Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertengkaran Sengit
Adi dan Kimi mendekati montir yang sedang sibuk memasang pelek pada truk sampah di bengkel kecil itu. Adi melongok-longok, matanya berkeliling memastikan bahwa pelek depan kanan truk itu berwarna silver, sementara pelek ban belakangnya yang sedang dipasang si montir terlihat hitam kusam.
Adi yakin bahwa truk itu persis seperti yang mereka cari.
Kelakuan Adi menarik perhatian si montir. Ia menatap Adi dengan heran. Begitu pula seorang pria berperawakan tinggi besar di dalam bengkel, mata tajamnya mengamati setiap gerakan Adi, terutama karena Adi terus melongok-longok memeriksa truk itu.
Lelah dan tegang terasa merambat ke tengkuknya, namun Adi tetap bertekad melanjutkan misi.
“Di mana sopirnya, Pak?” tanya Adi pada si montir, suaranya terdengar mantap, meski jantungnya sedikit berdebar. Sebelum montir itu sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara keras dari dalam bengkel.
“Saya sopir truk itu, ada apa mencari-cari saya?” Pria tinggi besar di dalam bengkel berdiri, memperlihatkan postur tubuh kekar dan wajah keras. Tatapan mata pria itu begitu tajam, seolah menembus hingga ke tulang. Ia tampak seperti seseorang yang telah melalui banyak cobaan hidup, wajahnya mencerminkan ketegasan dan ketidakpedulian akan bahaya.
“Ada masalah apa, hah?” tanyanya dengan nada mengintimidasi, membuat Adi merasa sedikit terpojok. Pria itu seperti tak kenal takut, dan Adi bisa merasakan sedikit getaran dalam dirinya. Tapi ia tahu, ia tidak boleh mundur. Ia hanya ingin mencari informasi, bukan mencari masalah.
“Oh, begini Pak,” kata Adi, mencoba menguasai rasa takutnya. “Saya mau tanya, apa betul truk sampah ini tadi sempat lewat ke wilayah Kemang?”
Si sopir truk itu tak langsung menjawab. Dia terlihat berpikir, mengingat-ingat. “Ya, ada apa memangnya?”
Adi melanjutkan dengan sedikit ragu, “Apa Bapak tadi lewat ke rumah yang ada pohon...,” dia berhenti sejenak, lalu melirik ke arah Kimi. “Kimi, pohon apa yang di depan rumah kamu?”
“Ketapang kencana,” jawab Kimi singkat.
“Saya tidak tahu, saya tidak memperhatikan hal sedetail itu,” jawab si sopir dengan nada yang terdengar mengejek, tapi Adi tak mundur.
“Itu, Pak, yang dekat rumah gedong besar, tiga lantai warna putih,” sambung Kimi, mencoba membantu penjelasan Adi.
“Oh iya, saya ingat. Ya, benar, saya lewat di situ tadi sekitar jam tujuh pagi. Tapi saya belum mengerti, ada apa sebenarnya? Cepat katakan!” Suara pria itu makin tajam, seolah ingin menantang.
Adi berusaha tetap tenang. Ia paham mungkin itu hanya watak alami si sopir yang keras, dan ia tidak perlu gentar karena cara bicara pria itu.
Dengan tekad yang mantap, Adi berkata, “Sepatu saya hilang, Pak. Saya yakin sepatu itu terbuang tak sengaja oleh seorang pendorong gerobak sampah di sana ke truk ini.”
Si sopir tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk perlahan. “Oh iya, saya ingat. Memang ada seorang pendorong gerobak sampah tadi di dekat situ, membuang sampahnya ke truk saya. Sampahnya membuat truk saya benar-benar penuh, dan saya langsung ke sini. Sayang sekali, ban truk sampah saya meletus dan sedang diperbaiki cukup lama di sini, selain itu mesinnya sedikit bermasalah,” nada suaranya melunak, seolah meratapi nasibnya.
Si sopir melanjutkan perkataan, “Dan soal sepatumu yang terbuang, kau bisa lihat sendiri, truk saya sudah kosong. Saya sudah menumpahkan semua isinya di sana,” katanya sambil menunjuk ke arah gunungan sampah yang terlihat sejauh mata memandang.
Adi sudah menduga ini, tapi mendengar langsung dari si sopir membuatnya merasa sedikit ada harapan. Semangat yang sempat pudar kini bangkit kembali. “Kalau boleh tahu, di sektor mana sampahnya dibuang, Pak?” tanyanya penuh harap.
Si sopir menatapnya sejenak, seolah meragukan tekad Adi. “Kau yakin mau mencarinya ke sana?” tanyanya, mencoba menggoyahkan keyakinan Adi.
Adi sempat ragu, tapi ia tahu ia tidak boleh menyerah sekarang. “Saya akan mencobanya,” katanya tegas, meski hatinya sedikit bergetar.
“Di sektor 3C,” jawab si sopir akhirnya.
“Di sebelah mana itu?” tanya Adi lagi, tak ingin melewatkan detail apapun.
“Di wilayah timur. Kau tanyakan saja tepatnya ke penjaga gerbang,” kata si sopir, menutup pembicaraan dengan nada yang kembali sedikit kasar, namun tidak lagi menantang.
Adi dan Kimi menatap ke area pembuangan sampah, semangat dan tekad di mata mereka kembali meluap. Mereka tahu tugas ini tidak akan mudah, tapi mereka juga tahu, mereka tidak bisa mundur sekarang.
Setelah mendapatkan informasi dari sopir truk berperawakan garang itu, Adi dan Kimi mengucapkan terima kasih dan berjalan keluar dari bengkel kecil itu. Meski langit semakin redup dan angin sore bertiup membawa aroma khas tempat pembuangan akhir, semangat mereka tetap menyala.
Tugas yang dihadapi memang terasa hampir mustahil—mencari sepasang sepatu di antara tumpukan sampah di sektor 3C yang bahkan mereka belum mengetahuinya. Namun mereka merasa tak punya pilihan selain mencoba.
Mereka berjalan cepat menuju bajaj yang diparkir tak jauh dari bengkel. Adi memandang ke kejauhan, matanya tertuju pada gunungan sampah yang menjulang tinggi seperti bukit dan hamparan tak berujung.
Sambil melangkah, hatinya terasa berdesir, antara ketakutan dan keyakinan. Kimi, yang juga merasakan kecemasan serupa, berusaha menyembunyikan perasaannya dengan terus berjalan mengikuti Adi.
Tiba-tiba, ponsel Kimi berdering. Sebuah nomor anonim masuk, namun Kimi mengenalnya. Kimi ragu untuk menerima panggilan itu. Namun, akhirnya ia menekan tombol jawab.
Tiba-tiba sebuah suara penuh amarah langsung menyambar telinga, “Hey, perempuan murahan! Apa yang kamu lakukan dengan Adi?”
Kimi, yang tak ingin terlibat dalam konflik, segera menyerahkan ponselnya kepada Adi tanpa bicara. Wajahnya pucat di balik niqab, merasa tak enak karena tak ingin jadi penyebab masalah.
Adi menerima ponsel dengan raut wajah lelah. “Halo, siapa ini?”
“Adi? Mana perempuan murahan itu? Kalian di mana? Kalian sedang apa, hah?” tanya Karin, meledak-ledak.
“Karin?” tanya Adi, terkejut. “Tunggu, siapa yang kamu sebut murahan?” begitu melihat Kimi, Adi langsung sadar. “Oh, Karin, dia rekanku, aku sedang ada urusan penting sekarang.”
Suara Karin semakin meninggi, penuh dengan kemarahan yang hampir tak terkendali. “Urusan apa? Kamu kira aku bodoh? Rencana fitting baju pernikahan kacau gara-gara kamu! Dan kamu bersama perempuan murahan itu sekarang malah bersenang-senang di belakangku?!”
Adi merasa darahnya mendidih, tetapi ia mencoba menahan diri. “Karin, tolong jangan sebut kata itu lagi! Dia perempuan baik-baik,” tegas Adi.
“Jadi, kamu membela dia ya? Apa-apaan ini?” sahut Karin terdengar sangat emosi.
“Sekarang dengarkan aku. Tidak ada yang terjadi seperti yang kamu pikirkan. Aku dan rekanku hanya bekerja sama. Kami sedang dalam misi penting.”
“Penting?” Karin menyambar kata itu dengan penuh sinis. “Apa yang lebih penting daripada hubungan kita? Kamu sudah mengabaikan aku! Dan sekarang kamu bersama perempuan itu, di mana kamu sebenarnya? Aku sudah di TMII, tapi kamu tidak ada di sini! Cepat katakan, di mana kamu sekarang?”
Adi terkejut mendengar Karin berada di TMII, “Apa? Kamu di TMII?” tanyanya. Adi tak mengerti, bagaimana Karin bisa tahu soal perjalanannya ke TMII. Kecemasan menggerogoti pikirannya, takut jika Karin tahu bahwa mereka sekarang di Bantar Gebang. “Karin, aku tidak bisa menjelaskan sekarang. Ini bukan waktu yang tepat,” kata Adi dengan sedikit gugup.
Namun Karin tak mau mendengarkan. “Kamu selalu punya alasan, Adi! Selalu ada urusan yang lebih penting daripada aku. Apakah aku pernah berarti bagimu? Atau kamu hanya menjadikan aku boneka yang bisa kamu permainkan?”
“Karin, itu tidak benar! Kamu tahu aku mencintaimu. Tapi sekarang ini benar-benar urusan penting yang tidak bisa ditunda,” Adi mencoba menjelaskan dengan sabar, tetapi ia bisa merasakan bahwa Karin tak akan mudah diyakinkan.
Karin tiba-tiba mengubah nada suaranya, menjadi lebih dingin dan menyakitkan, “Dan anak itu? Anak siapa itu, Adi? Apa kalian sudah menikah di belakangku dan punya anak?”
Adi terkejut. “Karin, apa maksudmu? Anak siapa?”
“Jangan berpura-pura bodoh, Adi! Tadi aku mendengar suara anak-anak saat aku menelepon perempuan murahan itu?”
“Karin, jangan sebut itu lagi!” perintah Adi, mulai marah.
“Jawab, siapa anak itu?!” desak Karin.
Adi terdiam sejenak, mencoba mengingat-ingat. Adi teringat sesuatu. Mungkin yang dimaksud Karin adalah anak kecil yang menumpang dengan ibunya di TMII. “Karin, itu bukan anak siapa-siapa. Itu seorang anak dan ibunya. Mereka hanya menumpang. Kamu terlalu jauh berprasangka.”
“Berprasangka?!” Karin berteriak, suaranya dipenuhi kepahitan. “Kamu pikir aku bodoh? Kamu pikir aku buta dengan apa yang terjadi? Aku muak dengan kebohonganmu, Adi! Aku muak dengan semua omong kosong ini! Kamu pasti sudah menikah dengan perempuan murahan itu dan punya anak bersamanya, sementara aku ini hanya jadi pelampiasan!”
Hati Adi hancur mendengar kata-kata itu. Ia berusaha keras menahan emosi yang mendidih di dalam dirinya. “Karin, cukup. Kamu tidak bisa terus-menerus menyakitiku dengan tuduhan-tuduhan tak berdasar ini. Aku di sini sedang berjuang untuk sesuatu yang penting, bukan untuk menghancurkan hubungan kita.”
“Hubungan kita?” Karin tertawa sinis, “Apa kamu masih berpikir kita punya hubungan? Hubungan macam apa yang isinya hanya kebohongan dan pengkhianatan? Kamu tidak peduli lagi padaku, Adi. Kamu hanya peduli pada perempuan itu dan urusan bodohmu!”
“Urusan bodoh? Bahkan aku belum memberitahukan urusanku di sini?” balas Adi merasa emosi. Tapi kemudian berusaha mengendalikan diri. “Baiklah Karin, dengar, aku peduli padamu. Tapi sekarang aku sedang ada urusan mendesak. Jadi, tolong mengerti,” pinta Adi seraya tenang.
“Tidak, Adi. Aku tidak bisa mengerti lagi. Aku lelah. Kamu sudah menghancurkan semua harapan dan impian yang kita punya. Sekarang aku hanya melihatmu sebagai pembohong, pengkhianat yang tidak bisa dipercaya!” Suara Karin bergetar antara kemarahan dan kesedihan yang dalam.
Adi tidak bisa lagi menahan perasaannya. Ia merasakan dinding pertahanannya runtuh, membuatnya merasa kecil dan tak berdaya. “Karin, aku tidak ingin kehilanganmu. Tapi kamu tidak bisa terus menyiksa aku dengan tuduhan-tuduhan ini. Aku sudah cukup terluka dengan semua ini.”
“Luka?” Karin mengejek. “Kamu bicara tentang luka? Kamu tidak tahu apa-apa tentang rasa sakit, Adi. Rasa sakit adalah ketika kamu mencintai seseorang dengan sepenuh hati, tetapi dia hanya mempermainkan perasaanmu dan berbohong di setiap kesempatan. Itulah rasa sakit yang sebenarnya!”
Adi merasa semakin tenggelam dalam rasa bersalah yang mendalam. “Karin, aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu.”
“Tidak pernah bermaksud? Itu tidak cukup, Adi. Semua ucapanmu hanya omong kosong! Aku tidak tahu bagaimana kita bisa kembali seperti dulu, atau mungkin kita memang tidak akan pernah bisa kembali.” Karin akhirnya terdiam, dan Adi tahu bahwa kata-kata itu adalah puncak dari semua ketegangan yang terpendam.
Adi tak sanggup lagi melanjutkan percakapan. Meski berat hati, ia akhirnya memutuskan panggilan itu, meski tahu bahwa ini bukan akhir dari semua masalah mereka.
Dengan wajah gusar, Adi mengembalikan ponsel kepada Kimi. Mereka belum jauh dari area bengkel, dan orang-orang di sekitar—si montir, sopir truk, hingga para pengunjung warung dan masjid—semua menyaksikan pertengkaran tersebut.
Kimi, yang merasa situasi semakin tidak kondusif, segera memutuskan untuk menonaktifkan kembali SIM-card ponselnya. Ia tak ingin Karin terus menghubungi dan memperburuk suasana. Adi pun menyetujuinya.
Sementara itu, Adi teringat bahwa ia seharusnya sudah menghubungi perusahaannya terkait jadwal pertemuan dengan klien. Waktu sudah sore, dan ia merasa semakin terdesak. Namun, jika ia meminjam ponsel Kimi untuk menelepon, panggilan dari Karin bisa kembali masuk dan mengacaukan semuanya. Adi merasa berada di posisi yang sulit.
Ketika mereka berjalan menuju bajaj, pandangan Adi tiba-tiba tertumbuk pada dua sosok yang familiar—dua vlogger tadi yang sempat mereka lihat meliput suasana TPST Bantar Gebang—baru saja keluar dari masjid.
Tanpa banyak berpikir, Adi pun memutuskan untuk menghampiri mereka. Dalam benaknya, ia berharap bisa meminjam atau bahkan menyewa ponsel mereka untuk menghubungi kantornya tanpa gangguan dari Karin.
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.