Di tahun 2145, dunia yang pernah subur berubah menjadi neraka yang tandus. Bumi telah menyerah pada keserakahan manusia, hancur oleh perang nuklir, perubahan iklim yang tak terkendali, dan bencana alam yang merajalela. Langit dipenuhi asap pekat, daratan terbelah oleh gempa, dan peradaban runtuh dalam kekacauan.
Di tengah kehancuran ini, seorang ilmuwan bernama Dr. Elara Wu berjuang untuk menyelamatkan sisa-sisa umat manusia. Dia menemukan petunjuk tentang sebuah koloni rahasia di planet lain, yang dibangun oleh kelompok elite sebelum kehancuran. Namun, akses ke koloni tersebut membutuhkan kunci berupa perangkat kuno yang tersembunyi di jantung kota yang sekarang menjadi reruntuhan.
Elara bergabung dengan Orion, seorang mantan tentara yang kehilangan keluarganya dalam perang terakhir. Bersama, mereka harus melawan kelompok anarkis yang memanfaatkan kekacauan, menghadapi cuaca ekstrem, dan menemukan kembali harapan di dunia yang hampir tanpa masa depan.
Apakah Elara dan Orion mampu m
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: Senja Terakhir di Bumi
Asap hitam mengepul dari celah-celah retakan di bumi. Bau belerang dan daging terbakar memenuhi udara. Langit, yang seharusnya biru cerah di penghujung sore, kini berubah menjadi palet warna merah darah yang mengintimidasi. Senja terakhir di bumi bukanlah keindahan yang menenangkan, melainkan pertunjukan kehancuran yang memekikkan jiwa.
Dr. Elara Wu berdiri di atas tebing yang menghadap ke reruntuhan kota yang dulu bernama Arcadia. Angin kencang menyapu rambut hitamnya yang terurai, membawa butiran debu yang menempel di wajahnya. Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat puing-puing gedung pencakar langit yang menjulang seperti tulang belulang raksasa. Sungai yang dulu mengalir di tengah kota kini mengering, meninggalkan jejak lumpur yang mengeras seperti luka yang menganga.
Elara memejamkan mata. Suara jeritan dari kejauhan bercampur dengan gemuruh ledakan yang tidak pernah berhenti sejak pagi tadi. Dunia ini sedang sekarat. Dan manusia—makhluk yang pernah mengklaim dirinya sebagai penguasa bumi—adalah dalang dari semua ini.
"Elara!" Sebuah suara serak memanggilnya dari belakang. Orion berlari dengan tergesa-gesa, senapan serbu tergantung di bahunya. Pria itu tampak seperti hantu: kulitnya penuh luka, jaket kulitnya compang-camping, dan matanya penuh amarah yang tertahan. "Kita harus pergi sekarang! Mereka sudah dekat!"
Elara membuka matanya, menatap Orion dengan sorot penuh keteguhan. "Berapa banyak waktu yang kita miliki?"
Orion mendesah, memeriksa jam tangan digital yang retak di pergelangan tangannya. "Lima belas menit, kalau kita beruntung."
"Tidak cukup waktu," gumam Elara sambil menatap horizon. Di kejauhan, barisan tank lapis baja milik para anarkis terlihat seperti titik-titik kecil di tengah badai debu. Mereka semakin mendekat.
Orion mencengkram lengan Elara dengan keras, memaksanya untuk menatap wajahnya. "Aku tidak peduli seberapa penting misi ini untukmu. Kalau kita mati di sini, semuanya sia-sia!"
Elara menarik napas dalam-dalam. Dia tahu Orion benar. Tapi misi ini bukan sekadar soal dirinya. Ini tentang menyelamatkan apa yang tersisa dari umat manusia.
"Aku hanya butuh lima menit," jawab Elara akhirnya. "Aku harus memastikan data ini terunggah."
Orion mengumpat pelan, tetapi dia tidak membantah. Dia tahu bahwa tidak ada gunanya berdebat dengan Elara ketika dia sudah memutuskan sesuatu. "Lima menit. Tidak lebih."
Elara segera berlari menuju terminal komunikasi yang tersembunyi di balik reruntuhan gedung di dekat situ. Tangannya gemetar saat dia mengaktifkan perangkat yang sudah tua dan nyaris tidak berfungsi. Layar berkedip-kedip, menampilkan data yang penting untuk kelangsungan hidup manusia: lokasi koloni rahasia yang tersembunyi di luar angkasa, sebuah tempat yang disebut Eden.
"Come on, come on..." gumamnya, jemarinya menari di atas keyboard. Progres pengunggahan berjalan lambat, setiap persen terasa seperti seabad.
Di luar, suara tembakan mulai terdengar. Orion sudah bersiap di pintu masuk reruntuhan, senapannya diarahkan ke kejauhan. Dia melirik ke arah Elara sesekali, rahangnya mengeras saat melihat barisan musuh yang semakin mendekat.
"Elara! Cepat!" teriaknya, jari telunjuknya menarik pelatuk untuk menembak salah satu musuh yang mendekat terlalu cepat.
"Satu menit lagi!" Elara menjawab dengan nada panik. Peluh mengalir di dahinya, bercampur dengan debu dan darah kering.
Ledakan mengguncang tanah, membuat terminal komunikasi bergetar hebat. Elara hampir kehilangan keseimbangan, tetapi dia tetap fokus. Dia tidak boleh gagal.
"Unggahannya selesai!" teriak Elara akhirnya, suara penuh kemenangan di tengah kekacauan.
"Tinggalkan perangkatnya! Kita harus pergi sekarang!" Orion meraih tangan Elara, menariknya dengan paksa keluar dari gedung yang hampir runtuh.
Mereka berlari menembus badai debu, kaki mereka menyentuh tanah yang retak dan tidak stabil. Di belakang mereka, ledakan besar menghancurkan tempat yang baru saja mereka tinggalkan. Elara menoleh sekilas, melihat api membumbung tinggi ke langit.
"Ke mana sekarang?" tanya Orion dengan nada tegas.
Elara mengeluarkan peta digital dari kantong jaketnya. "Ada bunker tua di sisi barat. Kita bisa berlindung di sana sampai mereka pergi."
Orion mengangguk tanpa bicara. Mereka terus berlari, napas mereka berat dan terputus-putus. Tapi di dunia yang seperti ini, tidak ada waktu untuk berhenti. Tidak ada waktu untuk beristirahat.
Ketika mereka akhirnya mencapai bunker, pintunya terkunci dengan kode yang hanya diketahui Elara. Dengan tangan gemetar, dia mengetikkan kode itu, berharap tidak salah. Pintu baja besar itu terbuka perlahan, suara gesekan logamnya membuat bulu kuduk berdiri.
"Masuk!" Orion mendorong Elara masuk terlebih dahulu sebelum dia sendiri melompat ke dalam. Begitu mereka berdua berada di dalam, pintu segera tertutup kembali, melindungi mereka dari dunia luar yang kacau balau.
Di dalam bunker yang gelap dan dingin, Elara terduduk lemas di lantai beton. Napasnya terengah-engah, tetapi matanya memancarkan tekad yang tidak tergoyahkan.
"Data itu... kita berhasil menyelamatkannya," katanya pelan.
Orion duduk di sebelahnya, menatapnya dengan sorot mata yang sulit ditebak. "Ya, tapi itu baru permulaan. Perjalanan kita masih panjang, Elara."
Elara mengangguk. Dia tahu. Dunia ini mungkin sedang sekarat, tetapi dia belum menyerah. Dia percaya bahwa di balik kehancuran ini, masih ada secercah harapan yang menunggu untuk ditemukan.
---
Di dalam bunker yang gelap, hanya suara napas mereka yang terdengar. Orion bangkit perlahan, menyalakan lampu portabel kecil yang tergantung di sabuknya. Cahaya redup menerangi ruangan sempit itu, menampilkan dinding beton kasar yang penuh coretan angka dan simbol yang tidak dikenalnya.
"Ini bunker militer tua," kata Orion, mengamati sekeliling. "Kemungkinan ada persediaan di sini. Tunggu di sini, aku akan memeriksa."
Sebelum Elara bisa membantah, Orion sudah melangkah ke sudut ruangan. Dia membuka laci logam berkarat, menarik keluar beberapa kotak kecil. Dalam salah satunya, dia menemukan beberapa batang makanan darurat yang sudah hampir kedaluwarsa dan sebotol kecil air.
"Kita cukup beruntung," gumamnya sambil menyerahkan air itu kepada Elara.
Elara menerimanya tanpa bicara. Setelah meneguk air, dia kembali membuka peta digitalnya. Perangkat itu berkedip pelan, menunjukkan koordinat terakhir yang berhasil dia unggah ke satelit tua yang mengorbit bumi. Eden, koloni rahasia yang disebut-sebut sebagai tempat terakhir yang aman, adalah harapan terakhir umat manusia. Tapi perjalanan ke sana tidak akan mudah.
"Koordinat ini..." Elara menatap layar. "Kita harus melewati Deadzone untuk mencapainya."
Orion mendongak, wajahnya langsung menegang. "Deadzone? Kau bercanda?"
"Tidak ada jalan lain," jawab Elara. "Deadzone adalah jalur tercepat, dan kita tidak punya cukup waktu atau sumber daya untuk mengambil rute memutar."
Orion menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan frustasi. "Deadzone penuh radiasi dan makhluk yang bahkan aku tidak ingin tahu namanya. Kau yakin kita bisa selamat melewatinya?"
"Aku tidak yakin," jawab Elara jujur. "Tapi ini satu-satunya cara. Kalau kita tidak mencapainya dalam tiga hari, koordinat itu akan kadaluarsa. Satelit yang kugunakan sudah sangat tua, dan aku tidak tahu kapan sinyalnya akan hilang."
Orion terdiam. Dia tahu Elara benar, tetapi dia juga tahu risiko yang akan mereka hadapi. Dia pernah kehilangan banyak orang di Deadzone, dan bayangan itu masih menghantui malam-malamnya.
"Aku akan memastikan kita keluar dari sana hidup-hidup," katanya akhirnya, nada suaranya penuh tekad. "Tapi kita harus mempersiapkan diri. Tidak ada ruang untuk kesalahan."
Elara mengangguk, lalu beranjak berdiri. Dia berjalan ke sisi bunker yang lain, di mana dia menemukan sebuah meja kerja yang tertutup debu tebal. Di atasnya ada beberapa perangkat elektronik tua yang mungkin bisa mereka manfaatkan.
"Kita bisa menggunakan beberapa bagian dari ini untuk memperbaiki drone pengintai," katanya sambil menunjuk komponen-komponen itu. "Kalau kita punya drone, kita bisa memetakan jalur di Deadzone tanpa harus berjalan membabi buta."
Orion mendekat, mengamati perangkat itu dengan hati-hati. "Kau pikir kau bisa memperbaikinya?"
"Aku yakin bisa," jawab Elara. "Tapi aku butuh waktu beberapa jam."
Orion mengangguk. "Lakukan. Aku akan berjaga di luar. Kalau mereka menemukan kita di sini, kita tidak akan punya kesempatan."
Elara segera bekerja, tangan-tangannya bergerak cekatan meskipun kelelahan masih mencengkeram tubuhnya. Dia membongkar perangkat-perangkat itu, mencari bagian yang masih berfungsi dan mencoba menggabungkannya dengan drone rusak yang dia bawa dalam ranselnya.
Sementara itu, Orion memanjat ke permukaan melalui pintu kecil di sudut ruangan. Dia berjongkok di balik puing-puing di luar bunker, matanya menyapu horizon yang penuh debu. Tidak ada tanda-tanda pergerakan musuh, tetapi dia tidak menurunkan kewaspadaannya.
Waktu berlalu perlahan. Suara samar-samar dari Elara yang sibuk bekerja di dalam bunker menjadi satu-satunya penanda bahwa dia tidak sendirian. Orion menyentuh liontin kecil yang tergantung di lehernya, satu-satunya peninggalan dari keluarganya yang sudah tiada.
"Jangan sia-siakan ini, Orion," gumamnya pelan pada dirinya sendiri.
---
Beberapa jam kemudian, Elara muncul di pintu bunker dengan wajah penuh debu tetapi senyuman kecil di bibirnya. Dia memegang drone yang terlihat seperti baru, meskipun beberapa bagian tampak dipasang secara darurat.
"Sudah selesai," katanya.
Orion menoleh, melirik drone itu, lalu mengangguk dengan puas. "Bagus. Sekarang kita punya mata di udara."
Elara mengaktifkan drone itu, dan mesin kecil itu melayang dengan lembut ke udara. Melalui tablet kecil di tangannya, dia memantau gambar yang dikirimkan oleh drone.
"Ini dia," katanya sambil menunjukkan jalur yang terlihat di layar. "Jalur ini sepertinya lebih aman dibandingkan yang lain. Kita harus bergerak sebelum fajar."
Orion berdiri, meraih senapannya. "Baik. Kita bergerak sekarang."
Mereka meninggalkan bunker dengan hati-hati, membawa hanya barang-barang yang penting. Di bawah langit yang penuh bintang dan debu, mereka memulai perjalanan mereka menuju Deadzone—tempat yang penuh bahaya tetapi juga menjadi harapan terakhir mereka.
Dan di kejauhan, sebuah mata-mata mekanis milik para anarkis merekam setiap langkah mereka, mengirimkan koordinat mereka ke pusat komando. Perjalanan ini tidak hanya akan membawa mereka melawan dunia, tetapi juga melawan musuh yang tak kenal ampun.