Dia bukannya tidak sayang sama suaminya lagi, tapi sudah muak karena merasa dipermainkan selama ini. Apalagi, dia divonis menderita penyakit mematikan hingga enggan hidup lagi. Dia bukan hanya cemburu tapi sakit hatinya lebih perih karena tuduhan keji pada ayahnya sendiri. Akhirnya, dia hanya bisa berkata pada suaminya itu "Jangan melarangku untuk bercerai darimu!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Geisya Tin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
“Candra, Shima selalu bilang kalau Si Wisra itu gak bersalah! Apa aku sebaiknya mati juga menyusul Kakak? Candra! Bunuh aku sekarang juga! Biar aku mati nyusul Kakak!” Deril berkata, sambil menelungkupkan wajahnya. Sementara, tangannya memukul meja dengan keras hingga buku-buku jarinya memerah.
“Tuan, kalau Anda mati, siapa yang bisa menjaga Nyonya? Bukankah Anda sudah berjanji akan terus menjaganya sampai kapan pun juga? Bagaimana janji Anda kalau sekarang sudah mati?”
“Tapi dia membenciku! Dia membenciku, Candra! Aaah! Semua salahku! Aku juga bersalah pada Kakak! Seharusnya aku lebih cepat datang ke sana! Jadi dia gak akan mati!”
Candra terdiam melihat sikap Deril yang tengah sedih, hanya dirinya yang pernah melihat Deril begitu. Seorang pria yang gagah dan berwibawa tampak menyedihkan bila berada dalam kondisi terlemahnya.
“Tuan harus tetap hidup untuk melihat Nyonya bahagia atau menjadi ayah untuk Freya, menyayangi Freya sama saja dengan membuat Tuan Arta bahagia di surga!” Candra berkata sambil memberikan tisu.
“Ya, kamu benar!” Deril menjawab, sambil mengangkat wajah dan mengusapnya dengan tisu.
Lalu, dia berjalan menuju kamar dan berkata, “Kosongkan jadwalku besok sore, aku mau ke rumah Shima! Dia bilang jas dan dasiku ketinggalan di sana!”
Candra tidak ingat kalau ada pakaian Deril yang tertinggal di rumah Shima. Dalam hati dia mengira bahwa, tuannya itu sengaja, meninggalkan pakaiannya agar punya kesempatan kembali mengunjunginya.
#####
Shima berada di ruang dokter Andi, dokter spesialis kanker yang ditunjuk oleh Regan, untuk menggantikannya. Shima baru saja selesai melakukan beberapa tes tambahan dan menjalani kemoterapi hari itu. Andi yang mengurus semuanya untuk Shima.
“Regan percaya padaku untuk mengurus pengobatanmu, jadi simpan nomorku mulai dari sekarang,” kata Andi, setelah menuliskan resep.
“Dia ada di mana sekarang? Nomornya gak bisa dihubungi,” jawab Shima kecewa, karena Regan sama sekali tidak berpamitan padanya.
“Dia akan menghubungi kamu kalau sudah selesai mengurus segala sesuatunya di sana, mungkin sekarang dia baru mulai studi dan masih beradaptasi!”
“Oh! Jadi, begitu caranya menghindar dariku! Apalagi yang dia katakan padamu, Dokter?”
“Dia ke sana bukan karena paksaan, sama sekali gak menghindar dari siapa pun ... dia memang sudah lama mau mengambil spesialisasi itu, kebetulan ada yayasan yang mau membiayainya secara gratis, semua penelitiannya sampai selesai, itu luar biasa, dia mendapatkan kesempatan yang langka!”
Shima mendengus pelan, dia tahu siapa orang di balik yayasan yang dimaksud Andi.
Bukan paksaan katanya? Jelas-jelas dia terpaksa karena Deril menyebutkan nama ayah Regan. Dalam hati Shima minta maaf kepada temannya yang telah membelanya itu. Dia telah membuat Deril mengusir Regan pergi ke luar negeri.
Namun, Shima masih bersyukur, setidaknya, Deril tidak melakukan kekerasan.
Shima menyimpan nomor Andi dan pergi dari rumah sakit setelah menengok ayahnya. Dia harus segera istirahat dan menghubungi Nadisa ketika sudah sampai di rumah temannya itu.
Sejak pulang dari rumah Deril, Shima menyibukkan diri di rumah sakit dan bekerja lembur di swalayan. Dia khawatir Deril tiba-tiba datang menagih janji dan melakukan hubungan badan, dia tidak siap sama sekali.
Shima tinggal di rumah kontrakan Nadisa dan meminta temannya itu, untuk mengurusnya sementara waktu. Menjalani masa-masa setelah kemoterapi akan membutuhkan istirahat dan perhatian lebih.
Saat Nadisa pulang, dia melihat Shima tertidur pulas di kasurnya dan ada banyak sekali obat di atas meja. Sebagai satu-satunya teman dan tempat bersandar bagi Shima, Nadisa hanya mendoakan kebaikan bagi sahabatnya.
Efek dari kemoterapi baru terlihat setelah dua pekan kemudian, rambut Shima mulai rontok dan sekitar matanya menghitam. Bibirnya lebih kering dan tubuhnya semakin lemah. Semua karena banyaknya obat yang harus dia habiskan.
Namun, perutnya terasa lebih baik dan tidak sakit lagi setiap kali dia merasakan tekanan. Selama masa itu, Shima tidak mengaktifkan ponselnya dan tidak keluar rumah. Dia menghabiskan waktu dengan istirahat dan beribadah.
Nadisa mengurusnya dengan baik dan tidak pergi ke mana pun, selain ke supermarket dan tempat kerja. Uang pemberian Shima sangat banyak, cukup untuk dirnya sendiri selama satu tahun penuh tanpa bekerja. Karenanya dia melakukan segala yang terbaik untuk sahabatnya.
“Ini bukan imbalan,” kata Shima waktu itu, “Ini uang sewa rumah dan uang makanku selama satu bulan juga biaya untuk cuci baju di laundry!”
Nadisa tidak bisa menolak karena Shima memaksa, dia mengaku memiliki uang yang cukup. Kalau uangnya kurang, dia bisa minta pada Deril kapan saja.
Setelah Shima terlihat lebih bugar, Nadisa mengajaknya pergi ke kampung halaman ibunya. Dia pikir Shima butuh udara segar dan mereka bisa menikmatinya bersama di sana.
Shima menyetujuinya. Lagipula dia bisa menghabiskan waktu, sambil menunggu kabar dari Elbara. Sampai sekarang adik angkatnya itu belum menemukan titik terang dari penyelidikannya.
“Aku belanja oleh-oleh buat nenek dan saudaraku di sana, kamu di rumah saja, oke?” kata Nadisa sambil mematut diri di depan kaca.
“Ya, belanja juga untuk makan selama di perjalanan dan kebutuhan pribadi kita di sana, jangan sampai kita merepotkan nenek!”
“Oke!”
Nadisa pergi dengan sepeda motor, dengan senang hati dia belanja semua yang bakal mereka butuhkan nanti di desa.
Namun, saat dia hendak pulang, seseorang mencegatnya hingga motornya tidak bisa berjalan.
“Silakan ikut saya, Nona! Tuan Deril menunggu Anda di sana!” Itu Candra, dia bicara dengan sopan, sambil menunjuk sebuah cafe yang tidak jauh dari tempatnya berbelanja.
Gadis itu dengan terpaksa menurutinya.
Dia tidak kenal dengan Candra, tapi dia tahu siapa Deril Pratama.
“Apa yang membuat Anda menahan saya, Pak? Perasaan saya gak pernah berbuat salah, kenal saja gak!” kata Nadisa ketus. Dia tetap berdiri, tidak ada rasa takut sedikit pun, melihat pria yang memakai setelan jas lengkap di depannya.
Bagi Nadisa, selama bukan polisi, maka siapa pun orangnya, bukanlah apa-apa.
“Duduklah, Nona!” kata Candra mengingatkan Nadisa agar sopan pada bos-nya.
“Kamu salah atau tidak, mudah bagiku untuk membuat orang seperti kamu ini di penjara!” kata Deril tak kalah ketusnya.
Ucapan pria itu seketika membuat Nadisa gugup dan duduk dengan sopan di hadapan Deril.
“Ada perlu apa, Pak Deril dengan saya?”
“Aku cuma mau tahu sial temanmu ...!"
"Teman? Saya punya banyak teman, jadi maksud Anda siapa?"
Deril menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, "Bagaimana keadaan Shima, apa kamu tahu dia ada di mana? Aku tahu kamu adalah teman satu-satunya buat dia ... jadi gak ada yang perlu kamu tutup-tutupi!”
Begitu mendengar nama Shima, seketika kesadaran Nadisa kembali terbuka. Orang yang ada di hadapannya itu adalah, orang yang telah membuat banyak luka pada sahabatnya.
“Setahu saya, Shima baik-baik saja, dia memang sempat sakit, ta--" ucapan Nadisa terputus karena ucapan Deril.
“Sakit apa?”
“Batuk pilek biasa, sedikit sesak napas juga, tapi sekarang dia gak ada di sini!"
"Di mana dia?"
"Dia saya ajak dia cari udara segar di desa nenek saya, biar cepat sembuh! Jadi, Anda gak perlu kuatir!”
“Dia sakit flu biasa, kenapa kamu menyarankan ke sana, di mana desa nenekmu?”
Nadisa menyadari kesalahannya yang asal bicara tapi, kemudian, dia bisa memperbaikinya.
“Tuan masih sayang sama Shima? Kalau masih sayang, jangan dekati dia sekarang karena dia bilang ingin tenang dan gak mau diganggu dulu, saya janji akan mengurusnya dengan baik! Nanti, kalau dia sudah sehat, pasti kembali ke sini lagi! Kan, ayahnya masih di rumah sakit!”
Deril merasa ucapan Nadisa banyak benarnya. Shima pergi demi kesehatan, jadi dia tidak boleh mengganggunya.
“Kuharap kamu bisa dipercaya!”
“Tentu!”
Deril melangkah pergi, sementara Candra masih berdiri di samping Nadisa dengan gaya yang mengintimidasi.
“Tuan Deril percaya padamu, kuharap kamu gak menyalahi kepercayaan itu atau hidupmu akan hancur!” Setelah berkata begitu, Candra segera mengikuti Deril, dengan langkah lebih cepat untuk membukakan pintu mobil.
Nadisa seketika terdiam, dia sadar dengan apa yang dia katakan dan semua yang harus dipertanggungjawabkan.
**Jangan lupa like!**
aku cuma bisa 1 bab sehari😭