Magika dan Azzrafiq tak sengaja bertemu di sebuah cafe, saat Magika sedang melakukan tantangan dari permainan Truth or Dare yang dia mainkan bersama teman-temannya.
Hanya dalam satu malam saja, Magika mampu membuat Azzrafiq bertekuk lutut, mereka melakukan hal-hal gila yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya, mereka melakukannya atas dasar kesenangan belaka.
Keduanya berpikir tak akan pernah berjumpa lagi dan hanya malam ini saja mereka bertemu untuk yang pertama sekaligus yang terakhir.
Namun takdir berkata lain, Magika dan Azzrafiq dipertemukan lagi, karena mereka diterima di kampus yang sama dan lebih tak disangka lagi mereka satu jurusan, tapi keduanya tidak saling mengenali karena saat pertemuan malam itu, mereka dalam pengaruh alkohol yang membuat keduanya tak ingat apa yang telah terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queen Dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencoba Tetap Berdiri Kumenangis
Magika masuk ke dalam kamar seraya membanting tasnya ke atas tempat tidur, dia terduduk di samping tempat tidurnya, dia masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya, Randy yang baru saja mulai dia cintai setega itu menghancurkan hatinya.
Magika merasa sangat bodoh, mengingat dirinya sedari pagi terus menerus mengabari Randy yang tak membalasnya sama sekali, bisa-bisanya dia mempermalukan dirinya sendiri seperti itu.
Kini air matanya terjatuh lagi membasahi kedua pipinya, terpikir olehnya selama ini Randy bersikap manis padanya hanya untuk menyakitinya, mengingat ciuman kemarin malam yang dilakukannya bersama Randy membuat Magika semakin sedih dan terluka.
Bagaimana bisa ciuman yang menurut Magika sangat istimewa hanya menjadi sebatas pelarian semata bagi Randy?
"Kenapa aku memilih Kak Randy? Kenapa aku selalu memilih hati yang salah?" Sesal Magika dalam tangisannya.
Malam minggu yang kelabu.
......................
Hari senin kembali menyapa, pagi-pagi Magika bangun saatnya bersiap untuk kuliah, rasanya kepala Magika pusing gara-gara tidurnya berantakan dua hari kemarin, dan yang pasti sakit hatinya masih sangat terasa.
Hari ini dia harus bisa terima kenyataan, tak ada lagi perlakuan manis dari Randy untuknya.
Setelah kejadian Sabtu kemarin, Magika tak sudi lagi untuk berhubungan dengan Randy, walaupun lelaki itu terus menerus meneleponnya dan mengiriminya pesan yang seolah-olah khawatir pada dirinya. Terlampau sakit hati Magika sudah tak percaya lagi dengan semua kata-katanya.
Hati Magika terasa sangat hampa, di mata kuliah pertama hari ini pikirannya kosong dan dia tak fokus untuk menyimak apa yang dikatakan oleh Dosen. Dia memang berada di kelasnya tapi pikirannya tidak.
Vanilla menyadari sikap Magika yang murung, hanya bisa menyemangatinya saja, meskipun perkataannya tak begitu didengar oleh Magika.
"Sialan, kalo ketemu orangnya aku habisin dia karena udah nyakitin Magika." Umpat Vanilla yang terlihat sangat kesal.
"Sabar sabar Nill, tapi aku juga gemes banget sih sama Kak Randy." Sahut Zea.
"Gak bisa Ze, aku tuh udah janji bakalan abisin dia kalo nyakitin Magika."
"Dia emang brengsek Gee, bukan cuma kamu doang yang dia deketin buat dijadiin pelarian dia selama putus dari pacarnya." Sela Hilda menimpali obrolan Vanilla dan Zea, ternyata dari tadi ada yang menguping.
Magika menoleh pada Hilda. Pelarian? Apa benar aku hanya sekedar jadi tempat pelariannya saja? Batin Magika.
Ketika mendengar ucapan Hilda, Magika tak kuasa ingin menangis saat ini juga, ternyata dirinya hanya dimanfaatkan oleh Randy dan dijadikan pelarian dari rasa sepinya saja.
"Emangnya siapa aja yang dia deketin?" Tanya Vanilla gemas.
"Dia sempet deketin aku juga, tapi kita cuma sekedar chat aja gak sampe jalan bareng kayak Magika." Jawab Hilda datar.
Kepala Magika semakin pening setelah mendengar penjelasan Hilda, kenapa Hilda tak memberitahunya dari kemarin-kemarin kalo Randy itu seorang player?
"Makanya, jangan ngerasa kamu yang paling istimewa, rakus sih jadi orang, ngemis perhatian sama beberapa cowok." Celetuk Alin.
"Apaan sih? Nimbrung terus, kalo gak tahu masalahnya gak usah asal bunyi." Sahut Magika.
"Magika tuh gak caper kayak kamu kali Lin yang ngemis perhatian ke cowok-cowok tapi gak ada satupun cowok yang kamu lalerin, peduli sama kamu." Timpal Zea.
Seketika terlintas dengan cepat dari pikirannya, Magika baru ingat ada tugas yang harus dikumpulkan besok, sialnya dia belum mengerjakannya.
Magika segera beranjak dari kursinya, untuk mencari bahan materi makalah di perpustakaan.
"Kamu mau kemana Gee?" Tanya Vanilla.
"Ke perpus, aku mau kerjain makalah yang dikumpulin besok." Jawab Magika.
"Mau aku temenin?" Tanya Zea yang khawatir dengan keadaan Magika.
"Yaelah dia bukan anak kecil lagi kali yang harus ditemenin." Oceh Alin.
"Gak usah, gak apa-apa, bye guy's." Magika pamit pada teman-temannya lalu pergi keluar kelas.
Magika tergesa-gesa menuju perpustakaan, dan sialnya ketika melewati lobi, dia melihat Randy dan pacarnya sedang bergandengan tangan sambil bercengkrama dengan teman-temannya.
Dia tahu Randy pasti melihatnya yang sedang jalan melewatinya, tapi dia tidak peduli, walaupun sebenarnya ingin menangis, Magika ingin terlihat kuat, dan tak ingin terlihat lemah di depan Randy.
Di perpustakaan, Magika berusaha fokus mencari referensi untuk makalahnya, dia menilik buku-buku yang tersimpan dengan rapi di dalam rak, kebetulan buku-buku yang dia butuhkan terletak di bagian atas semua.
Magika berjinjit untuk mengambil buku yang dia butuhkan, dengan susah payah dia berhasil mengambilnya, namun beberapa buku di sampingnya goyah dan terjatuh tepat di atas keningnya.
Magika tersentak, dia langsung tertunduk sambil mengusap-ngusap dahinya yang terasa sakit, buku-buku itu melukainya.
Magika terisak karena merasakan perih di keningnya, sebenarnya rasa perih itu bukan berasal dari luka akibat buku-buku yang terjatuh mengenai keningnya, melainkan perih dari hatinya yang terluka.
Meskipun sedari tadi dia mencoba berjuang menjadi wanita yang kuat, berusaha tegar dan tak ingin terlihat rapuh di hadapan teman-temannya, terlebih lagi di hadapan Randy. Namun saat ini, Magika tak mampu lagi meredam sakit hatinya, luka yang berdenyut di keningnya seolah memberikan alasan agar dirinya dapat menangis.
Dia tak menyadari ada Yudhistira yang sedang memperhatikannya, seakan ada kesempatan untuknya mendekati Magika, perlahan langkah kakinya mulai mendekati wanita yang sedang menangis itu, dia bingung, apa sebegitu menyakitkannya luka akibat tertimpa beberapa buku?
"Sorry, lo baik-baik aja kan?" Tanya Yudhistira.
Magika tersentak oleh suara Yudhistira, sontak dia langsung mendongakkan kepalanya dan melihat lelaki itu sudah berada di hadapannya, dia segera menghapus air matanya.
Mata Magika yang terlihat sembab, tetap nampak mempesona bagi Yudhistira, aroma parfum Magika tercium jelas di hidungnya, rupanya wangi aroma bany powder yang pernah dia hirup itu berasal dari wanita ini.
"Masa sih sesakit itu ketimpa buku? Sampe buat lo nangis kayak anak kecil." Celetuk Yudhistira.
Mendengar ucapan Yudhistira pada dirinya membuat Magika kesal.
"Daya tahan seseorang menahan sakit itu beda-beda ya." Kata Magika ketus.
Yudhistira melihat goresan luka di kening Magika yang memerah. "Ok sorry kalo kata-kata gue nyinggung lo, ada luka di kening lo, gue obatin ya."
"Gak usah." Kata Magika seraya beranjak pergi.
Magika mencari meja kosong untuk mengerjakan makalahnya, dia melihat ada laptop terbuka di meja yang akan dia tempati, dia duduk di hadapan laptop yang pemiliknya entah berada di mana.
Magika mulai membuka laptopnya dan membaca buku-buku yang diambilnya tadi, yang menjadi referensi untuk makalahnya.
Lalu pemilik laptop yang ada di hadapannya datang, yang tak lain dan tak bukan orang itu adalah Yudhistira.
Karena malas untuk berpindah meja, Magika tak memedulikannya, dia larut dalam mengerjakan tugasnya, meskipun bayangan Randy berlalu lalang dalam pikirannya, dan tak dia sadari air matanya kembali terjatuh, dia langsung menyekanya, berusaha kuat dan fokus mengetik tugasnya.
"Sekali lagi gue minta maaf sama lo, kalo kata-kata gue tadi menyinggung lo." Kata Yudhistira memecahkan keheningan di antara mereka.
Magika melirikkan matanya yang sembab pada Yudhistira, dia tak berkata sepatah kata pun, lalu melanjutkan lagi menuntaskan tugasnya.
Yudhistira yang memperhatikan Magika dari tadi, menyadari bahwa gadis itu menangis bukan karena keningnya yang terluka, tapi ada hal lain, dia dapat menebak bahwa Magika pasti sedang patah hati.
Yudhistira ingin sekali berkenalan lebih jauh lagi dengan Magika, menanyakan beberapa hal mengenai wanita yang di hadapannya itu, tapi melihat keadaan Magika, sepertinya tak memungkinkan, dia mengurungkan niatnya. Mungkin belum saatnya.
Magika yang sadar sedari tadi diperhatikan oleh Yudhistira, tampak risi dan memberanikan diri menegurnya.
"Kamu tuh siapa sih? Kenapa dari tadi perhatiin aku terus? Udah gitu waktu itu diam-diam foto aku, mau kamu itu apa? "Tanya Magika seraya mengetik makalahnya.
"Gue cuma khawatir sama luka di kening lo, di sini banyak debu, yang dikhawatirkan luka lo infeksi." Tutur Yudhistira.
Magika memegang keningnya yang tergores, dia baru tersadar lagi keningnya terluka, sakit dari lukanya terasa berdenyut.
"Gue obatin ya, lo tenang aja, gak usah khawatir, gue bukan orang jahat." Kata Yudhistira seraya membuka ranselnya untuk mengambil kotak kecil PPPK.
Yudhistira mengeluarkan alkohol, obat merah, kapas dan plester dari kotak kecil itu, dia beranjak dari kursinya dan berdiri di samping Magika untuk mengobati luka di kening wanita yang disukainya.
"Sorry ya, gue sentuh rambut lo." Ucap Yudhistira seraya menggeser poni Magika agar tidak kena obat merah.
Magika tampak pasrah ketika Yudhistira mengobatinya, denyut luka di keningnya terasa berdesir ketika kapas yang ditetesi alkohol menempel di lukanya, dia menutup matanya menahan perih.
"Tahan ya, ini emang perih." Tutur Yudhistira.
"Aww." Spontan Magika merintih.
Sentuhan akhir, Yudhistira memakaikan plester di kening Magika. "Ok udah selesai."
Wanita yang sedang patah hati itu, meraba plester yang menempel di keningnya, apakah tidak terlihat aneh? Pikirnya.
"Makasih ya." Kata Magika sambil tersenyum, seandainya juga ada orang yang mengobati hatinya yang saat ini terluka.
Yudhistira memasukkan lagi kotak kecil PPPK ke dalam ranselnya. "Sama-sama, kalo lo senyum gitu lebih enak dilihat, oh ya gue belum tahu nama lo siapa."
"Magika." Jawab Magika seraya melanjutkan lagi mengetik makalahnya.
Terdengar familiar dengan nama itu, sepertinya Yudhistira pernah mendengar namanya, tapi dimana ya? Pikirannya berputar mencoba mengingatnya.
"Lo ambil jurusan apa?"
"Teknik Mesin" Jawab Magika asal, dia sedang fokus mengetik karena sedikit lagi tugasnya selesai.
Yudhistira terkekeh. "Lo anak kampus sebelah?" Matanya melirik pada buku-buku yang dibawa Magika. "Jadi sekarang anak Teknik Mesin bikin makalahnya tentang hukum ya?"
"Ya kamu pikir?"
"Masih jutek aja." Celetuk Yudhistira mendengar respons Magika.
Selang beberapa menit, akhirnya Magika menyelesaikan makalahnya, dia meregangkan tubuhnya di kursi ketika selesai, lelaki di hadapannya masih bertaut dengan laptopnya.
Magika membereskan barang-barangnya yang tergeletak di atas meja, terlihat dari jendela kaca yang besar di perpustakaan, nampak langit sudah mendung, dia memakaikan rain cover pada tas ranselnya sebelum meninggalkan perpustakaan.
"Yudhistira, aku duluan ya, makasih udah obatin luka aku." Kata Magika berpamitan seraya beranjak dari kursinya.
Yudhistira menoleh ke jendela dan mendapati langit sudah mendung. "Di luar udah mendung, bentar lagi kayaknya hujan, lo gak mau nunggu dulu?"
"Masih banyak urusan yang harus aku selesaikan hari ini, sampai ketemu lagi." Ucap Magika seraya meninggalkan Yudhistira.
Yudhistira memandangi kepergian Magika, tugas yang dia kerjakan sedikit lagi rampung, dia menyelesaikannya secepat mungkin.
Di tengah jalan menuju parkiran, hujan pun turun dengan deras, orang-orang di sekitar Magika berhambur berlarian mencari tempat berteduh, tetapi dia tak menghiraukannya, dia tetap berjalan di bawah guyuran hujan, dia sengaja menembus hujan karena sudah tak bisa lagi menahan air matanya yang terus membendung sedari tadi.
Pikiran Magika kembali pada Randy, semua kenangan dengan kakak tingkatnya beberapa hari lalu berputar di kepalanya, Randy yang menciumnya, Randy yang selalu tersenyum untuknya, Randy yang selalu memberinya kejutan, kini semuanya hilang begitu saja seperti tak terjadi apapun diantara mereka.
Magika menangis sesenggukan di bawah hujan yang menghujam tubuhnya, seluruh tubuhnya sudah habis basah kuyup, dinginnya air hujan sangat terasa dikulitnya. Dia berjalan sambil menundukkan kepalanya, namun tiba-tiba ada seseorang datang memayunginya.
Magika menolehkan kepalanya, ternyata itu Yudhistira, rasanya sia-sia pakai payung pun tetap basah, dia menghentikan langkah kakinya.
"Seengganya dengan payung ini hujan gak terlalu menghujam tubuh lo." Ucap Yudhistira.
Magika hanya terdiam dan tetap menangis, larut dalam kesedihannya yang mendalam, tak sanggup lagi untuk meredamnya, dia tak peduli Yudhistira melihatnya seperti ini, yang penting dia bisa meluapkan kesedihannya.
"Hidup kadang emang gak selalu berjalan sesuai yang kita inginkan, tapi kalo lo mau nangis di bawah hujan, sekarang emang saatnya yang paling tepat." Ujar Yudhistira seraya memperhatikan Magika, seketika hatinya merasakan pilu melihat wanita yang disukainya menangis seperti ini.
"Tapi sayangnya berlian kayak lo jangan terlalu larut dalam kesedihan, bisa-bisa kilauan lo redup karena tertutup duka. Apalagi kalo yang buat lo sedih bukan hal yang layak untuk ditangisi." Sambung Yudhistira mencoba menguatkan Magika.
Magika menatap lelaki itu lalu mengusap air matanya, dia tersentak mendengar perkataan Yudhistira. Bukan hal yang layak untuk ditangisi?
Ya memang tidak layak! Batin Magika. Sesak dalam dada perlahan hilang seiring dengan tangisannya yang memuncak.
Yudhistira dengan sabar menemani Magika, sampai wanita itu merasa lega meluapkan semua kepiluannya.
Magika menatap langit yang berwarna kelabu, dia memejamkan matanya sekejap, merasakan sentuhan air hujan yang dingin di wajahnya, kini sesak dalam dadanya hilang, entah mengapa air hujan bisa menghapus semua kekalutan dalam hatinya.
Magika menoleh pada Yudhistira yang setia menemaninya, padahal Magika sudah bersikap jutek padanya, itu karena beberapa waktu lalu lelaki itu membuatnya kesal karena memotretnya diam-diam
"Semua yang dibilang kamu benar." Ucap Magika sambil tersenyum kecil.
Yudhistira tersenyum. "Syukurlah kalo lo saat ini udah merasa sedikit lega dan bisa tersenyum lagi."