Kisah kali ini bergenre fantasy lokal, Ini bukan Milky way 4, ini adalah perjalan seorang Resi yang mereka sebut sebagai Maha Guru di cerita Milky Way
ini awal mula sebuah kisah Milky Way. Perjalanan Seorang Resi bernama Mpu Bharada untuk menemukan tanah impian. sebuah tempat dimana dia bisa mendirikan sebuah kebahagiaan dan kedamaian.
Seharusnya ini menjadi flashback tiap episode Milky Way. tetapi karena cerita Milky Way akan berkembang ke arah dataran legenda yang mereka sebut sebagai negara tersembunyi, dan juga Milky Way 4 nanti menceritakan tentang kelahiran kembali Mpu Bharada di era modern, maka saya putuskan untuk membawa kisah perjalanan sang Resi dalam bentuk cerita utuh.
note : cerita ini adalah awal mula. jadi tidak perlu baca Milky Way seri Vallena dulu
untuk nama tokoh, mungkin tidak terdengar asing, sebab saya mengambil nama tokoh tokoh terkenal, mitos mitos dalam sejarah jawa kuno beserta ilmu ilmu kanuragan pada masa lampau
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lovely, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemegahan Kota Suradwipa
Mentari pagi menyinari kerajaan Suradwipa dengan hangatnya, menciptakan bayangan panjang dari tembok tinggi yang melindungi kota. Mpu Bharada dan Raka akhirnya tiba di depan gerbang kota yang megah, sebuah pintu masuk besar yang dihiasi ukiran-ukiran rumit, menggambarkan sejarah panjang kerajaan yang makmur ini. Gerbang itu dijaga oleh sejumlah kesatria muda yang mengenakan zirah berkilau. Pedang besar tergantung di punggung mereka, tetapi beberapa di antara mereka tampak melayang di udara, berdiri di atas pedang-pedang itu seperti kendaraan yang dipenuhi aura kanuragan.
Keramaian di sekitar gerbang kota begitu hidup. Pedagang-pedagang dengan gerobak penuh barang, dari hasil bumi hingga kain sutra, berbaris menunggu giliran masuk. Anak-anak kecil berlari-lari di antara kerumunan, tertawa tanpa peduli pada hiruk-pikuk. Pendekar-pendekar dari berbagai wilayah tampak melintasi jalan, beberapa di antaranya menggunakan kemampuan kanuragan mereka untuk melayang bagai burung di atas kerumunan, menimbulkan decak kagum dari orang-orang biasa.
“Kerajaan ini benar-benar penuh dengan kehidupan,” gumam Raka sambil memandang keramaian itu.
Namun, meskipun mulutnya berbicara dengan kagum, matanya menyiratkan kewaspadaan.
“Guru, menurutmu, mereka akan mengenaliku jika aku masuk seperti ini?”
Mpu Bharada, yang berdiri tenang di samping muridnya, mengangguk kecil.
“Kehati-hatian adalah teman terbaikmu di tempat seperti ini, Raka. Pihak kerajaan tentu tidak akan menyambut mu dengan tangan terbuka jika mereka tahu. Sebab wajahmu sangat mirip dengan Jaka.”
Raka menutupi kepalanya dengan kain sederhana, menyembunyikan sebagian besar wajahnya.
“Baiklah, Guru. Aku akan berhati-hati.”
Namun, sebelum mereka melangkah lebih jauh, Mpu Bharada menepuk bahu Raka dengan lembut.
“Dengarkan aku, Raka. Aku akan memisahkan diri untuk sementara waktu. Ada beberapa hal yang perlu aku urus. Kau akan masuk sendirian, tetapi jangan khawatir. Aku percaya pada kemampuanmu. Sang pangeran hanyalah anak manja yang tidak tahu apa-apa tentang dunia nyata.”
Raka terlihat ragu.
“Tapi Guru, bagaimana jika aku membutuhkan bantuanmu?”
Mpu Bharada tersenyum lembut.
“Aku akan selalu tahu jika kau dalam bahaya, Raka. Ingat, seorang murid sejati tidak selalu bergantung pada gurunya. Kadang-kadang, kau harus berdiri sendiri untuk membuktikan dirimu.”
Dengan kata-kata itu, Mpu Bharada mengambil jalan berbeda, meninggalkan Raka untuk masuk ke dalam kota sendirian.
Saat Mpu Bharada berjalan melalui jalanan kota, ia tidak bisa tidak mengagumi kemakmuran yang terpancar di setiap sudut. Jalan utama dipenuhi dengan toko-toko besar yang menjual segala macam barang seperti kain sutra, senjata kanuragan, bahkan kereta kuda berhias emas. Penduduk dari berbagai latar belakang saling berinteraksi, menciptakan suasana yang hidup dan penuh energi.
“Kerajaan ini benar-benar megah,” gumamnya sambil mengamati suasana di sekitarnya. “Namun, kemakmuran sering kali menjadi penutup bagi ambisi dan keserakahan. Kita harus selalu berhati-hati terhadap apa yang tampak sempurna.”
Di atas kepala Mpu Bharada, beberapa pendekar tampak melayang, memanfaatkan kanuragan mereka untuk terbang seperti burung. Mereka bergerak dengan kecepatan luar biasa, meninggalkan jejak energi di udara. Di sisi lain, kesatria muda kerajaan terlihat melayang di atas pedang mereka, berlatih keterampilan yang hanya dimiliki oleh para kesatria terlatih. Penduduk biasa memandang mereka dengan kagum, sementara anak-anak berlari-lari di bawah, mencoba meniru gerakan mereka dengan tawa riang.
“Ini adalah tempat di mana ambisi dan bakat bertemu,” pikir Mpu Bharada dalam hati. “Tetapi, apakah semuanya murni? Atau ada kegelapan yang tersembunyi di balik cahaya ini?”
Setelah bertanya kepada beberapa penduduk lokal, Mpu Bharada akhirnya tiba di sebuah toko jimat yang sangat besar. Bangunan itu berdiri megah dengan pintu-pintu kayu besar yang diukir dengan simbol-simbol kuno. Di dalamnya, berbagai macam jimat dipajang di rak-rak, masing-masing memancarkan aura kanuragan yang berbeda-beda. Beberapa jimat berbentuk perhiasan, sementara yang lain berupa benda-benda sederhana seperti kerikil atau tali yang diikat.
Mpu Bharada melangkah masuk dengan tenang. Pelayan toko, seorang pria muda dengan pakaian bersih dan sopan, menyambutnya dengan ramah.
“Selamat datang, Tuan. Apa yang bisa saya bantu?”
Mpu Bharada mengeluarkan sebuah batu kecil dari sakunya.
“Aku ingin menjual ini,” katanya dengan nada tenang.
Pelayan itu melirik batu kecil tersebut dengan pandangan meremehkan.
“Ah, batu? Apakah ini memiliki nilai khusus, Tuan?”
“Silahkan periksa,” jawab Mpu Bharada sambil tersenyum tipis. “Tapi hati-hati, batu ini tidak seperti batu biasa.”
Pelayan itu mengambil batu tersebut dengan tangan gemetar, merasa ada sesuatu yang berbeda begitu ia menyentuhnya. Ketika ia mencoba merasakan energinya, wajahnya langsung berubah. Batu kecil itu memancarkan kanuragan yang sangat besar, jauh lebih besar dari apa pun yang pernah ia lihat.
“T-Tuan,” katanya terbata-bata. “Bagaimana bisa batu sekecil ini menyimpan energi sebesar ini? Ini… luar biasa!”
Pelayan toko itu segera mengubah sikapnya, menjadi jauh lebih hormat.
“Tuan, saya tidak yakin kami mampu membayar nilai sebenarnya dari batu ini. Energinya melampaui apa yang biasanya kami tangani. Jika saya boleh menyarankan, mungkin lebih baik jika Tuan menukar batu ini dengan beberapa jimat di toko kami.”
Mpu Bharada tersenyum lembut.
“Uang atau jimat, bukan itu yang penting. Yang penting adalah bagaimana benda ini bisa bermanfaat bagi orang lain.”
Pelayan itu mengangguk dengan penuh hormat. Mereka mulai mendiskusikan berbagai pilihan jimat, dari jimat pelindung hingga jimat penyembuhan. Mpu Bharada memilih dengan bijak, mengambil beberapa jimat yang akan berguna untuk perjalanannya dan Raka ke depan.
Saat keluar dari toko, Mpu Bharada memandangi batu-batu yang berserakan di jalan. Ia tersenyum sendiri, mengingat bagaimana batu kecil yang ia temukan di jalan bisa memiliki nilai yang begitu besar hanya karena ia mengaliri sedikit energinya.
“Raka,” gumamnya pelan meskipun muridnya tidak ada di sana, “ingatlah bahwa dalam hidup, bukan besar atau kecilnya sesuatu yang menentukan nilainya. Tetapi bagaimana kita mengisinya dengan tujuan dan makna.”
Dengan jimat-jimat baru di tangan, ia melanjutkan langkahnya, menuju pertemuan yang tak terhindarkan dengan muridnya di tengah kerajaan megah ini. Perjalanan mereka belum selesai, tetapi setiap langkah membawa mereka lebih dekat ke takdir yang sudah menunggu.
tapi untuk penulisan udah lebih bagus. deskripsi lingkungan juga udah meningkat 👍