Joano dan Luna adalah dua remaja yang hidup berdampingan dengan luka dan trauma masa kecil. Mereka berusaha untuk selalu bergandengan tangan menjalani kehidupan dan berjanji untuk selalu bersama. Namun, seiring berjalannya waktu trauma yang mereka coba untuk atasi bersama itu seolah menjadi bumerang tersendiri saat mereka mulai terlibat perasaan satu sama lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourlukey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24
Begitu jam istirahat dimulai, Joano langsung membereskan peralatan menulis yang sebelumnya dia gunakan. Hari ini dia berencana ke perpustakaan, karena itu Mike dan Alfian lebih dulu melangkah ke kantin tanpa dirinya.
Saat melirik bangku Luna yang ada di urutan nomor dua dari depan, Joano tidak melihat gadis itu di sana, begitu pula Bianca. Mereka juga pasti sudah ke kantin dan menikmati semangkuk bakso, atau mungkin ke perpustakaan untuk membaca novel yang baru datang sambil membicarakan betapa sempurnanya tokoh fiksi bacaan mereka. Tanpa sadar Joano tersenyum tipis.
Laki-laki itu pun segera beranjak dari bangkunya, tapi tiba-tiba Bella datang dan menghalau langkah kakinya.
“Mau ke kantin, ya?” Bella bertanya.
Joano menjawab singkat. “Perpustakaan.”
Dengan mata berbinar-binar, tiba-tiba Bella menyodorkan satu kotak bolen pisang cokelat pada Joano. "Mbak di rumah lagi bikin bolen pisang cokelat. Ini, aku bawain buat kamu."
Selain tampilannya yang menarik, kudapan yang dibawa Bella itu terlihat menggiurkan. Tapi, bukan itu yang membuat Joano terdiam, melainkan sikap gadis itu yang tiba-tiba perhatian padanya. Pasalnya, sudah seminggu ini Bella rutin membawakan makanan untuknya, mulai dari bekal makan siang, aneka camilan hingga beberapa jenis minuman sehat. Alasannya selalu sama, dari Mbak di rumah.
Apa saat Joano mengantar Bella pulang ke rumah, Mbak yang dimaksud Bella melihat kehadirannya lalu diam-diam jatuh cinta padanya? Makanya dia jadi sering menitipkan makanan? Rasanya tidak. Joano ikut penasaran mengapa Bella melakukan itu. Apa jangan-jangan Bella yang mempunyai perasaan padanya? Entahlah. Joano tidak mau berasumsi apa pun.
"Jo?"
Joano mengerlingkan matanya, mencoba menyadarkan dirinya bahwa ada seseorang yang sedang menunggu jawabannya. Laki-laki itu lantas menerima kotak kudapan yang Bella berikan. "Thanks, ya Bell. Jadi nggak enak dapat makanan setiap hari."
Bella tersenyum simpul. "Kalau nggak enak kasih kucing."
Joano tertawa mendengar lelucon Bella.
"Gimana pempeknya kemarin? Enak, nggak?"
Joano menganggukkan kepalanya. "Enak. Tekstur pempeknya mantap banget, cukonya apalagi, perpaduan yang pas." Jelas Joano, untuk sesaat dia seperti food vloger yang sedang me-review makanan.
"Syukur deh kalau enak. Bolen ini juga nggak kalah enak, loh. Habisin, ya."
Joano tersenyum geli melihat Bella yang tampak bahagia berkali lipat dari dirinya. Mungkin sumber kebahagiaan gadis itu adalah berbagi dengan orang lain, makanya dia sangat gembira saat mendengar orang yang dia bagi merasa puas. Atau, Joano yang terlalu naif?
"Ya udah, gue ke kantin dulu ya. Selamat menikmati makanannya, Joano.” Bella mundur satu langkah, membalikkan badannya kemudian keluar dari ruang kelas.
Joano membuka kotak yang ada di tangannya begitu Bella keluar dari ruangan. Dia mengambil sepotong bolen pisang lalu menggigit kudapan itu dengan nikmat.
"Ada yang lagi PDKT, nih."
Joano menoleh dan mendapati Luna juga Bianca di sana. Entah sejak kapan mereka berdua masuk ke kelas, yang jelas kedatangan mereka mengejutkan Joano.
"Makin nempel aja." Bianca menggoda lagi, gadis itu berjalan ke arah Joano lalu mengintip isi kotak yang ada di tangan laki-laki itu. “Boleh bagi, nggak?"
Dengan senang hati. Joano bahkan menyuapkan satu potong bolen itu ke dalam mulut Bianca.
Sementara itu, Luna tampak acuh dengan candaan mereka. Dia berlalu begitu saja, kemudian duduk di bangkunya.
"Sialan lo, Jo." Bianca kesal saat Joano menyuapkan makanan itu terlalu keras hingga membuatnya hampir terjatuh.
Joano terkekeh. Dia lalu menghampiri Luna dan duduk di samping gadis itu, mengulurkan kotak bolen yang dia pegang. Seketika dia melupakan tujuan utamanya untuk pergi ke perpustakaan. "Cobain deh, enak tahu."
Luna menepis makanan itu secara halus. Dia kemudian mengeluarkan buku catatannya dari dalam tas. "Makasih, gue udah kenyang."
"Habis makan apaan lo? Perasaan baru istirahat, udah kenyang aja." Joano melahap habis potongan bolen yang ada ditangannya, kemudian menutup kotak tersebut.
"Kenyang ngelihatin lo berdua lagi PDKT." Bianca ikut bergabung, dia menyingkirkan tas yang ada di bangku depan Luna, lalu menduduki tempat itu.
"PDKT apa sih, Bi? Orang kebetulan mbaknya yang di rumah lagi bikin banyak, makanya gue dikasih." Joano berkata jujur, itu juga yang Bella katakan padanya.
"Halah, itu sih alasan dia doang. Kalau langsung bilang mau ngedeketin lo, gengsi dong.” Bianca menggoda lagi dan lagi. "Baguslah kalau lo dekat sama dia. Jadi di antara kita bertiga ada yang nggak jomblo lagi."
"Buset. Jauh banget pikiran lo." Joano menjawab sambil tersenyum tipis.
"Yakin gue kalau dia suka sama lo. Mepet-mepet terus ngungkapin perasaan deh. Kayak Daniel."
Mendengar Bianca menyinggung nama Daniel, membuat Luna menoleh ke seluruh penjuru ruang kelas. Untung saja tidak ada siapa pun di sana selain mereka, jadi Luna bisa menghela napas lega.
Luna menepuk bahu Bianca. "Gila lo, ya. Gimana nanti kalau ada orang yang dengar?"
"Karena nggak ada orang, makanya gue ngomong." Bianca membela diri.
Baru juga Luna akan memukul bahu gadis itu lagi, tiba-tiba ponsel Bianca berdering. Dia merogoh sakunya dan menjawab panggilan telepon. "Halo, Ma."
Bianca segera menjauh dari kedua temannya begitu menerima telepon dari orang tuanya.
Sementara itu, raut wajah Joano berubah dingin. "Maksud Bianca apa? Daniel bilang apa ke lo?"
Luna mengambil pulpennya lalu mencatat materi yang belum sempat dia selesaikan. "Nggak ngomong apa-apa. Bianca aja yang ngaco." Katanya sambil menyibukkan diri.
"Lo nggak bilang pas lo ngundurin diri dari perlombaan dan sekarang lo juga nggak mau bilang apa maksud ucapan Bianca tadi?” Joano bertanya sebal. Dia lantas merebut buku yang ada di hadapan Luna.
Luna mendengus. "Gue nggak bilang juga lo udah tahu kan, Jo? Terus apa yang perlu dipermasalahin?" Luna mencoba mengambil bukunya dari tangan Joano, tapi laki-laki itu menghalangi dengan tangannya.
"Kok lo jadi gini sih, Lun? Emang Lo nggak tahu gimana rasanya dengar sesuatu dari orang lain? Apalagi berhubungan sama sahabat sendiri."
Luna memutar kedua bola matanya malas. Rasanya dia terlalu lelah untuk meladeni perkataan Joano. "Apaan sih, nggak usah lebay deh. Masa gitu doang lo ributin."
Apa pun yang berhubungan dengan Daniel, Jaono marah. Apalagi kalau ada sesuatu di antara mereka yang tidak dia ketahui. Joano tahu betul jika semua yang Luna lakukan memang tidak mungkin dan perlu dilaporkan padanya, tapi beda urusan kalau menyangkut masalah Daniel, dia harus tahu semuanya.
Joano menaruh buku Luna dengan kasar. Dia berdiri dari tempat duduknya, lalu melenggang pergi dari ruang kelas begitu saja.
Luna mendecak sebal. "Gitu doang marah."
Persahabatan Luna dan Joano tidak selalu diwarnai dengan tawa dan bercanda saja, ada kalanya mereka juga bertengkar hebat, tidak mau mengalah tentang siapa yang salah dan hanya memedulikan ego masing-masing. Tak jarang pula, saling menjauh satu sama lain menjadi pilihan yang harus mereka lakukan.
Amarah Luna belum mereda saat Bella tiba-tiba muncul di ambang pintu dan menghampirinya. "Eh Luna, kamu ada di sini."
Melihat kedatangan Bella, Luna sontak memasang senyum lebar di wajahnya. Dia juga cepat-cepat menutup kotak bolen yang Joano tinggalkan dengan tasnya. Bukan apa-apa, hanya saja Luna tidak ingin Bella salah paham karena Joano meninggalkan kudapan pemberian gadis itu.
"Iya Bel, kenapa?"
Bella lantas duduk di bangku depan Luna seraya bertopang dagu. "Boleh nggak kalau hari ini aku pulang bareng Joano? Nanti aku suruh sopirku buat nganterin kamu pulang."
"Oh ya udah, Bel. Kebetulan gue juga mau ke toko buku jadi bareng aja sama Joano.” Luna berbohong, hari ini dia tidak berencana pergi ke toko buku. Sebaliknya, dia ingin pulang lebih awal. Tapi karena Bella berkata demikian, mau tidak mau Luna harus berbohong. Lagi pula, waktu itu Bella juga pernah meminta tolong padanya untuk membantu gadis itu supaya bisa lebih dengan Joano, jadi kebohongannya bisa dimaafkan.
"Ok, nanti sopir aku nganterin kamu ke toko buku."
"Itu juga nggak usah, Bel," Luna menepis cepat. "Soalnya gue kalau ke toko buku agak lama dan biasanya jalan-jalan dulu. Jadi, santai aja. Masih ada ojek online, kok.”
"Serius nih, Lun? Nggak papa?" Bella bertanya memastikan.
Luna menganggukkan kepala. "Iya Bel, santai aja."
Bella kemudian pamit pergi dengan hati berbunga-bunga setelah Luna menyetujui permintaannya.
Sementara itu, Luna menghela napas untuk ke sekian kalinya. Hari ini dia merasa waktu berjalan lebih lambat dari biasanya karena ada banyak hal yang menguras energinya, salah satunya adalah berdebat dengan Joano.