Seorang penulis pemula yang terjebak di dalam cerita buatannya sendiri. Dia terseret oleh alur cerita yang dibuatnya, bahkan plot twist yang sama sekali tak terpikirkan sebelumnya. Penasaran kelanjutan cerita ini? Ikuti lah kisah selengkapnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shan_Neen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Pintu kamar Marlin tertutup, dan gadis itu bersandar di balik sana.
Hah... Sudah begini. Ibu pasti terus menyuruhku menerima pekerjaan itu, batinnya.
Dia kembali menghela nafas berat, dan meraih tas selempang yang tergantung di dekatnya. Sebuah tas putih dengan ujung rumbai, serta sebuah jepit rambut yang terselip di talinya.
Gadis tersebut keluar dan meminta kembali ponselnya dari sang Ibu.
“Kau mau kemana?” tanya Nyonya Yang.
“Bukankah ku bilang tadi, Bu. Aku butuh udara segar. Aku pergi dulu,” ucap Marlin sembari memasukkan ponselnya ke dalam tas.
“Tunggu,” cegah sang Ibu.
Wanita itu terlihat meraih sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah dompet kecil dan mengambil beberapa lembar uang dari sana.
“Ambillah. Belilah apapun yang kau suka. Belikan juga dirimu makanan. Kau harus selalu sehat,” seru sang ibu.
Marlin pun menerimanya dengan lemas, dan melambai ke arah Nyonya Yang.
...🐟🐟🐟🐟🐟
...
Kota Metropolis begitu besar, dan saat ini Marlin tinggal dipinggiran kota itu. Meski pinggir kota, distrik Aster tempatnya tinggal terkenal dengan komoditas bunga-bunga yang begitu indah.
Banyak toko bunga di tempat tersebut yang menjual berbagai jenis bunga serta tanaman hias.
Marlin terlihat baru saja turun dari sebuah bus, dan berjalan di trotoar dekat sebuah taman.
Nampak beberapa orang berlalu lalang di sana. Tak jarang juga ada pasangan yang berpapasan dengannya.
Hampir setiap yang lewat, melihat Marlin dengan tatapan aneh.
Marlin melihatnya sekilas, dan kembali menghela nafas.
Dunia indah untuk sebagian orang. Tapi tidak untukku, batinnya.
Gadis itu berjalan ke arah taman, dan duduk di salah satu bangku yang kosong. Matanya menatap lurus ke arah air mancur yang berkilauan terkena sinar mentari yang terik siang itu.
“Hem... Hah... Sudah tiga hari dan aku baru merasakan segarnya udara di sini,” gumamnya.
Entah kenapa, perasaannya yang sejak beberapa hari lalu penuh tekanan, ditambah berita tadi tiba-tiba sedikit memudar, membuat Marlin lebih santai menikmati suasana distrik tempat tinggalnya.
Guk... Guk... Guk...
Terdengar suara seekor anjing menggonggong tak jauh dari Marlin.
Awalnya dia tak menghiraukan suara gonggongan itu. Namun suaranya semakin dekat dan terdengar terus menerus.
Marlin pun menoleh dan melihat ke sekeliling mencari dimana asal suaranya.
Dari kejauhan, dia melihat seekor anjing dengan jenis Pomeranian berbulu putih yang sangat imut tengah duduk di atas rumput.
Anjing itu nampak kesulitan saat mencoba menjilat kaki kecilnya yang pendek. Ia pun kembali menggonggong seolah tengah meminta pertolongan.
Marlin lalu bangun dan menghampiri anjing tersebut.
“Hai, anjing cantik. Sedang apa kau sendirian di sini?” tanya Marlin.
Dia berjongkok berusaha mendekati anjing itu.
Tanpa bersusah payah, si pomeranian putih pun langsung menurut pada Marlin.
Gadis itu kemudian mengangkat tubuh hewan kecil tersebut dan menemukan ada sesuatu menancap di kakinya dan membuatnya kesakitan.
“Kasihan sekali. Kau pasti kesakitan. Tunggulah, aku akan membantumu,” ucap Marlin.
Dia lalu meletakkan anjing kecil nan imut di pangkuan, sembari mencari sesuatu dalam tasnya yang bisa digunakan untuk membalut luka hewan tersebut.
Dia melihat kaki si anjing dan melihat serpihan kayu tajam yang cukup panjang menancap disana.
Marlin mencabutnya, sambil mengelus punggung hewan berbulu itu agar tetap tenang.
Lukanya cukup dalam tapi pendarahan tidak begitu parah. Marlin yang sudah menemukan sebuah saputangan kecil dari tasnya pun lalu mengikatnya di kaki anjing, dan menambahkan jepit rambutnya sebagai ganti plester perekat.
“Selesai. Apa kau merasa lebih baik sekarang?” tanya Marlin yang hanya disahut dengan gonggongan kecil.
Dia melihat sebuah kalung di leher anjing kecil yang kemungkinan tertera siapa nama pemiliknya.
“Ehm... Baiklah. Sepertinya kau harus ku antar pulang. Tuanmu pasti sedang sibuk mencarimu sekarang,” ucap Marlin.
Dia pun berjalan sambil menggendong hewan kecil itu, menuju sebuah alamat yang ada di kalung.
Tak butuh waktu lama, keduanya kini tiba di depan sebuah toko bunga yang berada sekitar lima ratus meter dari taman.
“Toko bunga Amazone Lily. Ini rumahmu bukan?” tanya Marlin saat mereka sampai di depan toko tersebut.
Sebuah toko bunga kecil, dengan warna pastel yang dominan.
“Sunny? Apa itu kau?” tanya seseorang yang tiba-tiba muncul dari arah lain.
Marlin pun menoleh dan melihat seorang pria muda dengan kaus putih polos, serta celemek hitam di bagian depan tengah berjalan ke arahnya.
Pria itu tersenyum begitu lembut dan terasa hangat. Ditambah, parasnya yang tampan dengan kulit putih, hidung tinggi, mata tajam tanpa lipatan, serta rambut hitam legam bak baru tinta.
Hal itu membuat Marlin terpaku karena terpukau dengan keberadaan pria tersebut.
“Sunny... Benar itu kau,” ucapnya lagi saat mereka sudah berjarak cukup dekat.
Guk... Guk... Guk...
Gonggongan anjing kecil membuyarkan lamunan Marlin dan beralih memperhatikan si kecil putih itu.
“Ah... Apa itu tuan mu?” tanya Marlin.
“Sunny, dari mana saja kau? Dasar anjing nakal,” ucap si pria.
“Maaf, tadi aku menemukannya di taman sebelah sana. Kakinya terluka jadi ku balut dengan kain seadanya. Ini,” sahut Marlin.
Anjing kecil itu pun berpindah tangan, dan nampak nyaman di gendongan pria tadi.
“Ah... Terimakasih. Oh iya, perkenalkan, namaku Aiden,” ucap pria yang ternyata adalah Aiden, sambil mengulurkan tangan.
“Oh... Hai, Aiden. Namaku Marlin,” sahut Marlin meraih uluran tangan Aiden.
“Masuklah dulu ke toko ku. Akan ku buatkan teh untukmu. Aku pasti lelah berjalan kemari,” seru Aiden.
“Baiklah,” sahut Marlin tanpa segan.
Keduanya lalu masuk ke dalam toko yang dipenuhi dengan bunga-bunga indah, penuh warna dan begitu wangi.
“Apa ini tokomu sendiri?” tanya Marlin saat memasuki tempat tersebut.
“Ehm... Yah, bisa dibilang begitu,” jawab Aiden.
Nampak pria itu tengah meletakkan anjing kecilnya di atas bantal duduk, lalu berbalik ke arah pantry.
Sementara Marlin, gadis tersebut terlihat menikmati suasana di dalam toko yang terasa begitu nyaman dan indah dengan bunga dimana-mana.
Bahkan setiap sudutnya pun tak luput dari perhatian Marlin.
“Minumlah,” seru Aiden menyudahi kegiatan Marlin.
Gadis keriting itu pun lalu duduk berhadapan dengan sang florist, yang menyuguhkan secangkir teh, lengkap dengan sepiring biskuit gandum.
“Maaf, aku hanya punya ini di tokoku,” ucap Aiden.
“Terimakasih. Ini sudah sangat merepotkan,” sahut Marlin.
“Tidak masalah. Minumlah,” seru Aiden.
Keduanya pun menikmati teh Camomile hangat yang segar dan nikmat.
“Ehm... Apa kau sendiri yang mendekor tempat ini?” tanya Marlin.
“Sebenarnya ini warisan dari ibuku. Semua bagian toko, dekorasi hingga warna cat, semua ibuku yang pilih. Aku hanya merawat dan meneruskannya saja,” jawab Aiden.
“Wah... Selera ibumu luar biasa, Aiden. Dia punya bakat menjadi seorang desainer interior,” sahut Marlin.
“Benarkah? Sepertinya kau tahu banyak tentang desain interior. Apa mungkin kau seorang desainer?” tanya Aiden.
“Ah... Hahaha... Kebetulan aku memang baru saja diterima di perusahaan desain interior besar,” ucap Marlin canggung.
Namun, tawanya lebih terasa hambar dan membuat Aiden mengerutkan keningnya.
Bersambung▶️▶️▶️▶️▶️
Jangan lupa like, komen, rate dan dukungan ke cerita ini 😄🥰