Demi kehidupan keluarganya yang layak, Vania menerima permintaan sang Ayah untuk bersedia menikah dengan putra dari bosnya.
David, pria matang berusia 32 tahun terpaksa menyetujui permintaan sang Ibunda untuk menikah kedua kalinya dengan wanita pilihan Ibunda-Larissa.
Tak ada sedikit cinta dari David untuk Vania. Hingga suatu saat Vania mengetahui fakta mengejutkan dan mengancam rumah tangga mereka berdua. Dan disaat bersamaan, David juga mengetahui kebenaran yang membuatnya sakit hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PutrieRose, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 KEBOHONGAN
Glek ... Glek ...
Sebotol air tawar ia teguk hingga tak tersisa. Tenggorokannya serasa kering sedari tadi. Ia sampai tak memikirkan akan tubuhnya yang hampir kehabisan cairan.
"Mama belum sadar juga ..."
Hembusan angin membawa rambutnya menari-nari. Di malam yang dingin, tubuhnya mulai menggigil.
"Nyonya, sebaiknya kita pulang saja. Tuan Marshel juga sudah menyuruh Anda pulang malam ini." Kali ini ia bersama Rara, pelayan tersebut menemaninya dari tadi.
Terlihat David masih menampakkan wajah yang sangat khawatir. Pria yang setia ada disampingnya tiba-tiba berdiri dan menghampirinya.
"Nyonya Vania, sebaiknya Anda pulang ke rumah. Cuaca dingin tidak baik untuk Anda," kata Reno.
"Kenapa semua orang menyuruhku pulang? Menyebalkan. Apa aku tidak berhak ada di sini?" Ia menggerutu sepanjang jalan dengan kesal. Di halaman rumah sakit, ia mengedarkan pandangan.
"Dimana mobilnya?" tanya Vania karna tak melihat ada mobil miliknya.
"Kita naik taxi, Nyonya," ucap Rara dan langsung menghadang taxi kosong di pinggir jalan.
"Kenapa gak ngomong dari tadi!" kesalnya.
***
Mulutnya tak berhenti mengunyah potongan roti yang disajikan di atas meja sembari tangannya mengeringkan rambut yang basah menggunakan hairdryer.
"Kenapa gak minta bantuan saya, Nyonya?" Rara masuk dan langsung mengambil alih hairdryer tersebut.
"Sebelum ke rumah sakit, aku ingin membelikan bucket bunga untuk mama Rissa. Kamu tahu toko bunga sekitar sini?"
"Banyak, Nyonya. Nanti saya tunjukan," jawabnya.
Hari ini Vania menuju rumah sakit bersama Rara dan Andin. Dengan sebuah bucket bunga yang harum, ia berjalan dengan percaya diri.
"Mama pasti sudah sadar," ujarnya yakin.
TING! TING!
Rara dan Andin bersamaan mengecek ponsel mereka yang terdapat pesan masuk.
"HAH!!!" teriak mereka bersamaan dan membuat Vania menghentikan langkahnya.
"Apa? Ada apa?" tanyanya karna ia merasa terkejut dengan teriakan mereka.
"Nyo-nyonya Rissa sedang perjalanan pulang. Kita disuruh menunggu di rumah utama," ucap Andin.
Terlihat kekecewaan dimata Vania. "Kenapa gak ada yang memberitahuku? Apa gunanya aku memiliki ponsel?" Ia menghentakkan kakinya kesal dan berjalan menuju gerbang rumah sakit.
"Ahhh ... Lega," lirih Andin.
"Lega gimana? Kita harus terus-menerus cari alasan agar nyonya tidak kemari. Ahhh, merepotkan! Kenapa infonya mendadak banget!" gerutu Rara.
"Hm, Nyonya. Maukah Anda jalan-jalan dulu, memutari kota ini? Anda katanya belum lama tinggal di kota. Aku punya—"
"Nanti saja, aku mau ketemu mama Rissa," potongnya.
"Ah, masih lama nyonya. Masih di dalam perjalanan mungkin," jawab Rara.
"Iya, Nyonya. Ajak kami jalan-jalan dulu lah, Nyonya. Lagipula nyonya Rissa sudah membaik akan pulang," timpal Andin.
"Aku tidak peduli masih di dalam perjalanan atau tidak. Intinya aku ingin cepat sampai di rumah utama. Aku harus ada di sana, menemani mama Rissa," ujar Vania masih teguh pendirian.
Kakinya berpijak pada halaman rumah yang megah. Ia tetap merasa takjub dengan bangunan rumah milik mertuanya tersebut.
"Berapa lama tukang bangunan membangun rumah semegah ini? Dan berapa banyak uang yang dihabiskan? Mungkin setara dengan jatah makan aku seumur hidup."
"Terlihat sepi." Vania tak melihat ada mobil terparkir di halaman. Setidaknya mobil David ada di sini, karna pria itu pasti tak meninggalkan mamanya sedetik pun.
"Belum datang, Nyonya. Saya bilang apa, pasti masih diperjalanan," ujar Rara.
"Bukankah jalan yang kita lalui sama? Sama-sama dari rumah sakit masa mereka sampainya lama sekali." Vania merasa heran.
"Mungkin saat tadi kita dapat info, mereka masih berkemas, Nyonya. Belum perjalanan pulang," sanggah Andin.
"Ya ngapain kita langsung ke sini? Seharusnya kita mengecek dulu ke kamar rawat mama. Kalian kalau ngasih info gak jelas! Bilangnya sudah pulang, ternyata belum." Ia pun akhirnya duduk menunggu kepulangan Mama Rissa.
.
.
"Bagaimana, sudah kamu urus?" tanyanya pada Reno yang sedang mengetikkan sesuatu di ponselnya.
"Sudah, Tuan. Ada lagi perintah untuk saya?" Reno kini menghadap tegak ke arah bosnya. Tatapan matanya tak seperti biasanya.
"Tidak," jawab David.
"Soal pembatalan pernikahan Anda dan nyonya Vania bagaimana? Apa bisa saya urus hari ini?"
Ia langsung menoleh, tatapan matanya tajam mengarah pada asistennya.
"Sampai kapan kamu mengungkitnya terus?" David terlihat marah.
"Loh, bukannya itu perintah, Tuan? Dan saya hanya bertanya kapan perintah itu akan saya laksanakan? Saya—"
"Mama lagi sakit!" serunya dengan mata berapi-api.
"Baiklah, berarti setelah nyonya Rissa membaik nanti saya baru mengurus pembatalan—"
BUG. BUG.
David dengan kesal memukuli asistennya hingga Reno hampir saja limbung.
"Lupakan ucapan aku waktu itu! Jangan membahasnya lagi!" tegasnya sembari mengacungkan jarinya.
"Baiklah. Saya akan cabut keinginan Anda soal itu. Berbahagialah dengan pernikahan kedua Anda."
"Diam!!!" David memelototinya lagi dan Reno hanya bisa menundukkan kepala.
"Apa yang membuat Anda berubah pikiran, Tuan? Jika tidak suka dengan nyonya Vania, seharusnya tinggalkan saja sekarang."
Wanita cantik berpenampilan anggun menyita perhatian para pengunjung rumah sakit. Dress warna putih selutut dengan blazer warna hitam terlihat cocok di kulitnya yang bersih. Rambut indahnya diikat ke atas, menampilkan leher jenjangnya.
"Beib, mama sudah sadar?" Karina langsung terbang ke sini saat mendapat kabar ibu mertuanya masuk rumah sakit.
Sebuah keranjang bunga yang indah, ia bawa masuk ke ruang rawat Rissa. Ibu mertuanya yang baru saja sadar beberapa menit yang lalu, langsung terkejut melihat wajah menantu pertamanya.
Ia segera menyingkirkan selimut dan ingin turun dari ranjang tapi ditahan oleh David.
"Ma, tetap berbaring,"
"Selamat pagi, Ma. Ini untuk Mama. Semoga Mama lekas sembuh," ucap Karina. Ia meletakkan keranjang bunganya di atas sofa.
"David apa kau lupa?" Ia menatap sang putra.
"Mama jangan banyak pikiran, istirahat lah untuk sekarang." David berusaha mengalihkan perhatian dan tak ingin membahas sesuatu yang ia tahu akan dibahas mamanya.
"Aku menyuruhmu datang ke hadapan mama sambil membawa surat perpisahan. Tapi kenapa kamu malah bawa dia?"
DEG.
Karina terkejut dan merasa tak paham apa yang diucapkan ibu mertuanya.
"Apa maksud mama, Beib?" bisiknya.
"Seharusnya kamu sudah menceraikannya!!!" Rissa menatap menantunya dengan tatapan sengit. Karina memang merasa bahwa ibu mertuanya tak menyukainya.
"Mama menyuruh David menceraikan aku?" tanyanya dengan bibir bergetar. Ia tampak terkejut dan tak bisa membayangkan bagaimana teganya ibu mertuanya seperti itu kepadanya.
"Iya! Ada wanita yang lebih baik untuk putraku," jawabnya lantang.
"Lebih baik dalam hal apa, Ma? Apa aku kurang baik? Aku sudah mengalah dan mengizinkan David menikah lagi. Aku sudah menurunkan egoku demi keinginan mama. Aku sudah menahan sakit, harus berbagi suami. Aku kurang baik apa, Ma?" Matanya mulai memanas. Ia belum selesai bicara, tangannya menahan ibu mertuanya yang akan mengeluarkan suara begitupun David yang memegangi lengan istrinya. "Apa karena aku belum bisa memberikan Mama seorang cucu? Itu alasannya?"
"Banyak alasan, bukan hanya itu saja!" seru Rissa.
Karina tersenyum miring. "Baiklah. Tinggalkan aku sekarang, Beib! Aku akan membesarkan calon bayiku sendiri!" Karina keluar sembari melemparkan sesuatu ke sofa.