NovelToon NovelToon
Topeng Dunia Lain

Topeng Dunia Lain

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Kutukan / Hantu / Roh Supernatural
Popularitas:275
Nilai: 5
Nama Author: Subber Ngawur

Rafael tidak pernah mengira hidupnya akan berubah saat dia menemukan sebuah topeng misterius. Topeng itu bukan sembarang artefak—ia membuka gerbang menuju dunia lain, dunia yang dihuni oleh makhluk gaib dan bayangan kegelapan yang tak bisa dijelaskan. Setiap kali Rafael mengenakannya, batas antara dunia nyata dan mimpi buruk semakin kabur.

Di tengah kebingungannya, muncul Harun, tetangga yang dianggap 'gila' oleh penduduk desa. Namun, Harun tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain—rahasia kelam tentang topeng dan kekuatan yang menyertai dunia lain. Tapi, apakah Rafael bisa mempercayai pria yang dianggap tak waras ini, atau dia justru menyerah pada kekuatan gelap yang mulai menguasainya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertemuan Tengah Malam

Rafael dan Tristan mengendap-endap keluar dari kamar, langkah kaki mereka pelan, seolah tidak ingin ada yang mendengar. Jantung Rafael berdegup kencang, dan pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Saat tiba di halaman, di bawah cahaya lampu taman yang redup, mereka melihat Harun berdiri di sana, menunggu dengan tenang.

“Pak... kenapa bapak bisa di sini?” tanya Rafael, suaranya terdengar sedikit terengah, campuran antara rasa takut dan bingung.

Harun menatap Rafael dengan tenang, seolah pertanyaan itu sudah ia duga. “Kamu nggak sadar kalau kita ini bertetangga?” jawab Harun datar.

Rafael mengerutkan kening. “Bertetangga?” dia menggeleng, bingung. “Saya nggak pernah tahu...”

Harun menghela napas pelan. “Memang, saya jarang di rumah. Tapi tadi saya merasa ada sesuatu yang nggak beres. Topeng itu bereaksi. Bapak khawatir sama kamu, makanya datang. Kamu baik-baik aja?”

Rafael yang tadinya masih setengah cemas tiba-tiba meledak. “Baik-baik aja? Jelas aja nggak baik-baik aja, Pak!” suaranya meninggi. “Saya kena sial mulu gara-gara topeng itu! Lihat ini,” Rafael menunjuk ke arah kepalanya, “Luka di jidat ini belum sembuh, tadi malah kejedot meja lagi! Saya udah jatuh pingsan, diserang, dicekik, pokoknya sial terus! Setiap kali topeng itu muncul, saya pasti kena masalah!” Suaranya terus mengalir, semakin cepat dan semakin emosional.

Tristan dan Harun hanya bisa melongo, terpana melihat Rafael yang biasanya tenang kini berubah menjadi sebawel ini. Mereka saling berpandangan, tidak menyangka Rafael bisa meledak seperti itu.

Rafael tidak berhenti sampai di situ. “Kata bapak, topeng itu nggak akan bereaksi kalau nggak sendirian. Tapi nyatanya, sekarang ini topeng itu masih aja ngejar saya, walaupun saya nggak sendirian! Saya cuma pengen hidup normal, tapi kenapa semuanya jadi kacau begini?” Rafael terus mengomel, melampiaskan semua rasa frustrasinya.

Harun tetap tenang, menunggu sampai Rafael selesai bicara. Setelah beberapa saat, Harun mengangguk pelan, lalu menatap Rafael dengan penuh perhatian. “Orang yang sedang tidur itu dalam kondisi paling lemah, Nak. Saat kamu tidur, kamu nggak sadar, kamu nggak bisa melindungi diri. Itu sebabnya, meskipun kamu nggak sendirian, topeng itu masih bisa bereaksi dan menyerang.”

Rafael terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang dikatakan Harun. Rasa kesal dan frustrasinya perlahan mulai mereda, meski masih ada sisa ketegangan di wajahnya.

“Jadi... selama saya tidur, saya tetap bisa diserang?” Rafael bertanya, meski sudah tahu jawabannya.

Harun mengangguk. “Iya. Itulah kenapa kamu harus lebih waspada. Kamu nggak bisa nganggap remeh kekuatan topeng itu.”

Rafael menghela napas, mencoba menenangkan dirinya setelah ledakan emosional yang barusan. Ia kemudian menatap Harun dengan tatapan penuh pertanyaan. “Kok bapak bisa ngerasain, sih?” tanyanya penasaran. “Kenapa bapak selalu tahu kapan topeng itu bereaksi?”

Harun menatap Rafael dengan tenang sebelum menjawab. “Orang yang pernah diikutin oleh topeng itu... jadi lebih peka sama auranya, Nak. Setelah saya pernah ngalamin hal yang sama, saya jadi bisa merasakan auranya dengan jelas. Tadi, saya ngerasain aura itu menguat. Itu kenapa saya langsung datang.”

Tristan yang mendengarkan ikut memasang wajah bingung. Harun lalu mengalihkan pandangannya ke Tristan. “Kamu juga pasti ngerasain, kan?” tanyanya.

Tristan mengerutkan dahi, bingung pada awalnya, namun kemudian mengangguk pelan. “Sejak iseng pake topeng itu, saya jadi sering mimpi aneh-aneh, Pak. Rasanya kayak mimpi yang nggak cuma sekadar mimpi. Tadi siang saya juga mimpi...,” Tristan terdiam sebentar, tampak ragu. “Tapi kayaknya itu bukan mimpi deh... Mungkin lebih kayak ingatan saya, waktu tubuh saya diambil alih sama topeng itu.”

Rafael menatap Tristan dengan tatapan penuh simpati, sementara Harun hanya mengangguk, tampak paham.

“Topeng itu memang begitu,” ucap Harun pelan. “Bukan cuma benda mati. Ada sesuatu di dalamnya yang hidup, dan ketika seseorang memakai topeng itu, auranya bisa menyusup masuk, mengendalikan tubuh kalian.”

Rafael merasakan dingin menjalari punggungnya. “Terus... kita harus gimana buat bertahan?” tanyanya. Nada suaranya lebih rendah, seolah takut mendengar jawabannya.

Harun menghela napas panjang. “Kalian harus tetap bersama. Jangan pernah sendirian, terutama kalau tidur. Ingat, topeng itu akan menyerang ketika kalian dalam kondisi paling lemah. Jangan biarkan kalian dalam keadaan sendirian, apalagi di tempat yang sunyi.”

Tristan yang mendengar instruksi itu mengangguk serius, tampak benar-benar terintimidasi. “Apa ada hal lain yang bisa kita lakuin, Pak?” tanyanya dengan nada penuh harap.

Harun menatap mereka berdua, wajahnya serius. “Tetap tenang. Jangan panik. Kalau kalian merasa topeng itu mulai mendekati kalian lagi, cobalah untuk tetap sadar, jangan biarkan kalian kehilangan kendali. Kadang, topeng itu akan mencoba menyerang pikiran kalian, terutama ketika kalian lemah. Tapi ingat, selama kalian punya kesadaran penuh, kalian bisa melawan.”

Rafael dan Tristan terdiam, memproses setiap kata yang diucapkan Harun. Situasi ini semakin rumit dan berat untuk dihadapi, tapi mereka tahu mereka tidak punya pilihan lain.

“Yang penting, jangan sendirian,” ulang Harun lagi dengan tegas. “Itu akan jadi pertahanan terkuat kalian untuk sementara waktu.”

Harun menatap Rafael dan Tristan satu per satu, memastikan pesannya tersampaikan dengan jelas. “Kalian harus istirahat. Jangan terlalu banyak berpikir soal topeng itu untuk sekarang.” Wajahnya terlihat sedikit letih, tetapi ketenangan di matanya tetap ada.

Rafael menunduk, merasa canggung. “Iya, Pak. Terima kasih...” gumamnya, masih diliputi kekhawatiran.

Harun hanya mengangguk, dan tanpa berkata lebih lanjut, dia melangkah mundur, lalu perlahan menghilang di kegelapan malam. Suara langkahnya yang berat menghilang bersama bayangannya, meninggalkan Rafael dan Tristan dalam kesunyian.

Rafael menghela napas panjang, melirik Tristan yang juga terlihat tegang. Mereka berdua berdiri sejenak di halaman, memandang kosong ke arah tempat Harun tadi berdiri. Udara malam yang dingin semakin terasa menusuk kulit, membawa keheningan yang membuat Rafael tidak nyaman.

“Kita masuk, yuk,” bisik Rafael akhirnya, mencoba mengusir ketegangan.

Mereka berdua berjalan perlahan menuju pintu rumah. Rafael merasa sedikit lega, meskipun rasa gelisah masih tersisa. Namun, saat mereka membuka pintu dan masuk ke dalam, jantung Rafael tiba-tiba berdetak lebih cepat.

Adrian berdiri di tangga, mengenakan piyama. Dia menatap mereka dengan alis berkerut, matanya jelas-jelas menunjukkan kebingungan dan kecurigaan. “Dari mana kalian?” tanyanya dengan nada datar, meskipun ada sesuatu dalam suaranya yang terasa lebih tajam daripada biasanya.

Rafael terdiam sesaat, terperangkap dalam tatapan ayahnya. Pikirannya berpacu, mencari jawaban yang tepat. Dia tak mau berbohong, tapi juga tidak ingin ayahnya tahu tentang topeng itu.

“Aku... kami cuma... ambil udara sebentar, Pa,” jawab Rafael akhirnya, suaranya sedikit goyah. “Tadi nggak bisa tidur, jadi jalan ke halaman sebentar.”

Adrian masih menatapnya, seolah menilai apakah Rafael mengatakan yang sebenarnya. Sorot matanya penuh kekhawatiran, meski dia berusaha menahannya. “Ambil udara? Tengah malam kayak gini?” tanyanya lagi, nadanya tidak marah, tapi jelas-jelas cemas. “Rafael, kamu baru aja pingsan tadi. Apa kamu nggak sadar kalau itu bahaya?”

Rafael menggigit bibir bawahnya, tahu bahwa situasi ini tidak akan mudah dijelaskan. “Aku udah nggak apa-apa, Pa. Tadi cuma jalan sebentar, serius.”

Adrian menghela napas panjang, menatap putranya dengan cermat. Wajahnya menunjukkan rasa lelah yang mendalam, lebih dari sekadar fisik—itu adalah kelelahan emosional dari kekhawatirannya yang tak kunjung reda. “Kamu tahu, kan, kepala kamu belum sembuh total. Kalau kamu jatuh lagi, bisa lebih parah,” katanya pelan, suaranya penuh perhatian meski terdengar berat.

Rafael hanya bisa menunduk, merasa sedikit bersalah tapi tidak ingin memancing perdebatan. “Iya, Pa. Aku ngerti.”

Adrian menatapnya lebih lama, lalu mengalihkan pandangannya pada Tristan yang hanya berdiri canggung di sebelah Rafael. Tanpa berkata apa-apa, Adrian menggeleng pelan. “Udah, kalian tidur aja. Besok kalian masih sekolah. Jangan bikin Papa makin khawatir.”

Rafael mengangguk pelan, merasa percakapan ini terlalu panjang. “Iya, Pa. Kita langsung ke kamar.”

Dengan suasana hati yang masih canggung, Rafael dan Tristan akhirnya melangkah menuju kamar. Namun, rasa tidak nyaman dari percakapan dengan Adrian masih terasa berat di udara, meninggalkan keheningan di antara mereka yang semakin mencekam.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!