Akibat jebakan dari tunangan dan saudara sepupu perempuannya.Aurel terpaksa harus menikah dengan Pria miskin yang hanya bekerja di salah satu hotel sebagai Cleaning Service yang gajinya tidak sepadan dengan Aurel.
Cacian dan hinaan terus di dapat oleh Aurel dan keluarganya yang mempunyai menantu miskin selalu di banding-bandingkan dengan menantu-menantu saudaranya yang bekerja di kantoran.
Tanpa Mereka ketahui Suami Aurel memiliki sebuah rahasia besar yang di sembunyikan identitasnya.
Siapakah sebenarnya Suami Aurel itu?
Dan kenapa Identitasnya di sembunyikan?
Ada tragedi apa sebenarnya kenapa identitasnya harus di sembunyikan?
Ketika Ia ingin mengungkap kebenaran siapa dirinya,Tanpa di duga Ia mengetahui sebuah fakta yang mengejutkan dirinya.
Ikuti terus perjalan kisah Aurel dan Suaminya dalam novel Ternyata Suamiku Kaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SumarsihMarsih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 28.
"Aurel, ada yang ingin aku sampaikan sama kamu." Ucap Radit menatap Aurel yang baru saja meletakkan gelas kosong yang ada di atas meja.
Semua yang ada di ruang makan sontak saja langsung menatap ke arah Radit yang ada di depan Aurel, begitu pun dengan Ema yang langsung melotot saat Radit memanggil Aurel. Wanita itu tidak suka jika suaminya berbicara dengan wanita lain, ia merasa cemburu saat Radit berinteraksi dengan Aurel.
"Apa yang ingin kau sampaiin sama aku Radit?" tanya Aurel sambil menatap malas Radit yang ada di depan sebrang mejanya, wanita cantik itu tidak mempedulikan mata Ema yang sedang menatapnya dengan tatapan kesal.
"Aurel aku sebagai pimpinan di kantor meminta kamu untuk menangani proyek kerja sama dengan Evan grup." Ucap Radit.
Aurel tersedak mendengar kabar itu. Sendok yang ia pegang terjatuh ke piring dengan suara gemerincing. "Apa? Kenapa tiba-tiba aku?" tanyanya dengan suara tercekat.
Radit menghela napas, seraya menatap Ema yang masih menunjukkan raut ketidaksetujuannya. "Karena menurut mereka kamu yang paling cocok, Aurel. Kamu mengerti detail proyek ini lebih dari siapa pun," jelas Radit, berusaha menenangkan.
Aurel mengusap mulutnya dengan serbet, kemudian memandang Radit dengan tatapan yang berubah. Ada kebingungan yang tercampur rasa tak percaya. "Tapi Radit, aku belum siap untuk presentasi. Ini terlalu mendadak," keluhnya.
Ema, yang selama ini hanya diam, akhirnya buka suara. "Aurel, ini kesempatan besar. Jangan sia-siakan hanya karena kamu merasa tidak siap. Kamu lebih dari cukup untuk ini," ucap Ema, mendukung dengan nada yang tegas.
Aurel menghembuskan napas panjang, menatap kembali ke Radit dan Ema, lalu mengangguk pelan. "Baiklah, aku akan pergi." Jawab Aurel dengan wajah yang putus asa.
"Selamat berjuang Aurel," ucap Ema dengan nada meledek, karna ia tahu pemilik hotel itu susah di temui.
"Aku percayakan proyek ini kepada kamu Aurel, aku harap kamu bisa menyakinkan pemilik hotel itu dan berhasil mendapatkan kerja sama itu." Radit berdiri dari duduknya dan segera meninggalkan tempat itu bersama Ema.
"Aku yakin, kamu pasti berhasil mendapatkan proyek kerja sama itu Aurel." Revan memberikan dukungan kepada Aurel, istrinya.
"Heh, aku tidak yakin bisa mendapatkan kerja sama ini." Keluh Aurel mendesah frustasi.
"Kau belum mencobanya kenapa sudah putus asa saja Aurel." Ucap Nadin.
"Iya Nona, Nona belum mencobanya kenapa sudah putus asa terlebih dahulu." Ucap Siska pula.
"Kalian berdua tidak tahu saja, pemilik hotel itu sombongnya minta ampun." Kesal Aurel yang mendengar desus-desus pemilik hotel itu.
"Kata siapa Nona, pemilik hotel itu orangnya baik dan tidak sombong." Ucap Siska.
"Hah yang benar saja, aku dengar pemilik hotel itu memang sombong." Ucap Aurel yang ngotot dengan apa yang ia dengar.
"Apa kau mengenal pemilik hotel itu Siska?" tanya Nadin dengan tatapan yang menyelidik.
Glek.
Siska menelan salivanya dengan susah, ia lupa kalau dirinya sedang menyamar.
"Tidak Nona, saya tidak mengenalnya." Jawab Siska cepat agar Nadin tidak curiga.
Mata Revan memicing menatap gadis yang berkepang dua yang duduk di samping sahabat Aurel, pria itu seperti pernah melihat gadis yang di panggil Siska itu.
Siska menatap Revan dengan pandangan yang rumit, gadis itu seperti pernah melihat suami Aurel itu. Siska berpikir di mana ia pernah melihat pria itu, namun cukup lama ia berpikir dan mengingat di mana ia pernah bertemu dengan pria itu.
Namun nihil, Siska tidak mengingat dimana ia pernah bertemu dengan suami dari Aurel itu.Siska meninggalkan ruang tamu, hanya Aurel dan Nadin yang tersisa.
Suasana yang seharusnya penuh semangat kini menjadi hening dan berat. Nadin memperhatikan wajah Aurel yang tampak murung, mata sayunya seakan berbicara lebih banyak dari kata-kata yang keluar dari bibirnya.
"Aurel, kamu tidak terlihat baik, ada apa?" tanya Nadin dengan lembut, duduk lebih dekat dan menatap mata Aurel yang mulai berkaca-kaca.
Aurel menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara.
"Nad, aku takut," ucapnya lirih, suaranya bergetar. "Aku takut gagal, takut tidak memenuhi harapan semua orang, terutama kedua orang tuaku."
Nadin menggenggam tangan Aurel, memberikan kekuatan melalui sentuhan hangatnya.
"Aurel, percayalah pada dirimu sendiri. Kamu wanita yang kuat dan pintar. Keluargamu itu mendukungmu, kita semua mendukungmu. Kamu pasti bisa melewati ini."
Aurel mengangguk, mencoba meresapi kata-kata Nadin. Dalam hati kecilnya, ada semangat yang mulai tumbuh kembali, meski masih terbungkus rasa takut yang mendalam.
"Terima kasih Nad, aku akan berusaha. Untuk semua yang telah percaya padaku."
Nadin tersenyum, meyakinkan. "Saat kamu bertemu dengan pemilik hotel nanti, tunjukkan apa yang kamu miliki. Tunjukkan mereka kenapa Aurel layak mendapatkan kesempatan ini."
Dengan dukungan Nadin, Aurel merasa lebih siap. Meski tetap ada gugup yang menggelayuti, tapi sekarang dia tidak sendiri. Ada harapan, ada dukungan, dan ada keberanian yang mulai menyala dalam dirinya.
****
Mobil mewah itu melaju pelan di jalan raya yang cukup sepi, dengan Sandro yang duduk di kursi penumpang dan supir baru yang ia pekerjakan mengemudi dengan tenang. Suasana di dalam mobil hingga saat itu terasa sangat formal dan hening, hanya suara mesin yang terdengar memecah kesunyian.
Revan, yang duduk di kursi belakang, merasa canggung dengan keadaan itu. Revan maupun Sandro tidak ada yang membuka suara, mereka terdiam dengan pikiran masing-masing. Saat mobil melambat di sebuah persimpangan, Revan memberanikan diri untuk membuka suaranya, untuk meminta turun di pinggir jalan.
"Pa, saya turun di sini saja, ada hal yang ingin saya kerjakan," ucap Revan dengan nada yang mendesak, tidak ingin berlarut dalam situasi yang membuatnya tidak nyaman.
Sandro menoleh ke samping, memandang Revan yang duduk di sampingnya. Ada kekhawatiran yang tersirat dari kedalaman matanya, namun ia mengangguk perlahan.
"Baik, hati-hati," jawabnya singkat, seraya meminta supir untuk menghentikan mobil.
Revan segera keluar dari mobil, menghela nafas lega begitu kakinya menyentuh trotoar.
"Terima kasih pa," ucapnya sambil memberikan senyum tipis kepada Sandro dan supir sebelum menutup pintu mobil.
Ia berjalan cepat meninggalkan mobil itu, menembus keramaian kota dengan pikiran yang kembali melayang ke kebebasan yang hampir hilang.
Rex mengusap matanya yang masih berat, merasakan denyut di pelipisnya yang belum sepenuhnya hilang. Dia mencari-cari ponselnya yang ternyata sudah mati karena kehabisan baterai. Dengan langkah gontai, ia menuju ke charger dan menyambungkan kabel ke ponselnya.
Setelah beberapa saat, layar ponselnya menyala, memperlihatkan beberapa panggilan tak terjawab dan pesan dari Re.
Dengan gerak cepat yang bertentangan dengan keinginannya untuk kembali ke tempat tidur, Rex segera berpakaian. Ia memilih kemeja kasual dan jeans, tidak lupa mengambil kunci mobil dan dompetnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur.
Di luar, langit masih gelap, menandakan bahwa fajar baru akan menyingsing. Udara pagi yang sejuk menerpa wajahnya, memberikan sedikit kesegaran. Rex menghela napas, mengusir sisa kantuk yang masih melekat, lalu melangkah menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari apartemennya.
Setelah memastikan mesin mobilnya berfungsi dengan baik, Rex melajukan kendaraannya menuju persimpangan jalan dekat hotel tempat Re menunggu. Dalam hati, Rex bertanya-tanya, apa gerangan yang mendesak hingga harus memanggilnya di waktu yang sangat pagi ini. Namun sebagai karyawan yang loyal, ia tahu bahwa tugasnya adalah memenuhi permintaan bosnya, tidak peduli seberapa kecil atau besar tugas itu.
Menggenggam kemudi dengan erat, Rex menyiapkan diri untuk apapun yang akan dihadapi setelah ini. Walaupun masih merasa lelah, ia tahu bahwa tanggung jawab tidak mengenal waktu.