Masa lalu yang kelam mengubah hidup seorang ALETHA RACHELA menjadi seseorang yang berbanding terbalik dengan masa lalunya. Masalah yang selalu datang tanpa henti menimpa hidup nya, serta rahasia besar yang ia tutup tutup dari keluarganya, dan masalah percintaan yang tak seindah yang dia banyangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: membuka hati
Angkasa masih duduk di dalam mobil, tangannya menggenggam setir dengan erat, seolah berusaha menenangkan dirinya. Perasaan cemas dan bingung bercampur aduk di dalam dirinya. Apa yang baru saja terjadi dengan Aletha? Mengapa segala sesuatu terasa begitu rumit? Angkasa menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke depan, seolah mencari jawaban di dalam kekosongan itu.
"Gue harus lebih pede... lebih jujur sama diri sendiri," gumamnya perlahan, berusaha meyakinkan dirinya. "Tapi kenapa gue malah makin bingung ya?" Ia berulang kali mengingat setiap kata yang diucapkan Aletha, memikirkan tatapan matanya yang penuh makna, senyum tipis yang terkadang terlihat menggoda, dan bagaimana rasanya nyaman namun canggung pada saat bersamaan.
Pikirannya terus berputar-putar, membentuk pertanyaan yang tak terjawab. Apakah ini berarti dia bisa membuka hati lebih lebar, atau justru malah membuat semuanya lebih rumit? Aletha... gadis itu memang berbeda. Namun, kadang-kadang, perasaan Angkasa merasa seperti berada di ujung jurang. Ia ingin melangkah lebih jauh, tetapi terkadang rasa takut menghalanginya.
Ia menatap layar ponselnya, kemudian membuka pesan dari Aletha yang baru saja masuk. Angkasa memicingkan mata, masih ragu untuk membacanya. Setelah beberapa detik menunggu, akhirnya ia menarik napas dan membuka pesan itu.
"Angkasa, gue nggak janji bisa gampang percaya. Tapi, gue rasa... lo bikin gue merasa aman. Jangan langsung mundur, ya?"
Seketika, dada Angkasa terasa berdebar. Kata-kata itu seperti membawa angin segar di tengah kebingungannya. Ada rasa lega yang mulai menyelimuti hatinya, namun juga ada pertanyaan yang masih menggantung. Apa maksud sebenarnya dari pesan ini? Apakah itu pertanda baik, atau justru semakin memperburuk kebingungannya?
"Lo serius?" Angkasa membatin, sedikit terkejut. Senyum tipis muncul di wajahnya saat dia membalas pesan itu dengan penuh keyakinan.
"Gue nggak akan mundur, Tha. Gue cuma perlu waktu buat ngertiin lo. Lo nggak perlu khawatir."
Ia menatap layar ponselnya dengan cemas, menunggu balasan dari Aletha. Namun, tiba-tiba suara yang datang dari samping mobil membuatnya terkejut. "Lo tahu nggak sih, Angkasa, lo tuh kayak cowok yang… yang aneh. Sekali kelihatan serius, sekali kelihatan kayak anak Labil. Aneh banget, deh." Suara itu terdengar langsung dari sisi mobil, begitu jelas di telinga Angkasa.
Ia menoleh ke arah suara itu, dan mendapati Aletha sudah berdiri di samping mobil, tangannya terlipat di depan dada, ekspresinya serius namun dengan senyum tipis yang membuat Angkasa merasa sedikit canggung. Ia hampir tidak percaya Aletha kembali keluar setelah beberapa saat sebelumnya mereka baru saja berpisah.
Angkasa terdiam sejenak, bingung dengan apa yang baru saja terjadi. "Eh? Tha, lo... kenapa ke sini lagi? Gue udah… Gue pikir lo udah masuk, kok?" tanyanya terbata-bata, tidak tahu harus bagaimana menghadapi situasi yang mendadak ini.
Aletha tertawa kecil, meskipun senyumannya masih tampak penuh arti, "Gue nggak bisa keluar dari kepala lo, ya?" katanya sambil melangkah mendekat, senyumannya semakin melebar. "Tapi ya, lo tuh… gitu deh. Terkadang, lo kayak nggak bisa ngebaca situasi. Sama kayak tadi, cuma beberapa detik lo ngomong, tapi rasanya kayak lo... keliru aja. Lo beneran nggak tahu kalau gue merasa takut kalau semuanya jadi rumit?" tanyanya dengan nada sedikit menggoda, sambil mengangkat satu alisnya.
Angkasa langsung salting, wajahnya memerah seketika. Ia meraba rambutnya, seakan mencari kata-kata yang tepat, namun tak kunjung menemukannya. "Gue cuma… Gue cuma nggak mau bikin lo mikir-mikir, gitu. Kadang, gue cuma pengen bilang yang sebenernya aja, tapi gue juga takut kalau lo nggak siap."
Aletha menatapnya, agak terkejut dengan kejujuran Angkasa yang keluar begitu saja. Ia berjalan mengelilingi mobil dengan langkah yang anggun, membuka pintu penumpang depan dengan hati-hati, dan kemudian berhenti, memandang Angkasa dengan serius. "Lo jujur banget, ya. Tapi, gue pikir, itu yang bikin lo beda. Lo nggak kayak cowok-cowok lain yang biasa gue temuin," katanya dengan nada yang lebih ringan, meskipun masih ada kehangatan di suaranya. "Tapi gue juga nggak bisa sembarang bilang iya. Gue nggak mau jadi yang bikin lo bingung terus."
Angkasa mengernyitkan dahi, benar-benar bingung. "Maksud lo, lo nggak mau jadi yang bikin gue bingung?" tanyanya, suara mulai terdengar lebih keras, merasa sedikit frustrasi dengan kebingungannya. "Tapi kan kita udah ngomong, Tha! Gue tuh serius banget sama lo!"
Aletha berhenti sejenak, membalikkan tubuhnya dengan tatapan yang semakin tajam. "Lo serius banget? Lo nganggap gue nggak serius?" tanyanya, sedikit tertawa namun ada nada yang lebih tajam di suaranya.
Angkasa langsung terbata-bata, mencoba menenangkan dirinya. "Gue… serius banget. Gue cuma... nggak mau bikin lo ngerasa nggak nyaman aja. Gue tuh... merasa aneh gitu kalau gue terlalu cepat... maksa."
Aletha mendekat dengan langkah mantap, berdiri tepat di depan Angkasa, tatapannya kini lebih tajam dan menantang. "Kadang lo itu, Angkasa, bener-bener bruntal, tapi sekaligus juga nggak tahu gimana harus bersikap. Lo nggak tahu, ya? Kadang gue bingung sama lo. Tapi, entah kenapa, gue juga suka sama cara lo... yang aneh ini."
Angkasa menatapnya, merasa bingung namun juga terpesona dengan cara Aletha berbicara. "Jadi, lo nggak keberatan gue begini?" tanyanya, suara sedikit lebih pelan, seolah meminta kepastian.
Aletha menggelengkan kepala dengan pelan, lalu menyentuh dagu Angkasa dengan lembut, seolah menilai lebih dalam. "Gue nggak keberatan. Tapi, lo harus berhenti bikin gue bingung. Kalau lo serius, jangan cuma ngomong. Tunjukin. Lo tahu kan, gue nggak suka orang yang asal ngomong tanpa bukti."
Angkasa terdiam, merasa canggung. "Oke... gue... gue akan lebih berhati-hati," jawabnya dengan suara pelan, berusaha menunjukkan bahwa ia akan menepati kata-katanya.
Aletha tersenyum, lambaian tangannya terlihat anggun. "Kalau lo beneran serius, ya. Gue bakal liat perkembangan lo. Jangan cuma ngomong tanpa bukti."
Angkasa menatapnya dengan penuh kecemasan, hatinya masih bergelora. "Jadi, lo masih mau gue jalanin ini pelan-pelan?" tanyanya, sedikit ragu.
Aletha mengangguk, tatapannya penuh harapan namun tetap tenang. "Pelan-pelan, Angkasa. Tapi nggak lama, gue bakal ngeliat bukti dari semua omongan lo. Lo harus bisa buktikan, nggak hanya ngomong doang."
Angkasa menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. “Ya udah, Tha. Gue bakal sabar. Gue janji.”
Dengan itu, Aletha mengangguk dan melangkah pergi, meninggalkan Angkasa yang masih terperangah, namun kini sedikit lebih yakin. Mungkin inilah saatnya untuk menunjukkan bahwa dia serius, meski jalan yang harus dia tempuh penuh dengan teka-teki dan tantangan. Ia tahu bahwa ini bukan perjalanan yang mudah, namun Angkasa merasa siap untuk melangkah lebih jauh, bahkan jika itu penuh dengan kebingungan yang harus ia hadapi.
Dengan langkah yang lebih ringan, Angkasa melajukan mobilnya kembali menuju rumah. Ia adalah anak tunggal, dan meskipun rumahnya besar dan megah, kesepian seringkali menghampirinya. Kini, dengan hati yang sedikit lebih tenang dan senyum yang tersungging di bibirnya, ia merasa ada secercah harapan baru untuk perjalanan panjang ini.