Kim Woo-jin masih bertahan membaca komik romansa remaja karena tertarik pada karakter Shimizu Miyuki, teman masa kecil karakter utama laki-laki dalam cerita. Namun, seperti yang sering terjadi, teman masa kecil biasanya hanya berperan sebagai pemanis di awal kisah dan tidak terpilih sebagai kekasih hingga akhir cerita.
Fenomena ini sudah menjadi klise dalam komik bergenre 'Harem,' yang merujuk pada karakter utama laki-laki dan para gadis-gadis yang menyukainya. Sebuah pola yang, meski berulang, tetap berhasil menarik perhatian pembaca.
"Selalu sama seperti yang lain, hanya saja sifatnya sangat baik dan polos. Tapi menerima semuanya dengan senyuman saat ditolak, sungguh hebat sekali. Awal cerita mereka selalu bersama seperti tidak terpisahkan, tapi setelah SMA, banyak gadis yang mendekati Protagonis Sampah," gumam Kim Woo-jin.
(Penulis : Sudah lama ya nggak ketemu xixixi~ aku sibuk dan lupa password, baru inget dan dah lupa lanjutan cerita yang aku buat ... selamat membaca~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yayang_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Rahasia di Balik Pintu Pagar
Rahasia di Balik Pintu Pagar
"Ara~ ada apa dengan anakku tersayang? Kenapa sejak tadi senyum-senyum sendiri?"
Shimizu Michiko, seorang wanita dengan wajah yang hampir identik dengan putrinya, melangkah mendekati meja makan sambil melipat lengan di dada. Matanya menyipit penuh selidik, sementara senyum kecil terukir di wajahnya.
"Ya ampun!" Miyuki yang duduk di kursi dapur buru-buru menyembunyikan layar ponselnya di balik meja, mencoba menyembunyikan rona merah yang merayap di pipinya. "Aku... aku hanya sedang menunggu seseorang yang akan datang," katanya, berusaha terlihat santai meski senyumnya tak bisa disembunyikan.
"Oh, siapa itu? Ryuji, ya?" Michiko mengangkat sebelah alis sambil menarik kursi dan duduk di hadapan Miyuki.
"Eh... bukan, Bu..." jawab Miyuki cepat, sambil merapikan helai rambutnya yang jatuh ke wajahnya. Matanya menunduk, dan senyumnya kini berubah menjadi gugup.
Michiko mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap lebih lekat. "Kalau bukan Ryuji, siapa? Biasanya dia sering mampir, tapi sudah seminggu ini dia tidak ke sini. Apa kalian bertengkar?" tanyanya dengan nada cemas, sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke permukaan meja.
"Bertengkar? Tidak, Bu. Kami tidak bertengkar," Miyuki menggeleng pelan, menatap ibunya dengan senyum tipis yang dipaksakan. Tangannya yang berada di bawah meja mengepal kecil, menahan gugup.
Michiko memperhatikan dengan seksama, lalu menarik napas panjang. "Hmmm..." Michiko, tersenyum lembut dan menepuk tangan Miyuki dengan penuh kasih.
Tatapan Miyuki kembali mengarah pada ponsel pintar di pangkuannya, menanti pesan yang sepertinya tak kunjung tiba.
Fujimoto Ren berdiri di depan rumah keluarga Shimizu, tangannya sedikit berkeringat meskipun udara pagi cukup sejuk. Rumah itu tampak megah, dengan gerbang besi hitam dan taman kecil yang tertata rapi. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat.
Dengan ragu, Ren mengambil ponselnya dari saku. Jempolnya melayang di atas layar beberapa detik sebelum akhirnya mengetik pesan singkat:
Ren: 'Aku sudah di depan rumahmu.'
Dia menekan tombol kirim, lalu menggenggam ponselnya erat. Hanya butuh beberapa detik sebelum notifikasi balasan berbunyi.
Miyuki: 'Tunggu sebentar.'
Ren membaca pesan itu berulang kali, seolah ingin memastikan dirinya tidak salah baca. Dia mengetik balasan cepat.
Ren: 'Ok.'
Ren mendongak, tatapan matanya terpaku pada pintu depan rumah yang kini mulai terbuka perlahan. Detik berikutnya, sosok Miyuki muncul dari balik pintu pagar, mengenakan kaos putih sederhana dan rok selutut. Rambutnya tergerai, sedikit bergelombang, dan berkilau terkena sinar matahari pagi.
"Maaf membuatmu menunggu," ujar Miyuki dengan senyum lembut, melambaikan tangan ke arah Ren.
Ren hanya bisa mengangguk, lidahnya terasa kelu. Namun, ketika Miyuki berjalan mendekat, gerakannya tampak anggun dan penuh semangat. Suara langkah terdengar jelas di antara keheningan pagi.
"Baru sampai, kan?" tanya Miyuki ketika akhirnya berdiri di depannya, suaranya hangat dan ramah.
"Aku ... baru saja sampai," jawab Ren dengan nada sedikit gugup, meskipun dia sudah berada di sana selama sepuluh menit.
Michiko, yang sedari tadi berdiri di balik tirai ruang tamu, tersenyum tipis sambil menyilangkan tangan di dada. Dari jendela, dia memperhatikan putrinya yang sedang berbicara dengan seorang pemuda di depan gerbang. Matanya mengamati setiap gerak-gerik Miyuki, mulai dari cara gadis itu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga hingga senyumnya yang tak biasa.
"Hmm... jadi ini alasan dia tersenyum-senyum sendiri tadi," gumam Michiko pelan, suaranya dipenuhi nada penasaran. "Baiklah, aku beri mereka waktu," katanya pada dirinya sendiri sambil melangkah kembali ke ruang tamu. Namun, rasa ingin tahunya tetap membara. "Aku harus tahu siapa anak itu," bisiknya pada dirinya sendiri, sembari melangkah ke dapur untuk menyeduh teh.