Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Andi menatapku dengan raut penuh kekhawatiran, menunggu isyaratku sebelum membuka pintu. Dengan berat hati, aku mengangguk, dan ia pun membukakan jalan bagi wanita yang berdiri di ambang pintu. Aura dingin mengelilinginya saat dia melangkah masuk, tatapan tajamnya langsung tertuju padaku.
“Aku bukan datang untuk mengganggu atau mencampuri urusanmu, Kirana,” ucapnya dengan nada rendah namun penuh ketegasan. “Aku datang untuk membicarakan sesuatu yang... harus kamu ketahui.”
Aku mengernyit, menatapnya penuh curiga. “Siapa kamu sebenarnya? Apa hubunganmu dengan Dion?”
Dia menarik napas panjang, seakan mencari keberanian untuk menjawab. “Namaku Sari. Kamu mungkin tidak pernah dengar namaku, tapi Dion—suamimu itu—kenal aku dengan sangat baik. Aku adalah masa lalu yang dia tutup rapat-rapat.”
Jantungku berdetak kencang. Dion tidak pernah bicara tentang siapa pun dari masa lalunya. Baginya, semua orang di masa lalunya hanyalah bayangan samar yang sudah tidak relevan. Namun, kehadiran wanita ini memberi arti lain pada misteri itu.
“Maksudmu apa?” tanyaku, mencoba tetap tenang meski hatiku mulai dilanda kebingungan.
Sari menyeringai kecil, senyum penuh kebencian dan luka yang jelas tak kunjung sembuh. “Dion meninggalkanku tanpa alasan. Hanya karena ambisi. Ia memilih untuk melangkah jauh, mengejar dunia yang lebih besar dan lebih terang... meninggalkan semua orang yang pernah berharga baginya, termasuk aku.”
Andi menatap wanita itu dengan tatapan tajam. “Apa tujuanmu sekarang? Kamu datang ke sini dan membuka luka lama, tapi untuk apa?”
Sari menatap Andi sekilas, seakan ia tak begitu penting di mata Sari. “Aku hanya ingin Kirana tahu, Andi. Aku ingin dia mengerti pria seperti apa yang sebenarnya dia nikahi. Aku tidak datang untuk menyakiti, tapi aku juga tidak akan membiarkan kebohongan ini terus berlanjut.”
Aku mengepalkan tangan, menahan rasa cemas yang makin mendalam. “Jika itu yang kamu inginkan, bicara saja terus terang. Aku bisa menanganinya.”
Sari menatapku dalam-dalam, sorot matanya tajam. “Baiklah. Dion bukan orang yang selama ini kau bayangkan, Kirana. Dia... bukan pria yang setia pada satu tujuan, atau satu cinta. Baginya, semua orang hanyalah batu loncatan.”
Kata-katanya terasa seperti racun yang perlahan meresap, membakar setiap harapan dan kepercayaanku terhadap Dion. Aku tak mampu berkata apa-apa. Selama ini, aku tahu Dion punya sisi ambisius, tapi tak pernah kubayangkan bahwa ia bisa mengkhianati orang lain demi dirinya sendiri.
“Apa ini hanya tentang masa lalu? Apa yang kau ingin aku lakukan?” tanyaku akhirnya, mencoba menahan suaraku agar tidak bergetar.
Sari tertawa sinis. “Aku ingin kamu membuka matamu, Kirana. Jika kau terus terperangkap dalam pernikahan ini, kau akan mengalami apa yang aku alami—ditinggalkan tanpa alasan, dibuang seperti barang yang tidak berguna.”
Aku terdiam, memikirkan kata-katanya. Apakah mungkin Dion benar-benar seperti itu? Apakah mungkin semua yang telah kami bangun bersama hanyalah topeng?
Andi menyela, suaranya pelan namun tegas, “Kirana, dengarkan kata hatimu. Jika kamu masih ragu tentang Dion, mungkin ini waktu yang tepat untuk bertanya langsung padanya.”
Aku mengangguk, mengumpulkan keberanian. “Ya, aku akan bicara dengan Dion. Aku perlu mendengar kebenarannya darinya.”
Namun, saat aku mencoba meyakinkan diriku sendiri, Andi menerima telepon mendadak. Wajahnya berubah tegang seketika, dan aku tahu ada sesuatu yang salah.
“Kirana... Dion kabur dari tahanan.”
Jantungku langsung berdegup kencang, darah seolah mengalir cepat ke seluruh tubuh. Kabur? Dari tahanan? Bagaimana mungkin?
“Kabur?” gumamku nyaris tak percaya, menatap Andi yang wajahnya memucat.
Sari tertawa kecil, seakan menikmati kebingungan kami. “Tentu saja dia kabur. Pria seperti Dion tidak akan membiarkan dirinya terkurung di satu tempat, apalagi dalam situasi yang tidak menguntungkannya.”
Aku berusaha mengendalikan rasa panik yang mulai merayap dalam dadaku. “Dia bisa di mana saja sekarang. Kenapa dia kabur, Andi? Bukankah—bukankah selama ini dia bersikap kooperatif?”
Andi mengangguk, wajahnya penuh kebingungan dan ketegangan. “Itulah yang membuatku tak habis pikir. Dia selama ini memang bersikap baik dan kooperatif, bahkan seperti tak punya niat untuk mengelak dari hukuman. Tapi kenyataannya dia kabur.”
Sari mengangkat alis, senyum liciknya kembali muncul. “Kirana, mungkin ini peringatan untukmu. Jangan harap Dion akan kembali dengan permintaan maaf atau pengakuan dosa. Dia bukan pria yang akan mengakui kesalahannya, bahkan jika kebenaran sudah terpampang di depan mata.”
Aku menarik napas dalam, menatap Sari tajam. “Kamu mungkin tahu masa lalunya, tapi kamu tidak tahu segala hal tentangnya sekarang. Kami telah melewati banyak hal bersama.”
“Begitukah?” Sari tertawa dingin, matanya berbinar penuh tantangan. “Percayalah, Kirana. Tidak ada satu pun bagian dari Dion yang benar-benar berubah. Semua yang dia tunjukkan padamu hanyalah topeng.”
Andi, yang sedari tadi menahan emosi, akhirnya angkat bicara. “Sudahlah, Sari. Bukan hakmu untuk memutuskan apa yang benar dan tidak bagi Kirana. Itu urusan dia dengan Dion.”
Sari mengangkat bahunya, tetap dengan ekspresi penuh kesombongan. “Baik, Andi. Tapi jangan salahkan aku kalau nanti semuanya berakhir lebih buruk dari yang kalian bayangkan.”
Setelah itu, Sari berbalik dan melangkah keluar tanpa mengucapkan salam perpisahan. Suara pintu tertutup di belakangnya meninggalkan kesunyian yang begitu mencekam di antara kami.
Andi menatapku dengan raut prihatin, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan ketegangan yang jelas terpancar di wajahku. “Kirana, kita akan mencari tahu ke mana Dion pergi. Jangan panik. Mungkin dia hanya—“
“Dia mencariku,” potongku, suaraku bergetar. Aku bisa merasakan sesuatu yang tidak enak merambat dalam dadaku. “Aku tahu, Andi. Kalau tidak, dia tidak akan kabur secepat ini.”
Andi menggenggam tanganku, mencoba menenangkanku. “Kirana, kita harus berhati-hati. Jika benar Dion mencarimu, kita akan memastikan kamu aman.”
Namun, di dalam hati, aku tahu ini bukan sekadar tentang keamanan. Ini lebih dalam dari itu, lebih pribadi. Dion tidak akan membiarkan dirinya ditinggalkan begitu saja, terlebih dengan segala kebohongan yang terbongkar.
“Andi, tolong hubungi polisi. Katakan pada mereka apa yang Sari katakan tentang masa lalu Dion. Mungkin mereka bisa mengantisipasi langkahnya,” ucapku dengan nada mendesak.
Andi mengangguk, langsung mengambil ponselnya untuk menghubungi pihak berwajib. Aku berdiri di ruang tamu yang sunyi, perasaan cemas bercampur ketakutan melilit tubuhku.
Tiba-tiba, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk.
Dion: “Aku tahu kamu mendengarkan semua omong kosong itu. Kau pikir bisa lepas dariku begitu saja, Kirana?”