Dikhianati sang kekasih dan melihat dengan mata kepalanya sendiri wanita yang dia cintai tengah bercinta dengan pria yang tak lain sahabatnya sendiri membuat Mikhail Abercio merasa gagal menjadi laki-laki. Sakit, dendam dan kekacauan dalam batinnya membuat pribadi Mikhail Abercio berubah 180 derajat bahkan sang Mama sudah angkat tangan.
Hingga, semua berubah ketika takdir mempertemukannya dengan gadis belia yang merupakan mahasiswi magang di kantornya. Valenzia Arthaneda, gadis cantik yang baru merasakan sakitnya menjadi dewasa tak punya pilihan lain ketika Mikhail menuntutnya ganti rugi hanya karena hal sepele.
"1 Miliar atau tidur denganku? Kau punya waktu dua hari untuk berpikir." -Mikhail Abercio
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33 - Menginginkan Dia
Sepi, sunyi dan semuanya begitu asing kala Mikhail membuka matanya. Dimana dia kini, sebuah kamar bercat putih polos ini bukanlah kamar yang biasa dia tempati. Mikhail hendak menggerakkan tubuhnya yang kini terasa sedikit kaku, pria itu menggigit bibir bawahnya kala mencoba menapakkan kakinya di lantai.
"Jangan dipaksa, pasti masih sakit ... iya kan?"
Suara itu, Mikhail menatapnya lekat-lekat. Tangan halus yang menahan tubuhnya ini sangat familiar baginya. Aroma strawberry yang menjadi favoritnya kini menyeruak indera penciuman Mikhail.
"Zia?"
"Iya? Kenapa, Pak? Nggak boleh saya pegang ya?"
Mikhail menggeleng, pria itu meraih jemari Zia kemudian menciumnya untuk waktu lama. Kemana saja anak nakal ini, berani sekali meninggalkannya di saat dia tengah tertidur, pikir Mikhail kesal sekali.
"Kamu terlalu lama membiarkanku sendirian, Zia ... cara marahmu begini ya?"
Tak pernah dia lihat senyum Zia yang begini, padahal biasanya Zia lebih sering memasang wajah juteknya jika Mikhail mencubit wajahnya begini.
"Nggak marah, dan Bapak tidak pernah sendirian ... kita akan selalu bersama, Tuhan sudah menakdirkan kita dalam satu aliran darah."
"Maksud kamu?"
Mikhail tidak begitu mengerti sebuah kalimat kiasan begini, dia mengerutkan dahi dan Zia hanya tersenyum sembari menempelkan tangan Mikhail di dadanya, dan begitupun sebaliknya.
"Tempatkan saya sebagaimana saya menempatkan Anda sebagai penguasa jiwa saya, Anda adalah alasan kenapa jantung saya masih berdetak hingga saat ini, Mikhail Abercio."
Mikhail berdesir hebat mendengarnya, manis sekali bukan. Bahkan Zia berinisiatif mengecup keningnya untuk waktu yang sangat lama. Kerinduan tak terbendung itu akhirnya mencapai titik temu jua, Valenzia berdiri di hadapannya setelah cukup lama Mikhail menanti kehadiran wanita itu.
Pria itu menatap Zia dalam-dalam, tidak ada yang berubah dari wanita ini. Dia semakin cantik, manis dan mata Mikhail selalu jatuh cinta berulang pada sosok Valenzia Arthaneda ini.
"Boleh aku memelukmu? Sekali saja?"
Pertama kalinya dia meminta izin, Mikhail seakan kaku dibuatnya. Jika biasanya dia sesuka hati memeluk tubuh wanita ini, entah kenapa sekarang dia merasa segan.
"Jangan sekarang ... saya harus pergi, Pak."
"Kenapa harus?"
"Memang harus."
Wajahnya berubah seketika kala penolakan itu dia dengan begitu nyata. Mikhail menatap Zia penuh tanya dan hatinya tiba-tiba kecewa kala Zia benar-benar melangkah pergi dan meninggalkannya.
"Jangan pergi, Zia ... tolong kembali!!" Mikhail masih bertahan di tepian tempat tidur.
"Zi ... Zia!! Zia kembali!!" teriak Mikhail lagi seraya cepat-cepat beranjak dan hendak mengambil langkah, namun jangankan berlari, baru saja hendak melangkah dia merasakan sakit luar biasa menjalar di kakinya dan kini benar-benar tak bisa mempertahankan keseimbangannya
BRUUGH
"Aaarrrrrggghhhh!!! Ziaaaaa!!"
Sakit yang tadinya sudah menyiksa, kini berkali lipat sakitnya. Mikhail terjatuh dari tempat tidurnya bahkan infus yang tertancap di punggung tangannya lepas begitu saja.
"ASTAGA, KHAIL!!"
Ibra yang baru keluar beberapa waktu lalu jelas kaget luar biasa kala melihat putranya sudah pindah di bawah tempat tidurnya. Dengan langkah panjang dan wajah penuh kecemasan Ibra menghampiri Mikhail.
"Ya Tuhan, kenapa bisa jatuh begini."
Sejak beberapa hari lalu bersabar menunggu putranya sadarkan diri, sekalinya sadar Mikhail justru terjatuh dan kini meringis dengan rasa sakit yang sudah pasti teramat sangat sakit.
"Papa," lirih Mikhail dengan matanya yang sayu dan terlihat lesu merintih di hadapan Ibra.
"Hm, sadar juga kamu ... tunggu sebentar, Papa tidak bisa angkat kamu sendirian."
Menatap sang papa penuh tanya, dia bingung kenapa Ibra menangis usai memeluknya begitu erat. Dan yang lebih aneh lagi, ketika hendak berusaha bangkit tubuh Mikhail tidak merespon sama sekali.
"Aku kenapa, Pa?"
Entahlah, harusnya Ibra yang bertanya kenapa putranya bisa begini. Hingga perawat datang, Mikhail harus diangkat dengan bantuan mereka. Dengan disaksikan Kanaya dan juga Ibra di sisinya, pria lemah itu masih bertanya-tanya tentang apa yang terjadi padanya.
-
.
.
.
"No!! It's not funny!! Papa bercanda kan?" Dia masih lemah, namun ucapan sang papa tentang kecelakaan yang dia alami baginya tidak masuk akal.
Jika Mikhail menganggap ini semua candaan, sejak hari kejadian Ibra sudah berharap bahwa ini adalah candaan putranya. Akan tetapi, sayang sekali pada faktanya tidak begitu.
Semua yang Mikhail alami adalah kenyataan pahit dan harus mereka telan paksa di bulan kelahiran putranya. Mikhail tak terima dengan apa yang terjadi padanya, berusaha untuk menggerakkan kakinya namun nyatanya sama sekali tidak bisa walaupun hanya menggerakkan jemarinya.
"Ays!! Bergeraklah boddoh!! Kenapa begitu saja sulit?!!"
Mikhail tak peduli dengan larangan Ibra yang sejak tadi memintanya tenang. Hatinya marah dan jengkel luar biasa melihat kakinya hanya diam tanpa sedikitpun melakukan pergerakan.
Dia ingin berlari, Zia yang tadi menghampirinya dia yakin belum jauh. Jika dia begini lalu bagaimana cara mendapatkan wanitanya kembali, pikir Mikhail kacau sekali saat ini.
"Lalu bagaimana dengan Zia? Apa Papa tidak melarangnya pergi?"
Zia? Ibra sedikit familiar dengan nama ini. Dia pernah mendengarnya tapi benar-benar tidak ingat sama sekali. Lain halnya dengan Ibra yang justru berusaha mengingat siapa Zia, Kanaya kini semakin dibalut kekhawatiran dan cemas tak terkira mengingat pernyataan dokter tentang kemungkinan yang terjadi akibat benturan kuat di kepala Mikhail.
"Zia siapa, Sayang? Mama tidak melihat siapapun masuk kesini."
"Ada, Ma! Tadi Zia datang dan memelukku, dia masih pakai shampo yang sama seperti kemarin!, aku yakin itu adalah dia," jelas Mikhail semakin membuat Kanaya ketar-ketir, ini tidak wajar dan Mikhail mengarang bebas.
Lima belas menit sebelum Mikhail tersadar, Kanaya masih berada di sisinya. Kalaupun memang ada yang datang, rasanya tidak mungkin selancang itu.
"Khail ... kamu sepertinya masih lelah, tidur ya," tutur Kanaya merasa tidurnya Mikhail lebih baik daripada dia mengutarakan hal-hal yang tidak-tidak dan membuat Kanaya semakin berpikir macam-macam.
"Mama ingin aku tidur lagi? Bukankah Papa senang aku bangun?"
Dia meminta pembelaan sang papa, dalam keadaan begini dia benar-benar marah. Kakinya tidak bisa melakukan apa-apa dan Mikhail hanya bisa mengepalkan tangan seraya membuat napas putus asa.
"Bukan begitu, Mikhail ... tapi memang kamu masih lelah."
Bukan berontaknya Mikhail keadaannya yang tidak bisa bergerak, melainkan karena ucapan putranya. Menurut Kanaya itu adalah khayalan dan ditakutkan akan mengganggu otak putranya nanti.
"Aku tidak bohong, Ma ... tolong panggilkan Zia, aku yakin dia belum jauh, Mama."
Siapa yang dia maksudkan, mau bagaimana caranya agar Mikhail berhenti mengatakan omong kosong. Kanaya adalah seseorang yang hingga kini masih penakut, mendengar ucapan Mikhail pikirannya sudah bercabang tujuh.
"Iya, nanti Mama panggilkan Zia."
Meski dengan sejuta tanya, Kanaya tetap berusaha membuat pria itu tenang dan diam sementara. Walau jujur saja dia sangat tidak nyaman dengan keinginan Mikhail kini.
Tbc