Harap bijak memilih bacaan.
riview bintang ⭐ - ⭐⭐⭐ = langsung BLOK.!
Barra D. Bagaskara, laki-laki berusia 31 tahun itu terpaksa menikah lagi untuk kedua kalinya.
Karena ingin mempertahankan istri pertamanya yang tidak bisa memliki seorang anak, Barra membuat kontrak pernikahan dengan Yuna.
Barra menjadikan Yuna sebagai istri kedua untuk mengandung darah dagingnya.
Akibat kecerobohan Yuna yang tidak membaca keseluruhan poin perjanjian itu, Yuna tidak tau bahwa tujuan Barra menikahinya hanya untuk mendapatkan anak, setelah itu akan menceraikannya dan membawa pergi anak mereka.
Namun karena hadirnya baby twins di dalam rahim Yuna, Barra terjebak dengan permainannya sendiri. Dia mengurungkan niatnya untuk menceraikan Yuna. Tapi disisi lain Yuna yang telah mengetahui niat jahat Barra, bersikeras untuk bercerai setelah melahirkan dan masing-masing akan membawa 1 anak untuk dirawat.
Mampukah Barra menyakinkan Yuna untuk tetap berada di sampingnya.?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Yuna masih dalam mode berfikir. Dia sama sekali tidak paham dengan situasi di depan matanya. Obrolan Dokter Alan dan Barra malah membuat Yuna bingung. Tujuan Barra mengajaknya ke rumah sakit karna ada urusan dengan Dokter Alan, tapi begitu sudah bertatap muka, Dokter Alan malah pergi.
"Kita duduk di sana." Barra menunjuk kursi tunggu yang kosong. Dia menggandeng Yuna seperti tadi, mengajak Yuna untuk duduk disana.
Masih dalam keadaan bingung, Yuna mengikuti langkah Barra tanpa banyak bicara.
Barra duduk lebih dulu sembari melepaskan tangan Yuna. Sementara itu, Yuna masih berdiri. Dia mengamati kondisi di sekitarnya. Sebagian dari mereka yang duduk di ruang tunggu seperti sepasang suami-istri. Di antara dari mereka bahkan sedang hamil besar.
Seketika perasaan Yuna berubah cemas, apalagi saat menatap kesebuah ruangan yang Yuna tau jika ruangan itu khusus untuk menangani masalah kandungan.
Hal itu membuat jantung Yuna berdetak kencang, dia bahkan merasakan tubuhnya terasa dingin.
Hal yang dia takutkan terjadi. Barra diam-diam mencurigainya sampai berakhir dengan membawanya ke dokter kandungan dengan cara membohonginya. Barra menjadikan dokter Alan sebagai alasan untuk menggiringnya masuk ke rumah sakit.
Pura-pura tenang dan ikut duduk di samping Barra. Yuna menatap Barra dengan senyum tipis.
"Kita mau ngapain Mas.?" Tanya Yuna.
Wajah datar Barra yang telah menjebaknya masuk kerumah sakit, sedikit membuat Yuna jengkel.
Dalam hitungan jam, Barra pasti akan tau jika di rahim Yuna ada darah dagingnya.
Yuna tidak bisa membayangkan sehancur apa perasaannya jika Barra tau tentang kehamilannya, tapi tetap memilih untuk mengakhiri pernikahan sesuai kontrak yang tertulis.
"Maaf harus membohongi kamu."
"Aku cuma mau memastikan kamu hamil atau enggak." Pengakuan Barra membuat Yuna semakin tidak karuan. Ternyata memang benar Barra sengaja menyeretnya masuk kedalam rumah sakit.
"Mas Barra nggak percaya sama aku.?" Tanya Yuna dengan suara yang sedikit keras. Suara yang disertai kekecewaan karna mmerasa dibodohi oleh Barra dengan diam-diam mengajaknya memeriksakan kandungan. Kalau tau akan di bawa ke rumah sakit, Yuna pasti gidak akan mau pergi bersama Barra.
"Aku sudah bilang kalau selama ini masih haid setiap bulan, kenapa Mas Barra harus memastikan segala.?" Yuna menatap Barra dengan perasaan kecewa dan kesal.
"Aku nggak hamil, Mas.!" Ucapnya menegaskan.
Barra tersenyum kecut. Tatapan matanya yang tadinya datar, perlahan berubah. Ada kekesalan dari sorot matanya.
"Yakin nggak hamil.?" Suara Barra terdengar menantang. Tatapan matanya juga semakin tajam dan intens. Seolah sedang menginterogasi orang yang tertangkap basah telah berbohong.
Yuna mengangguk cepat untuk menjawabnya, namun Barra justru sersenyum sinis. Terlihat tidak percaya dengan jawaban Yuna.
"Jangan coba-coba membohongiku Yuna." Tegas Barra.
"Aku tau kamu menyembunyikan kehamilan dariku."
Ucapan dan tatapan mata Barra begitu yakin.
"Mas, aku benar-benar,,,,
"Sudahlah Yuna, kita buktikan saja setelah ini." Barra memotong ucapan Yuna. Dia sangat yakin kalau Yuna tengah hamil. Meski Yuna berusaha menyangkal, namun hal itu justru membuat Barra semakin meyakini ada darah dagingnya di dalam rahim Yuna.
Wajah Yuna berubah pucat, dia tidak bisa lagi menyangkal. Jika menolak untuk melakukan pemeriksaan, itu justru akan semakin membuat Barra mencurigainya.
Sekarang Yuna tidak punya pilihan lain, mungkin memang sudah waktunya Barra mengetahui tentang kehamilannya.
Yuna tertunduk sendu. Dia memilih diam dan pasrah, membiarkan Barra melakukan apa yang dia inginkan.
Barra memperhatikan perubahan sikap Yuna. Terus menatap Yuna yang tertunduk. Barra tidak pernah bermaksud membawa Yuna secara paksa seperti ini, dia tidak punya pilihan lain karna Yuna selalu menyangkal kehamilannya. Sedangkan beberapa minggu ini sikap Yuna semakin banyak perubahan. Dia terlihat lebih agresif untuk berinteraksi dengannya, selalu mencuri waktu untuk bicara berdua meski hanya menanyakan hal yang tidak penting. Di tambah dengan perut Yuna yang semakin membesar dan porsi makannya semakin banyak.
Yuna dan Barra saling diam sampai mendapat giliran untuk di periksa. Ketakutan dan kecemasan yang Yuna rasakan membuatnya terus menundukan pandangan dengan raut wajah sendu. Dia sedang berfikir harus mengatakan apa pada Barra setelah kehamilannya diketahui.
Begitu masuk kedalam ruangan, Yuna di periksa kesehatannya lebih dulu, setelah itu diminta untuk berbaring. Dia hanya diam saja, Barra yang lebih banyak bicara dengan dokter dan perawat.
"Maaf ya,,," Perawat menaikan baju Yuna hingga dibawah dada. Yuna mengangguk kecil.
Dia memperhatikan perawat yang mulai mengoleskan gel ke perutnya.
"Kencang sekali perutnya." Ujarnya.
"Jangan terlalu banyak pikiran ya mba, ibu hamil harus menghindari stres, nggak baik untuk kesehatan ibu dan janin."
Lagi-lagi Yuna hanya mengangguk. Sejak tau dirinya hamil, Yuna memang merasa stres karna memikirkan nasib anaknya kelak. Itu sebabnya berat badannya semakin berkurang, perutnya juga beberapa kali kram.
"Apa berbahaya.?" Barra langsung mengajukan pertanyaan setelah mendengarkan penjelasan perawat itu.
"Stres yang berlebihan bisa berakibat keguguran untuk usia kehamilan trimester pertama, juga mempengaruhi tumbuh kembang janin." Sahut Dokter menjelaskan.
"Jadi sebaiknya hindari hal-hal yang membuat ibu hamil merasa stres, usahakan membuatnya happy setiap hari."
Dokter itu beranjak, duduk di sisi ranjang untuk melakukan usg.
Barra menatap wajah Yuna. Sedikitpun tidak ada gurat kebahagiaan di wajah putihnya yang pucat. Tatapan mata Yuna terlihat kosong, namun seperti memikirkan beban yang berat.
"Wah,,, selamat babynya twins,,," Ucapan dokter seketika membuyarkan pikiran Yuna dan Barra. Keduanya kompak menatap Dokter itu.
"Apa Dok.? twins.?" Seru Yuna dan Barra. Keduanya sangat terkejut, namun kebahagiaan langsung terpancar dari sorot mata Barra.
Mendengar Yuna hamil saja sudah membuat Barra tidak bisa berkata - kata.
"Iya, mereka kembar."
"Kalian baru tau.? Padahal kehamilannya sudah 12 minggu." Dokter itu menatap sepasang suami-istri yang terkejut mendengar kehamilan kembar itu.
"Iya Dok, kamu baru menyadari kehamilan ini." Jawab Barra sembari menatap Yuna.
Barra semakin terkejut karna ternyata sudah lama Yuna menyembunyikan kehamilan itu darinya.
Melihat tatapan mata Barra yang menuntut penjelasan, Yuna langsung mengalihkan pandangan. Dia kembali fokus menatap layar monitor di depannya, menatap baby twins yang sudah lengkap memiliki organ tubuhnya.
Barra antusias bertanya, matanya tak beralih dari layar monitor yang memperlihatkan darah dagingnya. Yuna bisa melihat kebahagiaan yang dirasakan oleh Barra. Mata Barra berkaca-kaca melihat dua buah hatinya di dalam perut Yuna.
Yuna tidak menyangka reaksi Barra akan sebahagia itu, dia yang terus mengajukan pertanyaan pada dokter setra meminta saran seperti apa menjaga kehamilan dengan baik, hal apa saja yang harus dilakukan dan dihindari, begitu juga dengan makanannya.
Melihat antusias Barra, Yuna sedikit merasa lega. Kehadiran baby twins mungkin saja bisa merubah pendirian Barra. Siapa tau setelah ini Barra setuju untuk membatalkan perjanjian pernikahan mereka dan memulai semuanya dari awal untuk menjalani rumah tangga mereka dengan semestinya.
"Terimakasih banyak Dok." Barra menjabat tangan Dokter itu, serta mengulas senyum lebar penuh kebahagiaan.
"Sama-sama, usahakan rutin tiap bulan melakukan pemeriksaan." Ucapnya. Barra dan Yuna mengangguk, keduanya keluar dari ruangan dengan perasaan yang sulit untuk di ungkapan dengan kata-kata.
"Pelan-pelan." Tegur Barra lembut. Dia menghentikan langkah Yuna yang terlihat buru-buru.
Yuna menoleh sekilas saat tangan Barra merangkul pinggangnya, sedangkan satu tangannya lagi memegang hasil pemeriksaan.
"Duduk dulu disini, aku mau ambil obat dan vitamin kamu." Barra mendudukkan Yuna di kursi.
"Iya." Jawab Yuna singkat. Wajahnya masih sendu, tidak seperti Barra yang terlihat bahagia.