Dicampakkan saat sedang mengandung, itu yang Zafira rasakan. Hatinya sakit, hancur, dan kecewa. Hanya karena ia diketahui kembali hamil anak perempuan, suaminya mencampakkannya. Keluarga suaminya pun mengusirnya beserta anak-anaknya.
Seperti belum puas menyakiti, suaminya menalakknya tepat setelah ia baru saja melahirkan tanpa sedikitpun keinginan untuk melihat keadaan bayi mungil itu. Belum hilang rasa sakit setelah melahirkan, tapi suami dan mertuanya justru menorehkan luka yang mungkin takkan pernah sembuh meski waktu terus bergulir.
"Baiklah aku bersedia bercerai. Tapi dengan syarat ... "
"Cih, dasar perempuan miskin. Kau ingin berapa, sebutkan saja!"
"Aku tidak menginginkan harta kalian satu sen pun. Aku hanya minta satu hal, kelak kalian tidak boleh mengusik anak-anakku karena anakku hanya milikku. Setelah kami resmi bercerai sejak itulah kalian kehilangan hak atas anak-anakku, bagaimana? Kalian setuju?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sekretaris vs Bos
Termenung sendirian di pojok sebuah cafe yang ada di hotel tempatnya menginap, itu yang Refano lakukan saat ini. Entah mengapa, hatinya begitu hampa. Padahal hari ini adalah hari pernikahannya. Bahkan tadi ia sudah mengikrarkan ijab Kabul sebagai tanda Saskia kini telah resmi menjadi istrinya. Tapi mengapa, ia tetap saja hampa. Tidak merasakan kebahagiaan seperti yang sering orang-orang gaungkan kalau pernikahan itu bisa membuat perasaan bahagia. Hatinya begitu kosong, bahkan seperti ada sesuatu yang hilang, tapi apa ia tak tahu.
Sebenarnya, ia pun tak menghendaki pernikahan ini. Seandainya Saskia tidak hamil, mungkin ia takkan pernah menikah dengannya sebab ia tidak memiliki perasaan apapun pada perempuan itu. Namun satu kejadian meluluhlantakkan semua, membuatnya terpaksa mengikat perempuan itu dalam ikatan tali pernikahan.
Saat sedang tercenung, tiba-tiba sorot mata penuh luka Zafira melintas di benaknya hingga membuatnya tersentak. Refano mengusap wajahnya kasar, mengapa ia bisa tiba-tiba terbayang perempuan itu, pikirnya.
'Kenapa aku terbayang wajahnya lagi? Hah, menyebalkan!' batinnya lalu ia mengangkat cangkir berisi kopi miliknya dan segera menandaskannya.
...***...
"Gimana nak hasil pertemuanmu dengan Nova?" tanya Bu Mayang sambil meletakkan sepiring pisang goreng di hadapan Zafira.
"Nova akan bantu, Bu. Dia mau bilang sama bos nya dulu. Doain ya, Bu, semoga aja bos nya mau mempekerjakan Fira," ujar Zafira seraya mengulas senyum.
Bu Mayang mengulas rambut Zafira dengan sayang, "pasti. Doa ibu selalu menyertaimu, nak," ujarnya dengan senyum hangatnya.
"Oh ya, Bu, tadi Fira juga mampir ke sekolah Regina. Fira mau urus surat pindah, tapi pemilik yayasan malah kasih beasiswa biar Regina tetap sekolah di sana. Fira benar-benar nggak nyangka," tutur Zafira dengan mata berbinar.
"Alhamdulillah, rejeki anak sholehah ya gitu, nggak disangka -sangka."
"Ibu benar. Tapi Bu ... "
"Ya ... " Bu Mayang mengerutkan keningnya saat melihat ekspresi gusar sang anak.
"Kalau Fira udah diterima kerja, kan nggak mungkin Fira bolak-balik pulang pergi dari sini, sekolah Regi juga kan di sana. Kalau kita ngontrak aja gimana, Bu?" Zafira meminta pendapat sang ibu. Bagaimana pun, Bu Mayang adalah ibunya. Tidak mungkin ia meninggalkan ibunya seorang diri di sini.
"Terus rumah ini?" gusar Bu Mayang. Bukan tanpa alasan, rumah itu menyimpan banyak kenangan. Rumah itu dibangun ayah Zafira dengan setiap tetes keringatnya. Tentu ia khawatir meninggalkan rumahnya begitu saja.
"Kan bisa kita sewakan, Bu. Tapi itu terserah ibu, kalau ibu maunya aku bolak-balik ke sini, ya apa boleh ... "
"Ya sudah, mana baiknya saja, ibu setuju. Ibu juga nggak mungkin kan membiarkan kamu bolak-balik kesana kemari, sedangkan lama perjalanan dari sana kemari saja hampir 3 jam. Waktu kamu bisa habis di jalan kalau begitu." Ujar Bu Mayang bijak membuat Zafira tersenyum bahagia.
"Makasih ya, Bu. Entah apa jadinya Fira kalau ibu nggak ada. Fira pasti bakal seperti anak ayam kehilangan induknya." Ujar Zafira sambil terkekeh, namun netranya tak mampu menutupi raut kesedihannya.
"Sssttt ... nggak boleh ngomong gitu. Kamu itu anak ibu satu-satunya, amanah ayah kamu, sebelum kamu bahagia, ibu akan selalu ada untukmu," sergah Bu Mayang sambil mengusap punggung tangan Zafira. "Oh ya Ra, kenapa kamu nggak urus sendiri aja gugatan perceraian kalian apalagi laki-laki itu sudah menikah lagi, kan bisa kamu gugat dia duluan, daripada repot-repot nunggu dia ceraikan kamu setelah melahirkan," ujar Bu Mayang memberikan saran tapi respon Zafira justru sebuah helaan nafas panjang membuat dahi Bu Mayang berkerut.
"Gimana Fira mau gugat, Bu, pernikahan kami aja nggak tercatat di kantor urusan agama," jawab Zafira membuat Bu Mayang membeliakkan matanya.
"Mak-maksudnya?"
"Ternyata selama ini Fira hanya dinikahi secara siri, Bu. Mas Refano nggak pernah mendaftarkan pernikahan kami "
"Kenapa begitu? Kenapa kamu selama ini tidak cerita ke ayah dan ibu kamu sih nak?" Nafas bu Mayang rasa tercekat saat mengetahui fakta tak terduga ini.
"Fira juga belum lama taunya, Bu. Waktu itu sekolah minta fotokopi akta kelahiran Regina,. karena belum ada, Fira mau coba urus, ternyata mau buatnya kan butuh surat nikah. Toh selama ini aja Fira nggak pernah liat surat nikah kami, jadi Fira coba cari ternyata memang pernikahan kami nggak terdaftar sama sekali, Bu. Sampai hati mereka mempermainkan perasaan Fira. Mereka begitu kejam, Bu., mereka ... "
Mendengar nafas sang anak tercekat, Bu Mayang pun segera mendekapnya untuk memberikan ketenangan. Zafira memejamkan matanya, kenapa air mata ini terus saja mendesak untuk keluar padahal sebisa mungkin sudah ia tahan, tapi mereka masih saja mendesak untuk keluar.
Bu Mayang memejamkan matanya, lidahnya kelu, entah kata apa pagi yang bisa ia ucapkan untuk menguatkan. Hanya pelukan yang bisa ia berikan, berharap dengan begitu putrinya dapat sedikit lebih tenang.
...***...
"Bos, ini berkas yang kamu pinta," ujar Nova seraya menyodorkan berkas ke hadapan Alvian Altakendra, sang atasan.
"Hmmm ... " Alvian hanya berdeham tanpa mengangkat wajahnya sedikitpun.
"Oh ya, bos, perkara sekretaris pengganti, saya sudah mendapatkannya," ujar Nova sebelum keluar dari ruangan Alvian.
Mendengar penuturan itu, Alvian segera menghentikan jemarinya yang sibuk menari di atas keyboard dan mendongakkan wajahnya.
"Kau sudah menyeleksinya? Siapa?" tanya Alvian. Ia pikir, orang yang direkrut Nova merupakan salah satu pekerja di Alta Corp.
"Namanya Zafira."
"Hah! Zafira? Dari divisi mana?"
"Bukan dari divisi mana-mana."
"Maksudnya?"
"Ekhem ... " Nova berdeham terlebih dahulu sebelum menjelaskan. "Zafira itu sahabat saya, bos. Tidak berasal dari divisi manapun."
"Bagaimana bisa kau mengambil keputusan tanpa bertanya terlebih dahulu? Apa dia sudah melamar pekerjaan di sini?"
Nova menggeleng, "maaf kalau saya lancang, tapi saya yakin dia bisa melaksanakan tugasnya dengan baik nanti. Sebelum saya benar-benar pergi, saya akan membimbingnya terlebih dahulu. Oh ya, dia belum pernah melamar kerja di sini sebelumnya, bos."
"Jadi dia kerja di sini lewat jalur nepotisme, begitu?" Mata Alvian melotot tak percaya dengan sekretarisnya yang mengambil keputusan seenaknya sendiri.
"Jangan sebut dia gitu lah, pak. Saya mohon, boleh ya, pak! Dia butuh banget pekerjaan ini!" ujar Nova seraya memasang wajah memelas.
"Kau pikir hanya dia yang butuh pekerjaan? Semua orang juga butuh, Nova. Nggak. Aku nggak mau terima karyawan asal-asalan. Gimana kalo dia nggak bisa ngikutin ritme kerjaku? Bisa-bisa semuanya kacau." Tolak Alvian tegas.
"Ayolah Van, please deh tolong terima ya! Aku yakin, kamu bakal cocok kerja sama dia. Orangnya pintar dan cekatan. Dia sedang benar-benar butuh pekerjaan ini. Aku juga yakin dia bisa mengikuti ritme kerja kamu, cuma ya jangan terlalu kejam aja, jangan terlalu diforsir, kasihan. Mau ya, mau ya, please!"
"Belum diterima kerja aja sudah dipakein syarat-syarat, apalagi sudah kerja, bisa-bisa semaunya saja. Pokoknya nggak ya nggak!" tegas Alvian kekeuh tak mau menerima Zafira menjadi sekretarisnya.
"Ck ... ya udah kalau nggak mau, aku langsung minta tolong sama Tante Ayu aja, pasti Tante Ayu mau nolong, nggak kayak anaknya yang jahat bin nyebelin. Keras kepala juga." Tukas Nova sambil berkacak pinggang membuat Alvian melotot tajam. "Kenapa melotot-melotot? Takut?" sentak Nova. Sungguh mungkin hanya Nova sekretaris yang mampu membentak atasannya sendiri.
"Ya ya ya, selalu saja mengancam menggunakan nama bunda. Dasar, nggak tahu malu," geram Alvian seraya mendengkus, tapi justru membuat Nova melebarkan senyumnya. "Kirim CV nya sekarang, aku mau lihat," titah Alvian.
"Udah dari tadi keles, mata loe aja yang nggak jeli. Cek aja di email, udah aku kirim sejak satu jam yang lalu."
Tanpa menggubris perkataan Nova, Alvian pun segera membuka email yang dimaksud.
Mata Alvian seketika melotot saat membaca riwayat pekerjaannya, "Nova, yang benar aja, terakhir dia bekerja itu lebih dari 7 tahun yang lalu, bagaimana bisa dia bekerja? Yang ada bukannya membantu, malah bikin kacau," teriak Alvian. Bukannya takut, Nova justru terkekeh sambil menutup mulutnya.
"Ck ... kita liat aja entar, gue jamin, dia kerjaannya bagus sesuai yang gue bilang tadi . Orangnya juga cerdas dan cekatan kok. Cuma please, jangan macam-macam sama dia apalagi nyuruh dia yang aneh-aneh, kalau itu sampai terjadi awas loe!" Nova mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke arah mata Alvian, seolah mengancam akan mencolok kedua matanya bila ia macam-macam.
Bukannya takut, Alvian justru berdecih, "kita liat aja entar. Gue akan buktikan sendiri omongan loe. Awas kalau nggak sesuai ekspektasi, gue minta loe kembali jadi sekretaris gue hari itu juga!" ancamnya sambil menyeringai membuat Nova menganga tak percaya.
"Oke. Siapa takut!" sambut Nova dengan kedua tangan sudah bersedekap di depan dada.
...***...
...HAPPY READING 🥰🥰🥰...