Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 28
Sepagi ini mood-ku hancur berantakan karena menyaksikan sebuah drama memuakkan dan membuatku mual. Aku yakin mereka tidak hanya bertemu secara kebetulan, tapi sengaja. Mencoba menepis bayang-bayang perempuan tadi, tapi tetap saja berseliweran di dalam pikiran.
Aku jadi teringat laki-laki agamis itu, bagaimana kabarnya? Apakah dia sudah tidak menginginkan Shanum? Kenapa malah si Benny yang maju mendekatinya? Ah, apa peduliku?
"Irwan?" Semua pikiran teralihkan oleh sosok karyawan satu itu yang berjalan memasuki bank. Senyumku mengembang, saatnya mengisi dompet dengan pundi-pundi rupiah.
"Untung kamu, Ir. Selamat dari hukumanku." Aku bergumam seraya memacu mobil lebih cepat untuk segera tiba di toko dan melihat keadaannya.
Menjadi bos itu memang enak, datang semaunya, tak ada yang mengatur. Tinggal duduk saja di rumah uang datang dengan sendirinya. Yah, aku akui ini semua berkat Shanum, tapi bagaimanapun tetap aku yang mengelola.
Kuparkir mobil di depan toko, sekilas aku melirik banyak sekali pelanggan yang datang pagi itu. Apa mereka memiliki keperluan yang sama? Membeli aksesoris atau mungkin pulsa? Tak peduli, aku segera turun dan memperhatikan dari mobil sampai pelanggan pergi satu per satu barulah melangkah memasuki toko.
"Doni!" panggilku pada sepupu sekaligus merangkap sebagai karyawan di toko itu.
Bukannya tersenyum, Doni justru terlihat tak senang dengan kedatanganku. Dia membuang muka sibuk dengan pelanggan terakhir.
"Kenapa handphone-nya, Bu?"
Samar aku mendengar Doni bertanya, mengernyit dahiku ketika tulisan di depan toko sudah berganti. Kenapa aku baru menyadari? Sedia service juga di sini, atau aku yang memang sudah lama tidak datang. Kulempar pandang ke dalam toko, semakin bingung melihat keadaan di sana.
Kapan mereka belanja? Kenapa nggak bilang-bilang sama aku dulu? Kurang ajar, berapa uang yang mereka pake buat ngisi toko ini?
Aku mengumpat, entah kenapa rasa kesal datang karena kelancangan mereka berdua. Tentu saja, mereka lancang. Berbelanja isi toko tanpa berbicara padaku terlebih dahulu. Seharusnya uang itu aku terima dulu. Sial!
"Awas kamu Irwan, Doni!"
Kutunggu pelanggan tersebut menyelesaikan urusannya, dan pergi meninggalkan toko. Baru akan menegur, Doni pergi dan masuk ke dalam gudang. Kulabuhkan bokong di atas kursi, duduk berhadapan dengan laci uang. Kubuka, tapi tak bisa.
"Kenapa dikunci? Sialan si Doni!" Aku mengumpati sepupuku itu. Kurang ajar memang, kutatap geram pintu gudang menunggunya kembali.
Kesal, kuhampiri Doni yang berada di dalam gudang dengan membuka kasar pintu tersebut.
"Apa maksud kamu mengunci laci uang?" todongku cepat begitu melihat Doni sedang menumpuk dua dus yang entah berisi apa.
Ia berdiri, berbalik sambil menghela napas. Menatapku dengan senyum mengejek, benar-benar menjengkelkan. Awas aja, aku potong gaji kamu bulan ini, Doni!
"Kenapa emangnya? Salah aku kunci laci itu? 'Kan, untuk jaga-jaga takutnya ada maling yang mau ambil," ucapnya masih dengan sikap yang sama mengejekku.
Tanpa sadar emosi yang meluap di dalam hati, membuat tanganku terkepal. Jika tak ingat dia sepupu, sudah kulayangkan tinju ke wajahnya yang songong itu.
"Sekarang mana kuncinya? Aku mau meriksa pemasukan hari ini," pintaku sembari menadahkan tangan padanya.
Aku sedikit heran, gudang juga dipenuhi stok barang keluaran terbaru. Sialan mereka, menghabiskan begitu banyak uangku. Pantas saja telat datang ke rekening, ternyata mereka gunakan untuk belanja tanpa sepengetahuan aku. Mereka pikir aku tidak akan tahu? Bodoh!
"Kunci? Kunci apa?" Doni menantangku rupanya. Kurang ajar bocah tengil ini.
"Udahlah, Don. Aku nggak mau emosi, masih pagi. Sini, mana kuncinya! Jangan main-main kayak anak kecil gini sama aku." Aku memelankan suara, berharap dia akan mengerti dan memberikan kunci itu padaku.
Doni menggeleng, tetap kekeuh mempertahankan benda sialan itu.
"Aku nggak main-main, emang nggak mau kasih aja kuncinya." Dia menghendikan bahu seraya mengangkat satu dus dan membawanya keluar. Aku mengekor, ingin rasanya menarik kerah baju Doni dan membantingnya.
"Berapa banyak uangku yang kalian habiskan buat ngisi toko? Kenapa kalian nggak ngomong sama aku kalo belanja sebanyak ini? Apa kalian udah nggak anggap aku sebagai bos? Ingat, yang gaji kalian itu aku!"
Aku mengingatkan Doni siapa yang memberinya makan selama ini. Tak seharusnya dia lancang membelanjakan uangku apalagi sampai menghabiskannya. Doni berbalik, tertawa kecil ketika melihatku. Gila!
"Uang kamu? Emang kamu punya uang buat beli semua barang-barang ini? Nggak, 'kan? Nggak usah ngaku-ngaku, deh." Doni mengibaskan tangan, menahan tawa sambil membawa dus tersebut dan meletakkannya di depan toko.
Ia kembali hendak masuk ke dalam gudang, mungkin akan membawa dus satunya lagi keluar. Aku mencegah, tak lagi dapat menahan emosi mendengar ejekannya. Kupegang leher sepupuku itu dan membenturkannya ke dinding toko.
"Jangan main-main kamu! Kalian nggak ada ngirim uang pemasukan ke rekening aku. Kalian juga nggak ngasih laporan keuangan bulan ini sama aku. Kenapa? Apa kalian mau korupsi? Mau ambil semua uangnya tanpa sepengetahuan aku? Aku bisa laporin kalian ke polisi!" ancamku geram.
Namun, bukannya takut, Doni tertawa setelah diam beberapa saat. Dia menepis kasar tanganku di lehernya, dan menatapku tak senang.
"Laporin aja! Lagian kamu udah bos aku lagi. Sadar diri aja, Ka. Toko kamu yang kemarin itu udah bangkrut. Nggak ada pemasukan sama sekali, gimana kamu mau gaji kami? Kalo kamu sendiri ketar-ketir pengen uang," ujar Doni sukses membuatku terpaku.
Bukan bos-nya katanya? Lalu, siapa? Sialan si Doni beraninya dia main-main sama aku. Tidak terima karena merasa tak dianggap dan direndahkan karyawan sendiri. Aku meninju Doni tanpa sadar sampai dia terjungkal ke belakang.
"Kurang ajar! Kamu berani main-main sama aku, ya. Kamu pikir siapa yang selama ini kasih makan kamu kalo bukan aku! Udah dikasih hati minta jantung! Nggak tahu terima kasih kamu!" hardikku setelah berjongkok di hadapannya yang masih terduduk di lantai.
Doni mendengus, sedikit darah yang mencuat dari salah satu sudut bibirnya tak ia sapu dan dibiarkan begitu saja. Sikapnya masih sama, angkuh dan sok. Bukannya menyahut, Doni justru bangkit dan kembali masuk ke dalam gudang. Lalu, keluar sambil membawa dus satunya dan meletakkan di luar berdampingan dengan yang pertama.
Ia kembali masuk, tanpa aku duga Doni menendang bokongku keluar dengan sangat kuat. Dia berdiri di pintu, menatapku nyalang.
"Bawa barang-barang kamu itu! Toko ini udah bukan punya kamu lagi! Jangan datang lagi ke sini apalagi minta uang! Nggak ada uang buat pecundang kayak kamu!" usir Doni sambil berkacak pinggang sombong.
Terkejut? Tentu saja. Aku terdiam sambil menatap dua dus yang teronggok di hadapan. Apa benar itu berisi barang-barangku? Sialan! Siapa yang melakukan ini.
"Aku nggak percaya! Minggir!" Kudorong tubuh Doni agar menyingkir dari pintu, tapi dia justru mendorong tubuhku kembali keluar.
"Kamu nggak sadar, ya. Kamu ini udah bangkrut, udah nggak punya uang, udah bukan pemilik toko ini lagi. Jadi, pergi dari sini dan jangan datang lagi!"
"Kurang ajar! Emangnya siapa yang punya kalo bukan aku!"