Widuri Azzahra, seorang gadis cantik yang lahir di Cianjur tepatnya di sebuah desa di kabupaten cianjur, namun saat ia sudah berusia 15 tahun Widuri di bawa pindah ke Bandung oleh kedua orang tuanya, Widuri tumbuh menjadi gadis cantik, saat ia menginjak sekolah menengah atas, Widuri bertemu dengan Galuh, selang beberapa bulan mereka berpacaran, namun salah satu pihak merugikan pihak yang lain, ya sayang sekali hubungan mereka harus kandas, karena Galuh yang kurang jujur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuli Yanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Keputusan Akhir
Malam itu, Widuri duduk di kamarnya, menulis di buku hariannya.
“Aku tahu hidup nggak pernah mudah, tapi kadang aku berharap semuanya bisa lebih sederhana. Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan untuk benar-benar lepas dari bayang-bayang masa lalu. Tapi satu hal yang pasti, aku nggak akan membiarkan diriku terjebak lagi. Aku harus kuat, untuk diriku sendiri.”
Dengan tekad baru, Widuri memutuskan bahwa esok hari dia akan menghadapi Galuh untuk terakhir kalinya, menyampaikan semua yang ada di hatinya tanpa menyisakan ruang untuk keraguan.
Pagi itu, matahari mulai menampakkan sinarnya di balik awan tipis. Widuri duduk di tepi ranjangnya, menatap ponselnya yang tergolek di meja kecil di samping tempat tidur. Pesan terakhir dari Galuh masih ada di layar. Pesan yang penuh permohonan dan penyesalan, tetapi juga cukup untuk membuat Widuri merasa lelah.
"Wi, aku tahu aku salah. Aku tahu aku bodoh. Tapi kumohon, beri aku satu kesempatan lagi. Aku nggak akan mengecewakan kamu lagi."
Widuri mendesah panjang. Kata-kata itu tidak lagi membuat hatinya berdebar seperti dulu. Alih-alih, rasa sakit yang samar dan kenangan buruk terus mengiringi. Dia tahu apa yang harus dilakukan, tapi itu tidak membuatnya lebih mudah.
Dengan langkah perlahan, Widuri turun dari tempat tidur. Setelah mandi dan bersiap-siap, dia melangkah menuju dapur untuk sarapan. Di sana, ibunya sudah menyiapkan sepiring nasi goreng dan segelas teh hangat.
“Kamu nggak biasanya terlihat murung pagi-pagi gini. Ada apa?” tanya ibunya dengan lembut, sambil meletakkan piring di meja makan.
“Enggak kok, Ma. Cuma lagi banyak pikiran aja,” jawab Widuri sambil memaksakan senyum.
“Masalah sekolah? Atau…” Ibu Widuri menggantungkan pertanyaannya, seolah tahu apa yang sedang mengganggu putrinya.
“Galuh?” tebaknya akhirnya.
Widuri mengangguk pelan. “Aku cuma bingung harus gimana, Ma. Dia minta kesempatan lagi, tapi aku tahu ini nggak akan berubah apa-apa. Kalau aku maafin dia, aku takut dia bakal ngelakuin hal yang sama.”
Ibunya menghela napas panjang. “Kadang, memberikan kesempatan kedua memang penting. Tapi kalau itu hanya membawa kamu kembali ke rasa sakit yang sama, mungkin lebih baik kamu fokus pada dirimu sendiri dulu.”
Kalimat itu terus terngiang di kepala Widuri sepanjang perjalanan ke sekolah. Dia tahu ibunya benar, tapi perasaan bersalah masih membayangi pikirannya. Bagaimana jika keputusan ini membuat Galuh semakin terpuruk?
Waktu istirahat tiba. Widuri memutuskan untuk menemui Galuh di taman belakang sekolah, tempat favorit mereka dulu. Galuh sudah menunggu di sana, duduk di bangku kayu sambil memainkan daun kering yang jatuh di pangkuannya.
“Widuri,” panggilnya pelan saat gadis itu mendekat.
“Aku cuma mau ngomong satu kali lagi, Galuh,” kata Widuri, langsung memulai pembicaraan tanpa basa-basi.
Galuh menegakkan tubuhnya, menatap Widuri dengan cemas. “Aku dengar, Wi. Aku dengar semuanya.”
Widuri menelan ludah, mencoba merangkai kata-kata di kepalanya. “Aku ngerti kamu mau berubah, dan aku harap kamu benar-benar serius dengan itu. Tapi aku juga punya hak untuk hidup tanpa terus terjebak di masa lalu. Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini, Galuh. Aku nggak mau ada hubungan apa-apa lagi sama kamu.”
Galuh terpaku. Dia tidak menyangka Widuri akan berbicara sejujur ini.
“Tapi aku cinta sama kamu, Wid. Aku sadar aku salah. Aku sadar aku sudah menyia-nyiakan kamu. Tapi aku nggak mau kehilangan kamu,” katanya dengan nada memohon.
Widuri menggeleng pelan. “Kamu nggak kehilangan aku, Galuh. Kamu kehilangan kesempatan yang pernah aku kasih. Itu beda.”
“Jadi… ini benar-benar akhirnya?” Galuh bertanya, suaranya serak.
Widuri mengangguk. “Aku harap kamu bisa jadi lebih baik, Galuh. Tapi tolong, biarkan aku melanjutkan hidupku sendiri.”
Galuh tidak berkata lagi. Dia hanya menunduk, tangannya mengepal di atas lutut. Widuri menatapnya sejenak, lalu berbalik dan pergi.
Saat kembali ke kelas, Widuri merasa lega, meski masih ada sedikit kesedihan yang mengganjal di hatinya. Keputusan ini tidak mudah, tapi dia tahu itu adalah yang terbaik untuk keduanya.
Sepulang sekolah, Widuri memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kota. Dia ingin mencari ketenangan di antara tumpukan buku. Di sana, dia bertemu Damar, seorang siswa dari sekolah lain yang dulu pernah dia kenal saat mengikuti lomba debat.
“Hai, Widuri! Lama nggak ketemu,” sapa Damar dengan senyum ramah.
Widuri mengangkat alis, sedikit terkejut. “Oh, hai! Damar, kan? Kamu sering ke sini juga?”
“Lumayan. Lagi cari referensi buat tugas,” jawab Damar sambil menunjuk beberapa buku di tangannya.
Percakapan ringan itu perlahan berubah menjadi obrolan yang lebih hangat. Damar berhasil membuat Widuri tertawa dengan candaan-candaannya, sesuatu yang sudah lama tidak dirasakannya.
----
Malam harinya, Widuri merenung di kamarnya. Pertemuan dengan Damar membuatnya merasa sedikit lebih ringan. Mungkin, ini awal baru yang dia butuhkan.