Aku tidak pernah menyangka jika pertemuanku dengan seorang laki-laki yang aku anggap menyebalkan akan menjadi awal bagiku merasakan sebuah sensasi rasa asing yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya.
Lelaki menyebalkan yang hampir setiap hari menjadi teman cek-cok justru menjadi sosok lelaki yang berkeliaran dalam pikiran dan juga hati.
Perasaan apa ini? Apakah perasaan benci yang aku miliki telah berubah menjadi rasa cinta ketika banyak hari yang kita lewati bersama? Ataukah hanya sekedar perasaan sesaat yang menghampiri di masa-masa SMA?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rasti yulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RMS 23. Aku Antar Pulang (PoV Sakha)
PoV Sakha...
Di depan kelas, aku dan Amel mulai mempresentasikan tugas geografi yang diberikan oleh pak Johan. Aku fokus dengan laptop milik Amel yang langsung terhubung dengan proyektor yang di tembakkan di papan tulis. Menggeser slide demi slide sesuai dengan paparan yang disampaikan oleh Amel.
Perempuan ini sungguh berbeda. Selain merupakan sosok yang berani dan tangguh berdiri di atas prinsipnya, Amel juga ternyata begitu cerdas. Dalam paparan tugas geografi ini dia terlihat begitu menguasai materi. Tidak heran jika pak Johan begitu memuji kepandaian Amel ini.
"Demikian presentasi dari kami. Kurang dan lebihnya kami ucapkan terima kasih."
"Waaaowwww, keren Mel!"
Plok... Plok... Plok...
Riuh suara tepuk tangan menggema memenuhi sudut-sudut ruang kelas sesaat setelah pak Johan memberikan pujian terhadap pemaparan Amel. Akupun juga ikut bertepuk tangan, melihat begitu sempurnanya performance Amel. Kebetulan, aku dan Amel mendapatkan giliran terakhir yang bisa dikatakan puncak dari tugas geografi yang diberikan oleh pak Johan ini.
"Bapak tidak menyangka tugas geografi kalian sempurna seperti ini. Apalagi ditambah efek 3D yang semakin membuat visual yang kalian buat nampak lebih nyata. Good job Amel, Sakha."
Aku hanya bisa tersenyum kikuk mendengarkan pujian yang dilayangkan oleh pak Johan. Bagaimana tidak kikuk? Aku yang hanya tinggal bersantai ria tiba-tiba mendapatkan standing applaus serta pujian dari guru geografi ini.
"Terima kasih banyak Pak," jawab Amel singkat.
"Kalian dapat konsep seperti ini dari siapa? Tugas kalian ini sungguh keren loh. Bapak sampai terkesima melihatnya."
Lagi-lagi pak Johan memuji hasil yang dipaparkan oleh Amel terlebih visualisasinya yang nampak nyata. Jangankan pak Johan, aku saja juga terkesima. Sungguh hebat orang yang membantu Amel mengerjakan tugas ini.
"Saya yang punya konsep ini Pak, tapi Sakha lah yang mengeksekusi. Dia pandai membuat efek 3D seperti ini."
Aku terhenyak mendengarkan jawaban Amel. Sebentar, dia barusan bilang apa? Aku yang membuat efek 3D dalam materi yang disampaikan oleh Amel? Ini sih namanya kebohongan yang hakiki.
"Waaowww Sakha, Bapak tidak menyangka kalau kamu punya bakat seperti ini."
Pak Johan berujar seraya mendekat ke arahku. Lagi-lagi dia memberikan pujian yang membuatku semakin keki dan tak enak hati sendiri.
"Hehe, biasa saja Pak. Kemampuan saya ini masih perlu diasah lagi," jawabku sembari menggaruk ujung hidung yang tiada gatal.
"Tidak Sakha! Ini sih sudah termasuk ke dalam kategori hebat. Lihatlah, efek 3D nya terlihat keren sekali. Pemilihan warnanya juga amazing. Bapak rasa kamu bisa maju mewakili sekolah jika ada lomba animasi seperti ini!"
Mati aku! Pak Johan sudah membahas perihal lomba animasi. Aku yakin, beliau tidak main-main dengan ucapannya. Bisa jadi, aku yang akan ditunjuk ketika lomba itu diadakan.
"T-tapi saya benar-benar tidak siap Pak. Saya merasa belum layak untuk mengikuti lomba animasi itu."
Aku sampai tergagap kala mendengarkan ucapan pak Johan. Bagaimana mungkin aku ikut lomba animasi jika pada kenyataannya aku tidak menguasai bidang ini.
"Maka dari itu, kamu harus sering-sering berlatih Kha. Bapak yakin, kamu bisa dan mampu untuk mengeksplorasi bakatmu ini."
Aku hanya terdiam seribu bahasa. Tak tahu lagi harus bagaimana menanggapi perkataan pak Johan ini. Ini semua seperti keberuntungan dan kesialan yang bersamaan menimpaku.
Beruntung karena aku bisa mendapatkan nilai secara cuma-cuma tanpa harus bekerja keras dan sial karena mulai sekarang aku harus rajin untuk membuat animasi seperti ini, jaga-jaga kalau satu hari nanti aku ditunjuk untuk mengikuti lomba.
"Sekali lagi Bapak berikan apresiasi yang setinggi-tingginya untuk kalian berdua. Atas kerja sama antar tim yang begitu baik, akhirnya kalian bisa menghasilkan sebuah karya yang menakjubkan seperti ini. Terus berkarya untuk kalian!"
"Terima kasih Pak!" ucapku dan Amel bersamaan.
"Oke semua, Bapak ucapkan terima kasih banyak atas kerja kelas kalian semua untuk mengerjakan tugas ini. Kalian semua hebat bisa memaparkan materi dengan sangat baik. Tepuk tangan untuk kita semua."
Plok... Plokkk... Plokkk...
"Bapak rasa, kalian juga bisa belajar dari Amel dan Sakha...," ucap pak Johan menggantung.
Eh, apa itu? Itu pak Johan mau mengatakan apa, kok tiba-tiba mencatut namaku dan juga Amel? Aku sedikit terperangah menanti kelanjutan ucapan pak Johan.
"Kalian pasti ingat bukan bagaimana awal pertemuan Amel dan Sakha di kelas ini? Mereka terlihat seperti musuh bebuyutan?" tanya pak Johan dengan senyum yang tiada henti terbit di bibir.
"Ingat Pak, hahahaha!"
"Tapi ketika ada tugas kelompok, keduanya bisa bekerja sama dengan baik hingga akhirnya bisa menghasilkan karya yang luar biasa. Bapak harap kalian mencontoh Amel dan Sakha. Bahwa segala sesuatu yang dikerjakan bersama-sama pasti akan sempurna. Dua orang yang memiliki ide ataupun pola pikir yang berbeda ketika disatukan pasti hasilnya jauh lebih sempurna."
"Betul Pak!"
Aku semakin tenggelam dalam kebisuan. Lelucon apa lagi ini? Aku dan Amel yang dari awal selalu terlibat dalam pertikaian dan pertengkaran, kini menjadi contoh untuk teman-teman sekelas perihal kerja sama antar satu tim. Perkataan pak Johan ini sungguh membuatku menertawakan diri sendiri.
Sekilas, aku mencuri pandang ke arah Amel. Persis dengan ekspresiku, dia juga terlihat tersenyum kikuk dan merasa keki sendiri.
***
Matahari hampir tenggelam di ufuk barat kala kulangkahkan kaki ini menuju parkiran motor. Hari ini merupakan hari perdana aku mengikuti pendalaman materi setelah dipaksa oleh nenek Meri. Ternyata mengikuti pendalaman materi jauh lebih terasa melelahkan daripada mengelilingi lapangan bola basket sebanyak lima kali.
Pikiranku sedikit kalut, memikirkan sesuatu yang ada hubungannya dengan Amel. Sejak dia mengajakku untuk presentasi di depan kelas yang pada akhirnya mendapatkan pujian dari pak Johan dan seluruh penghuni kelas membuatku seperti berhutang budi kepada perempuan itu. Aku bingung bagaimana caranya untuk bisa membalas semua kebaikannya.
"Sakha, tunggu!"
Aku yang tengah berjalan menyusuri selasar kelas terpaksa harus aku hentikan langkahku ketika kudengar namaku dipanggil oleh seseorang. Dari suara itu aku paham siapa dia. Ya, siapa lagi jika bukan Ajeng.
"Sakha, ini untukmu!"
Dahiku sedikit berkerut kala tiba-tiba Ajeng mengulurkan lunchbox yang ia bawa ke arahku. Apa lagi yang akan dilakukan olehnya dengan lunchbox ini? Apa dia masih belum menyerah setelah aku tipu dengan memberikan nomor ponsel nenekku?
"Apa ini?" tanyaku sedikit ketus.
Ajeng tersenyum lebar hingga memperlihatkan barisan gigi-giginya yang dipagari dengan kawat berwarna pink. Entah mengapa, aku kurang suka dengan perempuan yang dibehel seperti ini.
"Ini sandwich spesial bikinanku untukmu. Dimakan ya. Daripada kamu jajan sembarangan di kantin yang kebersihannya belum tentu terjamin, lebih baik kamu makan sandwich ini saja."
"Maaf, lebih baik kamu bawa lagi saja. Aku tidak suka sandwich. Toh ini aku juga sudah mau pulang, jadi aku tidak jajan lagi," tolakku. Karena sejak dulu aku memang tidak suka makanan itu.
"Please Sakha, terima ya. Sekali ini saja. Besok-besok aku buatkan yang lainnya."
Ajeng menampakkan wajah memelas yang membuatku sedikit tidak tega. Akhirnya aku terima pemberian perempuan ini.
"Sudah tidak ada keperluan lagi kan?"
Jujur, aku sedikit jengah dengan keberadaan Ajeng. Dia nampaknya tidak kapok untuk mendekatiku. Padahal, aku sudah berupaya untuk menampakkan perilaku yang tidak baik di depannya.
"Aku boleh nebeng gak Kha? Kebetulan hari ini tidak ada yang menjemputku!"
Ajeng mengajukan sebuah permintaan yang seketika membuat dahiku berkerut dalam. Kok ada perempuan yang tidak punya malu meminta nebeng ke orang lain.
"Maaf, tidak bisa. Aku harus buru-buru karena ada urusan lain."
Aku mengambil langkah kaki lebar, berupaya untuk segera pergi dari hadapan Ajeng. Aku tidak ingin terlibat pembicaraan yang panjang dengan perempuan ini lagi.
"Sakha!!!"
Sayup-sayup masih kudengar Ajeng memanggil namaku. Namun tak aku pedulikan hal itu. Lagipula siapa suruh dia terus menerus mengejarku. Aku setengah berlari sembari memasukkan lunchbox pemberian Ajeng ke dalam tas dan segera mengeluarkan motor dari parkiran.
Aku melajukan motorku pelan menyusuri jalanan ber-paving blok yang ada di depan sekolah. Mataku menyipit kala dari kejauhan kulihat punggung seorang gadis yang berjalan sendirian di dekat gapura masuk.
"Amel?" ucapku lirih setelah paham siapa sosok gadis itu.
Seketika, aku memiliki sebuah ide yang cukup cemerlang. Aku rasa ide ini bisa aku gunakan untuk membalas kebaikan gadis itu. Sedikit aku tambah kecepatan laju motorku hingga kini berhasil berada tepat di belakang Amel.
"Sakha?" ucap Amel ketika sadar akan keberadaanku.
Aku hanya mengulas sedikit senyum. "Mau pulang?"
"Iya lah, mau kemana lagi?" tanyanya sedikit ketus.
"Pulang sama siapa?" tanyaku penasaran. Sepertinya Amel ini selalu diantar dan dijemput.
"Bukan urusanmu!" jawabnya semakin ketus.
Aku hanya terkekeh pelan. Wajar sih kalau dia selalu bersikap seperti ini, karena memang sebelumnya akulah yang menabuhkan genderang perang itu.
"Naiklah! Aku antar kamu pulang!"
.
.
.