menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 17
Berikut adalah versi yang telah diperbaiki dan dirapikan dari tulisanmu:
---
Saat kereta terus melaju, suasana di dalam gerbong kembali menghangat. Namun, aku tak bisa menahan diri untuk berkomentar tentang cerita Aji yang dianggapnya berlebihan.
“Ji, kamu serius ya? Cerita Pasar Setan yang kamu bilang itu, buat apa sih?” aku menatap Aji dengan skeptis. “Itu kan cuma mitos. Kenapa harus takut sama hal yang nggak nyata?”
Aji tersenyum lebar, “Eh, tapi kan cerita kayak gitu yang bikin perjalanan kita jadi seru! Lagian, siapa tahu kita nemu sesuatu yang aneh di sana. Justru itu yang bikin pendakian ini berkesan!”
Aku menggelengkan kepala, merasa frustrasi. “Maksudku, bukan berarti kita harus percaya semua cerita mistis yang ada. Aku lebih suka fokus pada pengalaman pendakian yang nyata dan menyenangkan. Kita harus mempersiapkan fisik kita, bukan malah mengkhawatirkan hal-hal yang nggak masuk akal.”
Bimo yang duduk di sampingku mencoba menengahi, “Ayo, Ra, santai aja. Cerita Aji kan cuma untuk seru-seruan. Jangan dibawa pusing.”
“Tapi serius, Ji. Kita harus bisa membedakan antara realitas dan khayalan. Nggak semua yang orang bilang itu benar,” aku membalas dengan nada tegas.
Aji mendesah, mengubah posisinya agar lebih nyaman. “Oke, aku ngerti. Tapi, Ra, coba deh lihat dari sisi lain. Beberapa orang bisa menemukan petualangan dalam cerita-cerita kayak gini. Mungkin mereka yang ngalamin hal aneh itu justru punya pengalaman yang lebih kaya.”
Aku membalas, “Iya, aku setuju kalau pengalaman itu penting. Tapi kalau kita terus menerus fokus pada hal-hal menyeramkan, kita justru jadi takut dan kehilangan fokus untuk menikmati pendakian. Kita harus bisa menghargai keindahan alam dan kebersamaan kita.”
Maya yang sejak tadi mengamati mulai merasa risih dengan perdebatan ini. “C'mon, guys! Kita semua datang ke sini untuk bersenang-senang. Kenapa kita harus berdebat soal cerita hantu? Aji, mungkin kamu bisa bercerita tentang hal-hal lucu atau petualangan seru lainnya.”
“Benar, Ji! Cerita seru tentang pengalaman pendakian sebelumnya pasti lebih menarik,” Rani menambahkan, berusaha meredakan ketegangan di antara mereka.
Aji mengangkat bahunya, masih dengan senyuman nakal. “Oke, oke! Tapi kalian harus mengakui, cerita mistis itu bikin rasa ingin tahunya makin besar. Aku cuma pengen semuanya seru!”
Aku menghela napas, merelakan pertengkaran yang sebenarnya tak penting ini. “Baiklah, kita lanjut ke hal lain. Tapi, Aji, aku harap di gunung nanti, kamu nggak baper kalau kita berdebat lagi soal hantu-hantu itu.”
“Deal! Tapi siap-siap ya, kalau aku ngeliat hantu beneran, aku bakal teriak kenceng!” Aji balas dengan nada bercanda, dan semua pun tertawa.
Dengan itu, suasana di dalam kereta kembali ceria. Aku dan Aji saling melirik dengan senyuman, menyadari bahwa meskipun kami berbeda pendapat, tujuan kami tetap sama: menikmati perjalanan ini bersama.
Setelah beberapa jam perjalanan, kereta akhirnya tiba di Stasiun Solo. Dengan penuh semangat, kami segera mencari transportasi lokal menuju Cemoro Sewu, titik awal pendakian Gunung Lawu. Udara pagi yang segar menyambut kami, memberikan semangat baru untuk memulai petualangan.
Setelah perjalanan singkat dengan angkutan umum, kami tiba di area masuk Gunung Lawu. Suasana di sini terasa berbeda; hutan lebat dan udara dingin menambah kesan mistis di sekitar kami. Di depan gerbang pendakian, ada papan informasi yang memberikan petunjuk dan aturan bagi para pendaki.
“Mari kita ambil foto dulu!” seru Maya, mengeluarkan ponselnya. “Ini momen yang harus diabadikan!”
Semua berpose di depan papan, dengan latar belakang pepohonan hijau dan langit biru. Aku pun tersenyum lebar, merasakan kebahagiaan bersama kelima sahabatku. Namun, di dalam hati, aku juga merasa sedikit tegang. Ini adalah pendakian pertamaku ke Gunung Lawu, dan aku berharap semua berjalan lancar.
Setelah foto, kami mulai mempersiapkan diri. Aji mengecek tasnya, memastikan semua perlengkapan sudah ada. “Oke, kita harus ingat bahwa perjalanan ini mungkin akan melelahkan. Jadi, jaga stamina ya, guys!”
Bimo yang tampak bersemangat menanggapi, “Siap, Mo! Semangat itu penting! Ayo kita mulai, jangan sampai ada yang ketinggalan.”
Rani memeriksa peta jalur pendakian dengan teliti. “Kita mulai dari jalur Cemoro Sewu. Sekitar 6 jam perjalanan ke puncak, tergantung kecepatan kita. Jangan lupa istirahat di pos-pos yang ada!”
Tiara mengangguk, wajahnya serius. “Yang terpenting adalah menjaga diri dan saling membantu. Kita semua di sini untuk mendukung satu sama lain.”
Setelah mendiskusikan rute dan strategi pendakian, kami akhirnya melangkah ke jalur pendakian. Pepohonan menjulang tinggi di kiri kanan, menghalangi sinar matahari yang cerah. Udara segar membuat setiap napas terasa lebih hidup. Namun, rasa lelah mulai terasa seiring langkah kami yang semakin jauh dari tempat parkir.
“Wah, ini baru langkah pertama, ya!” seru Aji sambil tertawa. “Belum ada setengah jam, sudah mulai ngos-ngosan.”
Maya menyikut Aji, “Jangan mulai deh, Ji! Nanti kita bisa jadi capek sebelum sampai puncak.”
Aku tersenyum mendengar obrolan ringan mereka, tetapi tetap menjaga fokus. Selama beberapa jam pertama, semua berjalan lancar. Kami berhenti sejenak di pos pertama untuk istirahat dan menikmati camilan yang kami bawa.
Saat kami duduk, aku memperhatikan sekeliling. Keindahan alam sekitar sangat memukau; suara burung berkicau dan angin sepoi-sepoi membuat suasana semakin menenangkan. Namun, saat Aji mulai kembali mengisahkan cerita-cerita mistis tentang gunung, aku langsung memberi isyarat dengan jari ke mulutnya.
“Oi, Ji, jangan mulai lagi, ya! Kita di sini mau menikmati perjalanan, bukan takut-takutan,” kataku.
Aji mengangkat tangannya, pura-pura bersikap defensif. “Oke, oke! Kali ini aku janji. Kita fokus nikmati pemandangan dan kebersamaan!”
Setelah beristirahat cukup, kami melanjutkan perjalanan ke pos selanjutnya. Namun, perjalanan kali ini terasa lebih menantang. Medan yang mulai curam membuat kami harus bekerja lebih keras. Masing-masing mulai merasakan lelah, tetapi semangat satu sama lain membantu kami untuk terus maju.
Di pos kedua, kami berhenti lagi untuk menyegarkan diri. “Kita hampir setengah jalan, ya! Semangat, guys!” seru Bimo.
Di tengah hutan yang tenang, kami saling berbagi cerita lucu untuk meringankan suasana. Namun, tidak lama, suara dari kejauhan terdengar. Kami menengok ke arah suara tersebut.
“Eh, kalian denger itu?” tanya Tiara, wajahnya sedikit khawatir.
“Dengar apa?” tanya Maya, berusaha terlihat santai.
Aji tersenyum nakal, “Jangan-jangan itu suara pasar setan yang aku ceritakan kemarin!”
“Jangan, Ji! Jangan mulai lagi!” seruku sambil menahan tawa.
Sebelum kami sempat berdebat lagi, suara itu semakin jelas. Ternyata, suara itu adalah gemericik air dari aliran sungai kecil di sebelah jalur pendakian. Kami semua tertawa lega, merasa sedikit konyol telah terbawa suasana.
Dengan semangat yang kembali membara, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Lawu, siap menghadapi segala tantangan yang akan datang.
---
Semoga versi ini sesuai dengan harapanmu! Jika ada bagian lain yang ingin diperbaiki atau ditambahkan, beri tahu ya.