Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.
Yuk ikuti cerita selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Titik Balik
Hujan deras mengguyur pesantren malam itu, seolah mencerminkan suasana hati Zidan yang berkecamuk. Ia berdiri di depan jendela kamarnya, memandang derasnya air yang jatuh dari langit. Bayangan Zahra terus berputar di benaknya, memenuhi setiap sudut pikirannya yang sudah terlalu lelah.
Kepergian Zahra membawa kekosongan yang tak terisi, seolah sebuah bagian dari dirinya telah hilang. Ia ingin melupakannya, tetapi semakin mencoba, semakin kuat kenangan itu menyeruak. Ia teringat senyum lembut Zahra, tatapan penuh keyakinannya, bahkan kata-kata terakhirnya yang begitu menyesakkan.
"Gus, ini bukan akhir. Saya yakin Allah punya rencana yang lebih baik untuk kita semua. Doakan saya."
Zidan menarik napas panjang, lalu menutup matanya. Apakah ini semua ujian dari Allah untuk menguji keteguhannya? Ia tak tahu. Yang ia tahu, Zahra pergi bukan karena tidak mencintainya, tetapi karena ingin menjaga kebaikan bersama. Namun, bagaimana caranya ia bertahan tanpa kehadiran Zahra?
Di tempat lain, Zahra duduk di sudut kamar kecilnya di pesantren baru. Meski suasana pesantren ini hangat dan para penghuninya baik hati, Zahra merasa sepi. Rasa rindu akan pesantren sebelumnya, para santriwati yang telah menjadi seperti saudara, dan tentu saja, Zidan, menyelinap di setiap waktu senggangnya.
Namun, Zahra terus meyakinkan dirinya bahwa keputusannya benar. Ia harus melangkah, meskipun setiap langkah terasa seperti melawan arus yang kuat. “Ini untuk kebaikan semua orang,” gumamnya pelan, mencoba menenangkan hatinya sendiri.
Hingga suatu malam, seorang ustazah senior di pesantren itu memanggilnya untuk berbicara.
“Zahra, saya tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan,” kata Ustazah Hana dengan lembut. “Ada rasa di hatimu yang belum selesai, bukan?”
Zahra terkejut. Ia tak menyangka ustazah itu bisa membaca kegundahannya.
“Saya hanya mencoba menerima takdir, Ustazah,” jawab Zahra pelan.
“Takdir itu memang bagian dari kehendak Allah,” ujar Ustazah Hana. “Tapi ingat, terkadang kita harus berusaha lebih keras untuk memahami apa yang sebenarnya Allah inginkan dari kita.”
Kata-kata itu mengendap di benak Zahra. Apakah keputusannya untuk pergi benar-benar sesuai kehendak Allah, atau hanya bentuk pelariannya dari masalah?
Di pesantren sebelumnya, Zidan memutuskan untuk bertindak. Ia sadar, jika ia terus terperangkap dalam kebingungan ini, ia tak akan pernah menemukan jalan keluar. Ia menemui ayahnya, Kiai Idris, yang selama ini menjadi sosok yang ia hormati dan andalkan.
“Abi, aku ingin bicara,” kata Zidan dengan nada tegas, meskipun hatinya bergetar.
Kiai Idris memandang anaknya dengan penuh perhatian. “Silakan, Nak. Abi mendengarkan.”
“Aku tahu kepergian Zahra membawa ketenangan sementara di pesantren ini. Tapi Abi, hatiku tidak tenang. Aku mencintainya, dan aku yakin dia adalah bagian dari takdirku.”
Kiai Ridwan menghela napas panjang. Ia tahu pembicaraan ini akan datang, tetapi mendengarnya langsung dari Zidan tetap membuat hatinya bimbang.
“Zidan,” ujar Kiai Idris dengan suara lembut, “Abi tidak pernah meragukan kesungguhanmu. Tapi cinta saja tidak cukup untuk membangun kehidupan. Kamu harus siap dengan konsekuensinya, dan kamu harus memastikan bahwa cinta itu tidak mengorbankan kebaikan yang lebih besar.”
“Aku siap, Abi,” jawab Zidan mantap. “Apa pun yang terjadi, aku akan memperjuangkannya. Aku hanya butuh restu Abi.”
Mendengar itu, Kiai Idris tersenyum tipis. Ia melihat ketulusan di mata anaknya, dan ia tahu bahwa Zidan sudah membuat keputusannya.
Berbekal restu dari ayahnya, Zidan memulai langkah baru. Ia mencari tahu keberadaan Zahra melalui salah seorang sahabat dekatnya, Aisyah, yang masih berhubungan dengan Zahra. Aisyah awalnya ragu untuk memberi tahu, tetapi setelah mendengar kesungguhan Zidan, ia akhirnya memberitahukan alamat pesantren tempat Zahra tinggal saat ini.
Zidan berangkat ke sana tanpa banyak berpikir. Ia tahu ini mungkin langkah yang berisiko, tetapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin melihat Zahra, berbicara dengannya, dan memastikan bahwa mereka berdua tidak menyerah pada keadaan.
Ketika Zidan tiba di pesantren itu, hujan turun lagi, seperti malam ketika Zahra pergi. Ia berdiri di depan gerbang pesantren, menggenggam payung kecil yang tak mampu menahan derasnya air. Dari jauh, ia melihat Zahra berjalan menuju mushala, membawa sebuah kitab di tangannya.
Hatinya bergetar melihat sosok yang dirindukannya selama ini. Ia ingin segera memanggilnya, tetapi ia ragu. Apakah Zahra ingin bertemu dengannya? Apakah kehadirannya hanya akan membuat Zahra semakin terbebani?
Namun, keberanian itu akhirnya muncul. “Zahra!” panggil Zidan dengan suara lantang.
Zahra berhenti melangkah, terkejut mendengar suara yang begitu dikenalnya. Ia menoleh, dan matanya langsung bertemu dengan Zidan yang berdiri basah kuyup di bawah hujan deras.
“Gus Zidan?” gumam Zahra, hampir tak percaya.
Zidan berjalan mendekatinya, tatapannya penuh tekad. “Aku datang untukmu, Zahra. Aku tidak peduli seberapa sulit jalannya, aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu memperjuangkan kita.”
Zahra terdiam, air mata mulai menggenang di matanya. Ia tidak tahu harus berkata apa.
“Zahra,” lanjut Zidan, “jika kamu masih percaya pada takdir Allah, percayalah bahwa kita dipertemukan bukan tanpa alasan. Aku tidak meminta kamu untuk segera kembali, tapi aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku tidak akan pernah menyerah.”
Kata-kata itu menghantam hati Zahra seperti gelombang besar. Ia tahu Zidan tulus, tetapi ia juga tahu bahwa cinta mereka akan terus diuji.
“Gus,” ujar Zahra dengan suara bergetar, “saya tidak pernah meragukan cinta Anda. Tapi dunia kita berbeda, dan saya takut perbedaan itu akan menghancurkan kita.”
“Itu hanya jika kita menyerah,” balas Zidan cepat. “Tapi jika kita bersama, aku yakin kita bisa melewati semuanya.”
Pembicaraan itu menjadi titik balik bagi Zahra. Ia mulai bertanya pada dirinya sendiri, apakah benar keputusan untuk pergi adalah yang terbaik? Ataukah itu hanya bentuk pelariannya dari kenyataan?
Zidan meninggalkan pesantren itu dengan hati yang lebih tenang. Ia tahu Zahra butuh waktu, dan ia siap menunggu. Ia percaya, jika cinta mereka memang bagian dari takdir Allah, maka jalan akan terbuka, seberat apa pun rintangannya.
Kembali di pesantren, Zahra merenung di kamarnya. Kata-kata Zidan terus terngiang di telinganya, membuat hatinya bimbang. Di satu sisi, ia merasa bahwa ia harus tetap teguh pada keputusannya. Tetapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan rasa di hatinya yang terus memanggil nama Zidan.
“Ya Allah,” gumam Zahra, “jika dia memang jodohku, maka kuatkan aku untuk menerima semua cobaan ini. Tetapi jika tidak, jauhkan aku darinya dengan cara yang terbaik.”
Air matanya mengalir, tetapi kali ini bukan air mata kesedihan, melainkan air mata pengharapan. Ia tahu, apapun yang terjadi, Allah selalu memiliki rencana yang terbaik untuknya.
Malam itu, Zahra memutuskan untuk mengambil langkah besar. Ia menulis surat untuk Zidan setelah pertemuan tanpa ada jawaban dari Zahra, sebuah surat yang penuh dengan kejujuran dan doa. Surat itu bukan hanya untuk Zidan, tetapi juga untuk dirinya sendiri, sebagai pengingat bahwa cinta sejati tidak pernah menyerah, bahkan di tengah badai.
To be continued...
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??