Seorang arsitek muda bersedia mengikuti rencana iseng temannya dalam sebuah perjodohan atas dasar peduli teman. Namun siapa sangka, rencana tersebut malah menyebabkan konflik serta membongkar kasus yang melibatkan beberapa oknum pengusaha dan aparat. Bahkan berujung pada terancamnya kerajaan bisnis dari sebuah keluarga keturunan bangsawan di Perancis.
Bagaimana akhir dari rencana mereka? Simak kisah seru mereka di novel ini. (un) Perfect Plan. Semoga terhibur...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 28
Tak ada suara antara Mita dan Rizal sepanjang perjalanan menuju ke luar rumah. Bahkan saat mereka sudah berdiri di samping motor Rizal, mulut mereka masih tertutup rapat. Sepertinya mereka kehabisan kata-kata atau mungkin merasa malu atas seluruh rangkaian kejadian sepanjang acara makan malam tadi.
Rizal memasang helm kemudian menaiki motornya. Mita hanya memperhatikan, bingung bagaimana harus bersikap. Dan setelah menyalakan mesin motornya, Rizal menatap Mita sekilas.
"Assalamualaikum", ucapnya, kemudian langsung melajukan motornya.
Mita hanya melihat kepergian Rizal sampai menghilang dari pandangannya. Dia tak mengerti apa yang sedang dirasakannya sekarang. Tapi yang jelas, dia tak pernah merasakan perasaan ini sebelumnya.
Bahkan sampai ia kembali ke kamarnya, ia masih tak bisa berkata apa-apa. Padahal sudah berulang kali Alin menanyakan keadaannya.
"Aku capek, mau tidur. Kau juga silahkan istirahat", hanya itu yang dia ucapkan.
Alin sedikit bingung melihat sikap Mita, akhirnya ia hanya bisa keluar dari kamar itu dengan rasa penasaran.
Dan Rizal? Sepanjang perjalanan pulang dadanya terasa penuh saat teringat pikiran gila dari Ibrahim. Bagaimana ini? Ibrahim sepertinya benar-benar menginginkan dirinya untuk menikahi Mita. Ini semua sungguh-sungguh jauh di luar rencana.
Gara-gara Zaki! Ya, ini semua gara-gara adik iparnya itu. Kalau saja tadi siang Zaki tak memaksa dirinya untuk mengantar Mita, maka semua ini tidak akan terjadi.
Apa yang harus dia lakukan sekarang? Bagaimana caranya untuk meyakinkan Ibrahim Hasan kalau sebenarnya tidak ada hubungan apa-apa antara dia dan Mita.
Lalu, bagaimana nasib Mita setelah itu? Apa dia akhirnya akan dinikahkan dengan Deni yang sebenarnya hanya mengincar status dan kekayaan dari Ibrahim Hasan?
Dan sudah jadi rahasia umum di unitnya, kalau Deni Nugroho adalah seorang duda playboy. Ya! Dulu rumah tangganya yang baru berjalan beberapa bulan harus kandas karena orang ketiga, keempat dan seterusnya. Bahkan lebih parahnya lagi, juga diwarnai oleh isu KDRT.
Haruskah Mita jadi korban Deni berikutnya? Dan hanya dijadikan batu loncatan demi kekayaan dan kekuasaan?
Hah.. Kepala Rizal kembali pening. Ia baru tersadar dari pikirannya saat ia hampir saja menabrak seekor kucing yang melintas cepat.
Rizal menghembuskan napas berat. Sepertinya ia butuh tidur secepatnya.
********
"Bonjour!", sapa Andre sambil berjalan menuju meja makan. Di situ duduk ayahnya, Tiara dan juga Intan yang tengah sarapan.
Setelah mencium pucuk kepala Tiara, Andre kemudian duduk di sampingnya.
"Ada apa kau pagi-pagi sudah di sini? Biasanya jam begini kau masih tidur kan?", sindir Phillippe.
Andre tersenyum. Kemudian mengambil potongan roti dan mengolesnya.
"Aku ada rapat penting di kantor pagi ini. Dan.. aku ingin bertemu dengan adik-adikku sebelum berangkat", sahutnya seraya mengedipkan mata pada kedua adiknya.
Intan mengerutkan dahinya. Andre terlihat ceria hari ini. Apakah ia sudah menemukan cara untuk membawa Tiara? Intan berharap semoga hal itu benar.
"Hari ini aku akan menemui Gerard, sekaligus menyampaikan undangan untuk acara besok. Aku sudah menyuruh orang untuk mempersiapkan segalanya di villa mu. Mungkin saat ini mereka sudah sampai di sana", terang Phillippe seraya menyeka mulutnya dengan serbet makan.
"Tidak masalah. Kau bisa menatanya sesuka hati. Lagipula tempat itu memang sudah terlalu lama tak mengadakan pesta", sahut Andre, kemudian menggigit rotinya.
"Aku duluan, sampai jumpa", Phillippe mencium kepala Tiara dan Intan kemudian berlalu keluar rumah.
Intan masih menunjukkan wajah kesal. Ia tak lagi menyukai perlakuan Phillippe. Menunjukkan rasa sayang, tapi saat bersamaan telah berlaku kejam pada anaknya.
Setelah kepergian Phillippe, Intan tak sabar ingin mencari tahu kebenaran sangkaannya.
"Katakan padaku, kau sudah punya rencana?", tanya Intan tak sabar.
Andre hanya tersenyum, kemudian menghabiskan potongan roti di mulutnya.
"Dengar, untuk sementara ikuti saja dulu rencana Pére", kata Andre setengah berbisik.
"Apa?! Aku tidak mau! Aku tak bisa menikah dengan Louis!", protes Tiara sengit.
"Sstt.. jangan keras-keras. Kenapa kalian para wanita senang sekali menjerit hah?", sahut Andre kesal.
Tiara hanya menanggapinya dengan cemberut.
Andre kemudian memberi isyarat pada Intan agar memberikan pengertian pada Tiara.
"Tiara sayang.. dengarkan dulu apa kata Andre. Bukankah kau ingin segera pulang ke Jakarta?", ucap Intan lembut.
"Baiklah", hanya itu yang keluar dari mulut Tiara.
"Yang paling penting, Pére tidak boleh sampai tahu kalau kau sudah menikah", sambung Andre.
"Tapi bagaimana dengan Pierre? Bagaimana kalau dia memberitahu Pére?", tanya Intan khawatir.
Andre terdiam sejenak. Sepertinya ia memang tak sampai memikirkan hal itu.
"Biar nanti aku bicara padanya. Tugas kalian, ikuti saja kata-kata Pére. Jangan sampai ia curiga kalau kita sedang merencanakan sesuatu" jawab Andre.
"Aku pergi dulu", ucapnya setelah menghabiskan cokelat hangat di cangkirnya.
Kini hanya tinggal mereka berdua di meja makan.
"Mbak, bagaimana sebenarnya perkembangan kasus Mas Arya. Apa ada kemungkinan dia bisa bebas secepatnya? Kasihan kalau dia terlalu lama di tahanan", Tiara tak kuasa menahan airmata nya tiap kali teringat Arya.
"Apa Andre tidak bisa mengusahakan agar dia segera dibebaskan Mbak?", tanya Tiara lagi.
"Tiara, untuk sementara Arya biar tetap ditahan dulu. Lagipula kalau dia bebas, Pierre akan tahu dan aku takut dia melakukan sesuatu yang buruk untuk mencegah Arya menemui mu", jawab Intan.
"Sekarang... lebih baik kita ke dapur untuk memasak sesuatu yang lebih Indonesia. Aku sudah mulai eneg dengan menu di sini", ajak Intan.
"Ayo! Mumpung di sini ada dapur standar restoran", sambungnya seraya tersenyum.
Beberapa saat kemudian mereka berdua terlihat sudah asyik memasak sesuatu di dapur.
********
Rizal tak bisa konsentrasi bekerja, padahal cukup banyak laporan kasus yang harus diselesaikannya segera. Peristiwa tadi malam masih menjadi beban pikirannya.
"Kopi Bang", ucap Fritz seraya meletakkan secangkir kopi di meja Rizal.
Rizal sedikit kaget. Tumben sekali Fritz menyiapkan secangkir kopi untuknya.
"Terima kasih", sahut Rizal masih dengan kebingungan akan sikap Fritz.
Saat dia menyeruput kopi tersebut, barulah ia tersadar akan sesuatu. Apakah sekarang ini Fritz sedang berusaha mengambil hatinya, karena Fritz menyangka kalau dia adalah calon menantu Ibrahim Hasan?
Ya Ampun.. anak ini! Ternyata punya mental penjilat sejati. Gerak cepatnya entah harus diacungi jempol atau perlu dihujat.
Rizal kemudian meletakkan cangkir di tangannya dengan malas. Hilang sudah seleranya terhadap kopi itu.
"Fritz, kalau bos nyari, bilang aku ada urusan keluar. Kalau penting, telpon aja", kata Rizal.
"Siap bos!", sahut Fritz seraya tersenyum, membuat Rizal semakin muak.
Beberapa waktu kemudian Rizal sudah berada di kantor Zaki, tepatnya di kantin. Rasanya tak sanggup kalau dia harus memikirkan masalahnya sendiri. Dia harus menceritakan semuanya pada Zaki, walaupun pada dasarnya Zaki pulalah yang menyebabkan semua kekacauan ini.
"Astaghfirullah Bang! Kenapa malah jadi begini? Terus Mbak Mita nya gimana?", tanya Zaki setelah mendengarkan cerita dari Rizal tentang kejadian tadi malam.
"Ya mana kutahu", sahut Rizal.
Zaki mengambil ponselnya, kemudian menghubungi seseorang.
"Assalamualaikum Mbak Mita, maaf mengganggu"
Rizal sontak menajamkan pendengarannya, namun raut wajahnya seolah tak peduli.
"Eng.. anu Mbak. Saya mau minta maaf, saya yang maksa Bang Rizal buat ke sana tadi malam. Jadi, itu semua salah saya"
"Oh, Bang Rizal.. baik-baik aja kok Mbak. Udah gede gitu juga, masa diroasting dikit, lembek?! Malu lah.. Ya gak Mbak?"
Rizal melotot mendengar ucapan Zaki. Zaki malah tersenyum mengejek. Tapi tunggu, apa Mita tadi menanyakan dirinya?
"Ehm.. Mbak Mita sendiri, gimana?"
"Bete?"
"Apa?! Disuruh ke sana?"
"Aduh... Kok jadi tambah ruwet gini sih Mbak?"
"Ok, nanti kita bicara lagi"
"Nomornya?"
"Iya, nanti aku kirim"
"Assalamualaikum"
Zaki meletakkan ponselnya lalu mengacak rambutnya.
"Kenapa kamu?", tanya Rizal penasaran.
"Mampus kau Bang, disuruh Pak Ibrahim datang buat ngelamar Mbak Mita secepatnya. Se..ce..pat..nya!", ucap Zaki panik.
"Apa?!", Rizal ikut panik mendengarnya.
"Pak Ibrahim juga minta nomor Abang, gimana?", tanya Zaki.
Kini giliran Rizal yang mengacak rambutnya.
"Aku pergi dulu", ucapnya tiba-tiba, lalu pergi meninggalkan Zaki yang masih melongo.
"Ni orang, kebiasaan...", ucapnya pelan.
Rizal memacu motornya, entah hendak kemana. Pikirannya terlalu kalut. Akhirnya ia mengarahkan motornya ke halaman sebuah Mesjid, lagipula sebentar lagi sudah masuk waktu sholat Ashar. Ia berharap bisa lebih tenang setelah sholat.
**********
Mita terlihat uring-uringan di tempat tidur. Ia tak selera melakukan apapun. Bahkan sedari pagi ia tak meninggalkan kamarnya. Sampai-sampai sarapan dan makan siang ia lakukan di kamar, itu pun tak habis.
Entah apa yang sedang terjadi dengannya. Hatinya terasa lelah dan seperti ada yang kosong. Tuntutan ayah tirinya pada Rizal membuat dirinya serba salah. Bagaimana mungkin ayahnya begitu antusias tentang hubungan palsunya dengan Rizal yang hanya sebuah kesalahpahaman?
Mita mengacak-acak rambutnya seraya menjerit kesal. Alin yang duduk di sudut kamar nampak iba sekaligus bingung dengan kondisi Mita.
Tiba-tiba ponselnya berdering.
"Ya? Wa'alaikumussalam"
Sahutnya malas. Tapi sesaat kemudian wajahnya terlihat tegang.
"Apa?"
"Dimana?"
"Kapan?"
"Sekarang?!"
"Baik"
"Wa'alaikumussalam"
Buru-buru dia ke kamar mandi. Kemudian wajahnya kembali muncul di pintu.
"Alin, tolong siapkan pakaianku. Cari yang seperti kemarin malam", ucapnya cepat kemudian menutup pintu kamar mandi.
Alin hanya melongo melihatnya, kemudian melangkah ke walk in closet untuk melakukan permintaan Mita.
Beberapa saat kemudian Mita sudah di dalam mobil menuju suatu tempat. Sebuah taman di komplek perumahan elite tempat rumahnya berada.
Saat dia menemukan apa yang dicarinya, ia menyuruh Alin berhenti dan menunggunya di mobil.
Bagus...