Nandana Panesthi, seorang istri yang sempurna di mata orang-orang, terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan Dimas Larung Mahdiva, pria ambisius yang lebih mencintai kekuasaan daripada dirinya. Kehidupan rumah tangga mereka yang tampak harmonis hanyalah topeng dari kebekuan yang semakin menusuk hati Nanda.
Hingga suatu hari, Sanjana Binar Rimbawa hadir seperti badai di tengah gurun kehidupan Nanda. Seorang pria dengan tatapan yang dalam dan kata-kata yang mampu menghidupkan kembali jiwa yang hampir mati. Sanjana bukan sekadar selingkuhan dia adalah pria yang menempatkan Nanda di singgasana yang seharusnya, memperlakukannya bak ratu yang selama ini diabaikan oleh suaminya.
Namun, cinta terlarang ini tak semudah kelihatannya. Di balik kelembutan Sanjana, tersimpan rahasia yang mengancam segalanya. Sementara Dimas mulai mencurigai perubahan sikap Nanda dan bertekad untuk mengungkap siapa pria yang berani merebut perhatian istrinya.
Akankah Nanda menemukan kebahagiaan sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Acara Keluarga
Dimas dan Nanda duduk di dalam mobil mewah berwarna hitam yang melaju dengan tenang di jalanan kota. Dimas, yang mengemudi, tetap tampak tenang meski atmosfer dalam mobil terasa sedikit canggung. Sementara itu, Nanda hanya duduk di sampingnya, menatap ke luar jendela tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mereka menuju ke pertemuan keluarga besar Larung, yang akan diadakan di rumah orang tua Dimas.
Dimas tak banyak bicara selama perjalanan, hanya sesekali melirik Nanda dengan pandangan kosong. Nanda bisa merasakan ketegangan yang ada di antara mereka, meski mereka berdua hanya duduk berdua di dalam mobil yang mewah itu. Bagi Nanda, perjalanan ini terasa semakin berat, terutama karena perasaannya yang semakin jauh dari Dimas. Rasa canggung dan tidak nyaman di dalam mobil menambah beban di dadanya.
Namun, meskipun suasana tegang, Nanda berusaha untuk tetap tenang dan menjaga sikapnya. Dia tahu bahwa pertemuan dengan keluarga besar Larung adalah hal yang penting bagi Dimas, dan meskipun pernikahan mereka tidak bahagia, dia harus menjalani acara itu dengan baik.
Mobil akhirnya berhenti di depan rumah besar keluarga Larung, rumah yang tampak megah dengan taman yang luas dan terawat. Begitu mereka turun dari mobil, Nanda bisa merasakan pandangan orang-orang yang hadir. Ada rasa canggung yang datang dari semua pihak, tetapi mereka berusaha menjaga etika dan kesopanan.
Di depan pintu, mereka disambut oleh ibu mertua Nanda, yang dengan senyuman lebar menyambut mereka. "Nanda, Dimas, selamat datang. Ayo masuk," ucapnya dengan ramah, meskipun Nanda bisa merasakan ada ketegangan di balik senyuman itu. Ibu mertuanya selalu bersikap baik, tapi Nanda tahu bahwa ibu Dimas selalu berharap banyak dari pernikahannya dengan anaknya.
Setelah itu, mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu yang luas, Nanda melihat ayah dan ibu mertuanya sudah duduk bersama kakak Dimas, Dandi Larung. Dandi, yang terlihat lebih tua dan lebih serius dibandingkan Dimas, berdiri sambil menatap mereka berdua. "Kamu datang juga, ya?" katanya dengan nada yang terdengar datar, seakan tak ada ketulusan dalam suaranya.
Dimas hanya mengangguk dan memberi senyum kaku. Sementara itu, Nanda mencoba untuk tersenyum meskipun hatinya terasa berat. Mereka duduk di meja makan besar yang sudah dipersiapkan, dengan makanan mewah yang diletakkan di atasnya. Pembicaraan pun dimulai, tetapi Nanda merasa seperti berada di luar lingkaran. Semua orang berbicara dengan santai, sementara dia hanya bisa mendengarkan.
Ayah mertua Dimas, yang dikenal sebagai pria yang sangat sukses dan berwibawa, sesekali melirik Nanda dengan pandangan tajam. Nanda tahu bahwa dalam keluarga ini, semuanya selalu berputar di sekitar kekuasaan dan kesuksesan. Mereka semua memiliki harapan besar terhadap Dimas dan pernikahannya dengan Nanda. Namun, di dalam hatinya, Nanda merasa terasing dan seperti bagian dari pertunjukan yang mereka inginkan, bukan bagian dari keluarga yang sebenarnya.
"Saya harap kamu berdua bisa segera memberi kami kabar baik," ucap ayah mertua Dimas dengan suara rendah, namun tegas. "Kamu tahu, Dimas, keluarga Larung selalu menantikan pewaris yang baik."
Nanda merasakan kerongkongannya tercekat. Harapan-harapan yang selalu dibebankan pada mereka berdua, seolah menjadi beban yang semakin sulit untuk dipikul. Dia tahu bahwa mereka menginginkan anak dari pernikahannya dengan Dimas, tetapi kenyataan bahwa mereka tidak pernah benar-benar dekat atau saling peduli membuat Nanda meragukan apakah itu akan pernah terjadi.
"Tenang saja, Ayah," jawab Dimas dengan nada santai, meskipun Nanda bisa melihat ketegangan di balik sikapnya yang terlihat cuek. "Kami sedang menikmati wAktu kami berdua," tambahnya tanpa menatap Nanda.
Nanda hanya tersenyum paksa. Dia tahu bahwa mereka semua berbicara tentang hal-hal yang tidak menyentuh kenyataan hidupnya. Mereka berbicara tentang harapan, tentang masa depan, tentang kewajiban, tetapi tidak pernah ada yang menanyakan perasaannya, tidak pernah ada yang peduli tentang apa yang ia rasakan dalam pernikahan ini. Semua itu hanya tentang citra yang ingin mereka bangun di luar sana.
Setelah makan malam selesai, pembicaraan berlanjut dengan topik-topik bisnis dan sosial yang lebih serius. Nanda merasa semakin terpinggirkan, meskipun Dimas duduk di sampingnya, ia tampak lebih terfokus pada percakapan dengan keluarganya daripada pada Nanda. Di sinilah Nanda merasa seolah-olah dia hanya pelengkap dalam kehidupan Dimas, bukan sosok yang benar-benar diinginkan atau dihargai.
Nanda hanya duduk diam, merasakan kesunyian yang semakin menyesakkan di hatinya. Perasaan yang tak terungkapkan semakin meluas, dan Nanda mulai bertanya-tanya berapa lama lagi dia bisa bertahan dalam kebisuan dan ketidakpedulian yang ada di sekelilingnya.
"Nanda, sini sayang," panggil ibu Dimas, Ny. Hutami Satrojoyo Larung, dengan suara lembut namun tegas, sambil melambaikan tangan ke arah Nanda. Suasana di ruang makan masih terbilang ramai dengan percakapan antara Dimas, ayahnya, dan kakaknya, Dandi. Nanda merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan suasana ini, tapi ia tetap mengikuti ibu mertuanya yang memintanya masuk ke dapur.
Dengan langkah pelan dan hati yang penuh pertanyaan, Nanda mengikuti ibu Dimas menuju dapur. Ketika pintu dapur terbuka, Nanda disambut oleh kehangatan aroma masakan yang memenuhi ruangan. Beberapa pembantu rumah tangga terlihat sibuk menyiapkan makanan, sementara ibu Dimas mempersilakan Nanda duduk di salah satu kursi yang ada di meja kecil di sudut dapur.
"Ibu ingin bicara denganmu sebentar, Nanda," ucap ibu Dimas sambil menatapnya dengan serius. "Kami tahu pernikahanmu dengan Dimas tidak seperti yang kami harapkan. Kami ingin semuanya berjalan lancar, karena kamu adalah bagian dari keluarga ini sekarang. Tapi, kamu juga harus tahu, Nanda, pernikahan ini bukan hanya tentang kamu dan Dimas. Ini tentang keluarga kami, tentang bisnis, dan tentang apa yang akan kami bangun bersama."
Nanda terdiam mendengarkan ucapan ibu mertuanya. Kata-kata tersebut terasa berat dan menusuk, seperti beban yang semakin menekan dadanya. Namun, ia berusaha untuk tetap tenang dan mendengarkan. “Ibu, saya mengerti,” jawab Nanda dengan suara pelan. “Tapi, bagaimana kalau saya merasa terjebak? Seperti saya bukan bagian dari keputusan ini.”
Ibu Dimas menatapnya dengan mata yang tajam, seperti menilai apakah Nanda benar-benar mengerti apa yang ia maksudkan. "Nanda, kamu harus tahu, keluarga Larung tidak bisa seenaknya membiarkan pernikahan ini gagal. Dimas adalah harapan kami. Kamu juga harus ikut berperan dalam menjaga kehormatan dan kelangsungan keluarga ini." Ny. Hutami berkata dengan tegas, namun masih ada kelembutan dalam suaranya yang berusaha memberi penjelasan.
Nanda hanya mengangguk, merasa terjepit antara kenyataan dan harapan. Dia sadar, bahwa dirinya bukanlah pilihan pertama, dan bahkan pernikahannya lebih terasa sebagai kewajiban daripada keinginan.
"Jangan khawatir, Nanda. Kami hanya ingin kamu bahagia. Tapi, untuk itu, kamu juga harus berusaha lebih keras dalam membangun hubungan dengan Dimas. Jangan hanya diam dan berharap segalanya berubah dengan sendirinya," lanjut ibu Dimas dengan suara yang lebih lembut.
Setelah beberapa lama berbicara, ibu Dimas berdiri dan membimbing Nanda untuk keluar dari dapur. Mereka kembali ke ruang makan, di mana Dimas dan keluarga besar Larung masih berada. Nanda merasa ada jarak yang semakin jauh antara dirinya dan suaminya, meskipun mereka duduk bersebelahan.
Ketika mereka kembali ke ruang makan, Dimas hanya melirik Nanda sekilas, tidak menunjukkan perhatian lebih. Nanda merasakan kesunyian yang menyelimutinya. Sebuah pertanyaan besar terbersit dalam hatinya: Apakah pernikahan ini akan terus berlanjut hanya karena kewajiban dan harapan orang lain?
Tapi, di balik semua itu, Nanda merasa sedikit terhibur dengan percakapan ibu Dimas tadi. Setidaknya, ia tahu bahwa mertuanya memiliki harapan agar dirinya bisa lebih berusaha menjaga hubungan dengan Dimas. Walaupun kenyataannya, perasaan Nanda tidak bisa dipaksakan untuk berubah begitu saja.