamba tidak akan memberi ampun kepada mereka yang berkhianat kepada Paduka dan negeri ini."

Tumenggung Martapura mencoba menenangkan situasi.

"Tenang, Wiraguna. Kita di sini untuk mencari solusi, bukan saling mencurigai. Namun, Danurejo benar. Belanda punya banyak cara untuk melemahkan musuhnya tanpa harus bertempur. Kita perlu memperkuat persatuan di antara rakyat dan prajurit kita."

Sultan Agung mengangguk pelan, suara beratnya kembali menggema di Balairung.

"Kalian semua benar. Persatuan adalah kunci. Karena itu, aku perintahkan agar para pemimpin daerah dipanggil ke istana secepatnya. Kita perlu memastikan mereka tetap setia pada Mataram. Danurejo, kau yang akan mengatur pemanggilan ini."

Patih Danurejo membungkuk hormat.

"Hamba akan segera melaksanakan titah Paduka."

Panglima Wiraguna kembali angkat bicara, suaranya kali ini lebih rendah namun tetap tegas.

"Gusti Sultan, izinkan hamba mengajukan usul. Sambil menunggu rencana besar kita tersusun, bagaimana jika pasukan kecil kita dikirim untuk mengawasi pergerakan Belanda? Mereka tidak boleh diberi kesempatan untuk menyusun kekuatan lebih besar di tanah kita."

Sultan Agung memandang Wiraguna dengan penuh pertimbangan. Setelah beberapa saat, ia mengangguk.

"Usulmu baik, Wiraguna. Bentuklah pasukan pengintai, pilih prajurit terbaik yang mampu bergerak cepat dan tidak mudah terdeteksi. Laporkan setiap gerak-gerik Belanda kepadaku."

"Sendika dawuh, Gusti!" Panglima Wiraguna menyentuh lantai dengan kedua tangannya sebagai tanda penghormatan.

Sultan Agung berdiri dari singgasananya, wajahnya memancarkan ketegasan yang luar biasa.

"Baiklah, malam ini cukup sampai di sini. Esok pagi kita lanjutkan pembahasan ini dengan rencana yang lebih matang. Ingat, kedaulatan Mataram ada di tangan kita. Jangan sampai sejarah mencatat kita sebagai generasi yang gagal menjaga kehormatan negeri ini."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!