SUAMI PENGGANTI

Tepat jam 7 malam, Faisal pulang dari gudang. Ia sangat bahagia saat melihat Bik Sum dan Ajeng sudah pulang. Itu berarti Feli juga sudah berada di rumahnya.

"Tuan."

Faisal urung membuka pintu kamar dan berbalik cepat. "Ya, Bik?" tanyanya bingung.

"Anu, Tuan." Bik Sum meremmas serbet di tangannya dengan bimbang.

Melihat sikap aneh Bik Sum membuat Faisal semakin bertanya-tanya. "Ada apa, Bik?"

"Anu, Non Feli tadi ngidam donat sampe ileran. Apa di sekitar sini nggak ada yang jual donat kaya yang di mall itu?" ungkap Bik Sum akhirnya.

Faisal berpikir sejenak. Ia mengangkat sedikit lengannya untuk melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam 7 lewat 5 menit. Bila ia ke kota sekarang, maka Faisal akan tiba jam 10 malam, perjalanan sekali berangkat saja sudah memakan waktu 3 jam. Outlet donat itu pasti sudah tutup saat Faisal tiba.

"Nggak ada ya, Tuan?" tanya Bik Sum lagi.

Faisal menghela napasnya panjang. "Biar saya beli ke kota, Bik."

"Besok saja, Tuan! Ini sudah malem."

"Tidak apa, nanti saya akan pesan online biar bisa janjian di tengah-tengah tanpa harus ke kota," putus Faisal sembari melangkah ke laci di ruang tamu dan meraih kontak mobil double cabinnya.

"Hati-hati, Tuan!"

Dan hingga jam 10 malam, Faisal masih menunggu kurir online yang tadi sudah ia pesan. Karena jarak yang cukup jauh, jadi Faisal membayar dua kali lipat untuk ongkos kirim demi membeli sebox donat favorit Feli.

Faisal hafal betul dengan semua kesukaan istrinya itu. Meskipun mereka tak lama tumbuh bersama, namun Feli sangat spesial di hati Faisal sejak pertama kali melihatnya terlahir.

Sinar lampu motor yang berhenti di depan mobilnya membuat Faisal tersadar dari lamunan. Ia bergegas turun dan menghampiri kurir itu.

"Selusin donat dengan topping vanilla." Kurir itu membaca notanya sekali lagi untuk memastikan orderan.

"Betul, Pak," sahut Faisal cepat. Ia menerima paperbag berisi donat itu dengan gembira.

"Ini untuk Bapak."

Lelaki itu menerima uang Faisal dan terkejut karena jumlahnya ternyata tiga kali lipat dari kesepakatan di awal.

"Ini kelebihan, Mas."

"Tidak apa, untuk Bapak saja. Terima kasih banyak sudah membantu saya!" tolak Faisal ketika lelaki itu hendak mengembalikan kelebihan uangnya. Ia buru-buru berbalik dan masuk ke dalam mobil. "Terima kasih banyak, Pak!" serunya berbinar.

Lelaki tua itu mengangguk dan melambaikan tangan pada customernya yang baik hati. Melihat plat nomor mobil yang Faisal kendarai, lelaki itu mengernyit kaget. Kota dengan kode plat itu sangat jauh dari sini, dan dia hanya membeli sebox donat dengan ongkir lebih mahal dari harga donat itu sendiri??

Pak Kurir pun kembali menaiki motornya sambil mengeleng-gelengkan kepala. Orang kaya memang beda!

Sementara di mobil, Faisal menginjak pedal gasnya lebih dalam. Ia menolehi paper bag yang ia letakkan di kursi samping dan tersenyum lirih. Feli benar-benar sudah merubah sikapnya yang cuek dengan dunia sekitar. Perlahan-lahan Faisal mulai menyadari bila perhatian kecil yang kita berikan dengan tulus sangatlah membekas di hati, terlebih bila orang yang kita beri perhatian membalasnya dengan senyuman. Meskipun Feli tak tahu bila selama ini Faisal lah yang selalu membelikan apapun yang Feli idamkan secara diam-diam, namun ia sudah cukup bahagia melihat Feli tersenyum manis dan menikmati apapun yang Faisal belikan.

"Tunggu sebentar lagi, Feli. Donat favoritmu akan datang sebentar lagi."

Sembari tetap fokus mengendari mobil, pikiran Faisal melayang ke kejadian tadi siang ketika Zul bercerita tentang pertemuannya dengan Feli dua minggu yang lalu.

Flash back On.

"Dia tanya sudah sejauh apa hubunganmu dengan Sarah." Zul menyerahkan nota yang sudah ia rapikan.

"Terus?" tanya Faisal terkejut. "Kenapa kamu baru bilang tentang ini sekarang?"

"Karena kamu sibuk terus! Mana ada waktu buat ngobrol. Baru ngomong halo aja sudah diputus duluan di telefon!" sungut Zul jengkel.

"Terus kamu bilang apa sama dia?"

Zul menarik kursi di depan meja Faisal dan duduk dengan santainya. "Sudah pasti aku jelaskan yang sebenarnya. Aku kan jujur!"

"Memangnya yang sebenarnya bagaimana? Aku tidak pernah ada hubungan apa-apa dengan Sarah!"

"Widihh, emosi amat, Pak! Santuyyy ... santuyy!" tukas Zul menenangkan.

Faisal membuang muka, ia menepikan nota yang tadi Zul sodorkan dan menangkup kepalanya yang mulai berat.

"Aku sudah bilang sama dia, kalo kamu dan Sarah nggak ada hubungan apa-apa. Dia kepo apa kamu suka sama Sarah karena hampir tiap minggu selalu bertemu dengannya di Polindes."

"Terus?"

"Terus aku bilang kalo duluuuu kamu memang sempat naksir Sarah, tapi nggak berani ngungkapin sama dia karena minder."

Faisal menggeram marah. "Sialan!" sungutnya sembari melempar bolpoin pada Zul.

Zul tertawa lepas, ia menepis lemparan Faisal dengan tangkas. "Kan bener? Aku nggak bohong tentang bagian kamu naksir dia!"

"Tapi itu sudah lama sekali Zul!"

"Tapi kamu masih naksir dia, kan?"

"Tidak!" elak Faisal tegas. "Aku sudah melupakan Sarah."

"Hiliih, dusta! Kamu aja selalu bahagia kalo ambil obat di Sarah," cibir Zul terkekeh.

Darah Faisal kembali mendidih. Karena inikah Feli jadi bersikap dingin padanya sejak  beberapa minggu yang lalu. Pantas saja dia juga sempat membahas Sarah ketika mereka bertengkar kemarin lusa.

"Kamu sering senyum-senyum tiap pulang dari Polindes. Kamu pikir Feli nggak tahu?"

"Aku bukan tersenyum karena Sarah!"

"Terus karena siapa? Pak Poniman?"

Faisal tak menyahut. Ia membuang muka lagi untuk meredakan gejolak emosi di dalam dadanya. Zul tak akan paham pada perasaannya saat ini. Dan menjelaskan bila ia tersenyum karena membayangkan Feli pun percuma, karena Zul pasti akan semakin mentertawakannya.

"Dia cemburu, Sal. Dia sudah mulai cinta sama kamu. Dahlah sikat aja! Kalo kelamaan keburu di lalerin nanti!"

Flasback Off.

...****************...