Memiliki anak tanpa suami membuat nama Cinta tercoret dari hak waris. Saudara tirinya lah yang menggantikan dirinya mengelola perusahaan sang papa. Namun, cinta tidak peduli. Ia beralih menjadi seorang barista demi memenuhi kebutuhan Laura, putri kecilnya.
"Menikahlah denganku. Aku pastikan tidak akan ada lagi yang berani menyebut Laura anak haram." ~ Stev.
Yang tidak diketahui Cinta. Stev adalah seorang Direktur Utama di sebuah perusahaan besar yang menyamar menjadi barista demi mendekatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16~ SUDAH WAKTUNYA MELUPAKAN KEJADIAN KELAM ITU
"Loh, itu kan, Stev. Kamu bilang dia gak masuk hari ini?" ucap salah seorang wanita yang bekerja sebagai pelayan di cafe itu.
Cinta yang tengah meracik kopi itupun mengalihkan perhatiannya. Keningnya mengerut melihat Stev berjalan kearah meja bar dengan membawa sebuah buket bunga.
"Aku juga gak tahu, soalnya dia sendiri yang bilang tadi kalau ada urusan mendadak," kata Cinta.
"Udah selesai mungkin urusannya."
"Bisa jadi." Cinta pun kembali melanjutkan pekerjaannya, ia melirik Stev sebentar yang telah berdiri di sampingnya. Pria itupun diam memperhatikannya. Setelah selesai, ia memindahkan kopi buatannya itu ke atas nampan yang langsung dibawa oleh pelayan tersebut.
"Urusan kamu sudah selesai?" tanya Cinta sembari meraih beberapa lembar tisu membersihkan tangannya.
"Sudah. Sekarang, aku tinggal menyelesaikan urusanku denganmu," jawab Vano.
"Memangnya kita ada urusan apa?" tanya Cinta menatap penuh tanya.
Vano menyodorkan buket bunga yang dibawanya ke hadapan Cinta. "Menikahlah denganku. Aku pastikan tidak akan ada lagi yang berani menyebut Laura anak haram."
Cinta tercengang selama beberapa saat. "Stev, bercandamu gak lucu. Kita lagi di tempat kerja. Kamu habis kesambet di mana, sih?" Ia terkekeh menatap pria di depannya. Namun, ucapan Stev barusan yang ia anggap candaan nyatanya sukses membuatnya seketika berdebar. Untuk yang pertama kali, ada seorang pria yang mengajaknya untuk menikah. Hal yang sudah ia anggap mustahil sebab adanya Laura. Bahkan ia sudah menyiapkan diri untuk pasrah jika seumur hidupnya tidak akan pernah menikah.
"Aku gak bercanda, Cinta. Aku serius, menikahlah denganku." Vano menatap wanita itu dengan lekat. Tadinya ia ingin menunjukkan hasil DNA itu pada Cinta, namun setelah ia berpikir ulang sebaiknya mengatakan tentang dirinya setelah Cinta menjadi istrinya nanti. Ia takut, jika mengatakan siapa dirinya sekarang, Cinta akan menjauhinya atau mungkin membencinya. Jika Cinta sudah terikat dengannya, kecil kemungkinan hal itu akan terjadi. Kalau wanita itu akan membencinya, tapi dia tidak akan bisa pergi darinya.
"Cinta, aku bersungguh-sungguh ingin menikahi kamu." Vano menarik nafas dalam-dalam. Ia rasa, sekarang juga adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya. Awalnya ia memang hanya berniat untuk sekedar bertanggungjawab, tapi setelah melihat wajah wanita yang menghabiskan malam dengannya secara langsung ia seketika tertarik. Dan beberapa bulan bersamanya menjadi seorang barista, membuat perasaan itu kian tumbuh menjadi lebih besar. "Aku jatuh cinta sama kamu. Please, menikahlah denganku."
Cinta terperangah. Ia tidak ingin percaya, namun ia bisa melihat kejujuran di mata pria itu. "Tapi kenapa harus aku, Stev? Diluar sana masih ada banyak wanita yang lebih baik dari aku. Kamu sudah tahu siapa aku. Kalaupun kamu memang bisa menerima kekuranganku, belum tentu keluarga kamu bisa menerima itu. Jadi, please lupakan saja dan aku anggap kamu tadi hanya sedang bercanda."
Cinta mengalihkan pandangannya dari pria itu, mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba terasa canggung dengan menyibukkan diri merapikan peralatan yang tadi digunakannya meracik kopi.
"Bagaimana kalau aku bilang, aku sudah mengatakan tentang kamu pada orang tuaku dan mereka mendukung pilihanku."
"Stev, kamu semakin mengada-ngada," ucap Cinta tanpa membalikkan badannya.
Vano meletakkan buket bunganya di atas meja bar, kemudian menarik pergelangan tangan Cinta agar berhadapan dengannya. Menggenggam kedua tangan wanita itu dengan erat. "Aku akan buktikan kalau aku tidak sedang mengada-ngada. Minggu depan, orangtuaku akan datang untuk melamar kamu."
Cinta terdiam, tak tahu harus mengatakan apa. Melihat kesungguhan Stev membuatnya tak bisa berkata-kata. Rasanya masih seperti mimpi jika ada seorang pria yang mau menikahi dirinya. Ia pikir, laki-laki diluar sana akan menatapnya hina sama seperti keluarganya sendiri saat tahu ia telah memiliki anak tanpa pernah menikah sebelumnya.
Melihat Cinta nampak syok, Stev pun mencoba mencairkan suasana dengan bersikap seperti biasanya. Ia mengambil apron dan memakainya. "Neng, yuk jualan kopi," godanya sambil mengedipkan sebelah mata.
Cinta pun kembali tersenyum, namun matanya sedikit berkaca-kaca. "Hayuk, Kang."
Keduanya pun mengambil peralatan masing-masing, memulai meracik kopi sambil bercanda seperti biasanya.
"Kalau kita udah nikah nanti. Kayaknya seru tuh, kita buat challenge di hari pertama kita jadi suami-istri. Kita berdua buat kopi, terus suruh Papaku dan Papamu untuk mencicipi. Kopi yang paling enak akan menjadi pemenang untuk menentukan tempat bulan madu," ucap Vano disela-sela kegiatannya.
Cinta hanya menanggapinya dengan senyuman sambil geleng-geleng kepala. Sudah sejauh itu pikiran Stev.
.
.
.
Setelah mengantarkan Cinta pulang, Vano mengendarai motor dengan kecepatan penuh menuju suatu tempat. Setibanya di sana ia menyerahkan kunci motor pada seorang pria paruh baya yang ia sewa motornya, lalu mengambil kunci mobilnya yang ia titipkan pada orang tersebut.
"Pak, ini sewa motor hari ini sekalian bonus udah jagain mobil saya." Vano menyerahkan beberapa lembar uang ratusan pada pria paruh baya itu. Setelahnya ia pun bergegas pergi dengan mobilnya. Ia sempat memiliki niat untuk membeli motor, namun urung karena tidak ingin menjadi pertanyaan oleh mama dan papa yang saat itu belum tahu jika ia menjadi barista.
Vano mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh menuju rumah. Tak sabar untuk memperlihatkan hasil DNA itu pada sang papa.
Setibanya di rumah, kebetulan papa Azka menuruni tangga hendak ke dapur mengambil air minum.
"Baru pulang, Van?"
"Iya, Pa." Vano mempercepat langkahnya menghampiri sang papa. "Pa, ikut ke kamarku sebentar, ada yang ingin aku perlihatkan."
Papa Azka mengangguk, kemudian mengikuti langkah putranya.
Sesampainya di kamar, Vano melepas jaketnya lalu mengeluarkan amplop yang ia simpan di saku jaket tersebut kemudian menyerahkan pada papanya. "Ini, Pa, hasilnya sudah keluar."
"Hasil DNA?" tanya papa Azka. Anggukkan yang diberikan putranya itu sebagai jawaban membuatnya dengan cepat mengambil amplop itu dan membukanya.
"Van, anak itu benar-benar anak kamu." Kedua matanya seketika berkaca-kaca. Tanpa ia ketahui, ia telah menjadi seorang kakek.
"Iya, Pa. Tapi aku tidak berani mengatakan siapa aku pada Cinta sebelum kami menikah. Aku terima jika dia membenciku tapi aku gak bisa jika dia pergi dariku. Jika kami sudah menikah dia gak akan bisa pergi lagi dariku."
Papa Azka menepuk bahu putranya. "Kamu tenang saja, Papa akan menutup semua jalan agar dia tidak bisa pergi darimu," candanya.
Vano terkekeh. "Minggu depan, apa bisa Papa dan Mama datang untuk melamarnya?"
"Tentu saja bisa. Asal kamu tahu, saat pertama kali melihat Cinta, Mamamu langsung suka padanya. Kamu tenang saja, semuanya akan berjalan sesuai rencana yang sudah kamu buat."
"Terima kasih, Pa." Vano memeluk sang papa.
Di sisi lain...
Cinta mengecup pipi Laura yang sudah kembali terlelap. Balita cantik itu bangun karena merasa risih popoknya penuh.
"Selamat tidur kesayangan Mama." Setelahnya ia berjalan menuju jendela, menyingkap hordeng dan berdiri di sana. Senyum terukir di bibirnya menatap bulan yang bersinar terang.
"Ucapanmu sudah terbukti. Aku sudah menemukan laki-laki yang tulus menerima aku dan Laura. Anakku tidak akan lagi disebut anak haram. Sekarang sudah waktunya bagiku untuk melupakan kejadian kelam itu. Terlepas dari siapapun laki-laki itu, aku harus belajar ikhlas. Mungkin dengan kejadian itu akan membawaku dan Laura ke kehidupan yang lebih baik setelah ini."