Tak terima lantaran posisi sebagai pemeran utama dalam project terbarunya diganti sesuka hati, Haura nekat membalas dendam dengan menuangkan obat pencahar ke dalam minuman Ervano Lakeswara - sutradara yang merupakan dalang dibaliknya.
Dia berpikir, dengan cara itu dendamnya akan terbalaskan secara instan. Siapa sangka, tindakan konyolnya justru berakhir fatal. Sesuatu yang dia masukkan ke dalam minuman tersebut bukanlah obat pencahar, melainkan obat perang-sang.
Alih-alih merasa puas karena dendamnya terbalaskan, Haura justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Ervano hingga membuatnya terperosok dalam jurang penyesalan. Bukan hanya karena Ervano menyebalkan, tapi statusnya yang merupakan suami orang membuat Haura merasa lebih baik menghilang.
****
"Kamu yang menyalakan api, bukankah tanggung jawabmu untuk memadamkannya, Haura?" - Ervano Lakeswara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 - Bukan Suami
"Maksud_"
Plak
Tamparan kedua kembali mendarat tepat di wajah Ervano. Tidak hanya menampar, tapi Haura yang lepas kendali dan tersinggung dengan sikap Ervano tak segan-segan menyerangnya secara brutal sembari melontarkan sumpah serapahnya.
"Badjingan!! Bisa-bisanya masih bersikap santai bahkan sama sekali tidak merasa bersalah!!" pekiknya luar biasa menggema dan sengaja Haura teriakan tepat di dekat telinga Ervano.
Selesai dengan tamparan, Haura menggunakan tas yang bahannya lumayan keras untuk menghantam kepala Ervano tanpa ampun. Seakan membalaskan dendamnya semalam, Haura meluapkan emosi sepuasnya.
Sebagaimana Ervano yang tadi malam sama sekali tidak peduli padanya, Haura melakukan hal sama. Meski memang terlambat, seharusnya Haura melawan seperti ini sewaktu hendak Ervano gagahi.
Namun, hendak bagaimana Ervano memang berbeda. Entah mana yang asli, tapi jelasnya saat ini Ervano seolah tidak bertenaga dan menerima saja semua serangan Haura.
Mulai dari tamparan, pukulan dengan tas juga cakaran yang melukai wajah, tangan dan dadanya benar-benar Ervano terima sampai Haura bingung kenapa pria itu diam saja.
"Kenapa berhenti? Luapkan lagi," tantang Ervano padahal luka-lukanya sudah lumayan memprihatinkan.
Belum sembuh luka yang dia terima dari Abimanyu, kini ditambah dengan luka dari Haura. Sungguh perpaduan yang luar biasa, tidak perlu dites DNA mereka memang sedarah.
Kendati demikian, Ervano sama sekali tidak mempersalahkan hal itu. Dia juga tidak marah, apalagi berniat membalas serangan Haura. Sama seperti Abimanyu yang dia biarkan menghajarnya hingga puas, begitu juga dengan Haura.
"Ayo, selagi saya izinkan ... bagian mana yang ingin kam_uuugghhh!!" Mulut Ervano menganga.
Tubuhnya mendadak kaku dan seketika terjatuh tatkala merasakan nyawanya seakan dicabut detik itu juga.
Serangan terakhir yang kali ini Haura lakukan cukup tak terduga dan sedikit gila. Bagaimana tidak? Wajah tenang yang tadi Ervano pikir telah lelah menyerang ternyata salah.
Melainkan justru puncaknya. Tak pernah terpikirkan oleh Ervano bahwa Haura akan tega menendang bagian sensitifnya sekuat tenaga. Jangan tanya sesakit apa, Ervano bahkan sampai kesulitan bernapas dan terpejam untuk beberapa lama.
"Awh, Ya Tuhan ... Eumh, Mama," rintih Ervano masih terus menekan bagian bawah perut yang sakitnya seperti hendak meregang nyawa.
Haura yang menyaksikan hal itu hanya bersedekap dada. Seolah menikmati setiap rasa sakit yang Ervano rasakan. Jika dilihat dari raut wajahnya, tampak seperti tidak sedang bercanda.
"Nikmati, jangan harap aku akan bersedia menolong saat ini!!" pungkas Haura kemudian berlalu pergi meninggalkan Ervano yang masih berusaha berperang dengan rasa sakitnya.
Tanpa berniat menoleh ke belakang, Haura bermaksud fokus saja meneruskan langkah. Namun, belum seberapa jauh dia berlalu, beberapa orang justru datang dari arah berlawanan.
Menyadari hal itu, Haura khawatir mereka menganggapnya sebagai kriminal dan seketika berbalik demi menutupi perbuatannya.
Ya, walau memiliki keberanian untuk menghajar Ervano hingga kesulitan bernapas tetap saja Haura takut karena di sini, jelas sekali bahwa dia tak ubahnya bak tukang pukul.
"Pak ... Pak Vano bangun," panggil Haura sembari menepuk-nepuk wajah Ervano yang sudah terpejam sejak pertama kali dia datangi.
Haura tidak mengerti pria itu pingsan atau bagaimana, tapi dia tetap berusaha dan berharap nyawa pria itu masih berada dalam raganya.
"Aduh, Pak ... bangun dong, kenapa harus pingsan segala sih? Cuma ditendang gitu doang pingsan mas_"
"Mbak?"
"Ah iya?" Haura terperanjat, jantungnya berdegup tak karu-karuan tatkala sadar rombongan yang tadi dia hindari sudah berada di dekatnya.
"Suaminya kenapa?"
"Heuh?" Pertanyaan yang terlontar dari mereka sontak membuat Haura menggeleng cepat. "Dia bukan suami saya!!"
"Oh, terus siap_ eh? Ini bukannya Haura? Yang artis itu 'kan?"
"Aduh salah orang, Mas, saya bukan artis ... ibu rumah tangga biasa," jawab Haura mengelak, mana mau dia mengaku.
Beruntungnya yang bertanya mungkin tidak begitu yakin karena sudah malam juga. Mereka kini hanya terfokus pada Ervano yang tergeletak tak sadarkan diri.
"Oh iya, terus ini siapa kalau bukan suami, Mbak?"
"Kurang tahu, tadi kebetulan saya lewat ... ketemu mas ini, mau bantuin tapi saya tidak kuat," papar Haura dengan penuh kebohongan seperti kebiasaannya.
"Aduh, kasihan sekali, kira-kira kenapa, Mbak?"
"Kalau dilihat mukanya sih sepertinya dicopet, tuh luka-luka," ucap Haura menjelaskan, sudah persis saksi mata yang menemukan korban tak tanpa indentitas saja.
Ketiga pria yang mendapat penjelasan Haura sontak saling menatap. Seakan tengah berpikir copet mana yang menyerang seperti perempuan.
"Aduh, Mas kok diam saja sih? Buruan dibantu!!" desak Haura lantaran curiga mereka mulai berpikir macam-macam di sana.
"Bantuin gimana, Mbak? Kan kita-kita pada jalan kaki."
Haura lagi dan lagi kebingungan. Sungguh dia sudah tidak bersedia lagi untuk berurusan dengan pria itu.
Akan tetapi, di sisi lain Haura memang takut andai nanti kejahatannya justru terkuak dan Ervano menuntutnya dengan pasal berlapis.
Atas dasar itulah, Haura memutuskan untuk meminta bantuan mereka membawa Ervano ke mobilnya.
.
.
"Huft, harusnya aku pergi lebih cepat saja," ungkap Haura begitu tiba di dalam mobil dan menyaksikan Ervano yang tengah terduduk lesu di sebelahnya.
Ucapan Haura yang tadi akan membawa Ervano ke rumah sakit pada tiga pemuda tersebut hanyalah akal-akalan, bohong tentu saja.
Mana mau Haura membuang waktu untuk mengantar pria itu ke rumah sakit. Beberapa saat dia pandangi, mata Haura dibuat terkejut begitu melihat da-rah mengucur dari pelipis Ervano.
"Hah?" Bohong jika tidak panik, apalagi Haura tahu sendiri sekeras apa sudut tas mahalnya itu.
Bisa dipastikan dar-ah tersebut adalah akibat dari ulahnya. Atas dasar rasa bersalah, naluri Haura seolah hidup dan sontak menarik beberapa lembar tisu di depan matanya.
Perlahan, meski tadi sempat murka Haura membersihkan da-rah tersebut dan ternyata tidak berhenti segera.
Merasa penasaran, Haura memberanikan diri untuk menyibak rambut Ervano yang sedikit panjang demi memastikan bagaimana keadaan pria itu dan hasilnya berhasil membuat Haura menganga.
"Hah? Bo-bocor?" tanya Haura sontak menutup mulutnya.
Sewaktu dia melakukan penyerangan mungkin tak begitu terlihat karena lukanya berada di atas dan rambut Ervano memang cukup tebal.
Namun, sewaktu Haura menyibak rambut Ervano kulit kepala pria itu sudah terlihat mengerikan.
"Gawat, aku harus membawanya ke rumah sakit sekarang!!"
"Tidak perlu." Suara berat Ervano seketika terdengar hingga Haura mengerutkan dahi.
Ingin mengatakan Ervano bersandiwara, tapi keadaannya memang cukup memprihatinkan juga.
"Kenapa? Kepalamu_"
"Antar aku ke apartemen saja," pinta Ervano dan tentu saja Haura enggan.
Belajar dari pengalaman, dia bisa terjebak juga karena niat menolong pada awalnya. Sudah tentu dia tidak bersedia masuk ke lobang yang sama untuk kedua kalinya.
Hal itu tertangkap jelas di mata Ervano sekaligus dia mengerti juga. "Kenapa? Kamu takut, Ra?"
.
.
- To Be Continued -