Apa jadinya ketika seorang mantan Casanova jatuh cinta pada seorang gadis yang polosnya tingkat dewa?
"Kau tahu tidak apa artinya cinta?"
"Tahu,"
"Apa?"
"Kasih sayang dari orangtua pada anak mereka."
Jleebb
Akan bagaimanakah kisah mereka selanjutnya? Mampukah seorang CIO MORIGAN STOLLER menaklukkan hati sang pujaan hati yang terlalu lambat menyadari perasaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rifani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 14
"Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Elil?" tanya Junio. Saat ini dia tengah makan malam bersama dengan anak dan istrinya di sebuah restoran. "Apa dia sudah sadar kalau kau telah mencuri kegadisannya?"
"Boro-boro sadar. Yang ada dia malah bercerita pada Andreas kalau miliknya kemasukan kayu,"
"Oh, jadi Andreas sudah tahu?"
"Hmm, sudahlah. Aku malas membahas soal ini,"
"Kenapa?"
"Malas saja."
"Tumben,"
Patricia menatap seksama ke arah Cio saat menyadari ada yang aneh dengan sikapnya. Tidak biasanya anak ini tak bersemangat begini. Apa yang terjadi ya? Jadi penasaran.
"Cio, apa kau sedang menyembunyikan sesuatu dari Ayah dan Ibu? Jarang-jarang Ibu melihatmu lesu begini. Ada apa, hm?" tanya Patricia menuntut penjelasan. Tidak mungkin tak ada masalah. Pasti sesuatu telah terjadi.
"Tidak ada apa-apa, Bu. Sungguh," jawab Cio sambil mengaduk makanan di atas piring. Dia tak berselera makan.
"Bohong. Dari yang Ibu amati, kalau kau begini biasanya karena belum mengecas burungmu. Apa Elil menolakmu?"
"Sedang mengejekkukah?"
"Ibu sedang bertanya, bodoh. Siapa juga yang mengejekmu."
"Tapi nada pertanyaan Ibu seolah sedang menertawakanku. Aku tidak bodoh loh!"
Cio mendengus. Memang benar sikapnya jadi begini gara-gara Elil. Meski bukan penolakan secara terang-terangan, Cio merasa sangat amat tersiksa setelah malam itu diabaikan begitu saja. Kepalanya pusing, butuh pelepasan. Tetapi Cio tak tahu harus melepaskan hasrat pada siapa. Dia tak lagi tertarik pada wanita selain gadis polos itu.
(Ck, kalau begini terus lama-lama sumber mata air surgawiku bisa kering. Apa yang harus ku lakukan ya supaya Elil peka kalau aku butuh dia? Rasanya benar-benar seperti mau gila. Ada banyak sekali wanita yang mengantri ingin tidur denganku, tapi kenapa aku tak bergairah lagi pada mereka? Apa yang salah?)
Sadar putranya sedang butuh ruang untuk bicara sesama pria, Patricia berpamitan ingin ke toilet. Mungkin ada sesuatu yang dirasa sungkan untuk dikatakan oleh putranya. Jadilah dia memberikan waktu agar ayah dan anak itu bisa mengobrol dengan leluasa.
"Ibu begitu peka pada apa yang ku butuhkan, tapi kenapa Elil tidak bisa melakukan? Sesulit itukah?" keluh Cio sangat menghargai tindakan sang ratu rimba. Ibunya memang yang terbaik.
"Itu karena kau memilih gadis yang baru benar-benar keluar dari pabrik. Otaknya Elil masih stelan awal. Jadi perlu diotak-atik dulu agar bisa memahami situasi si pemilik," ucap Junio maklum akan keresahan di diri Cio.
"Dia manusia, Ayah. Bukan robot."
"Yang bilang robot juga siapa. Itukan pemikiranmu sendiri,"
"Aku sedang malas berdebat ya. Kepalaku sedang pusing, jangan menambah beban."
Junio terkekeh. Dia meletakkan sendok ke atas meja kemudian bertopang dagu menatap Cio. "Seorang Cio Stoller galau karena seorang gadis. Jika berita ini merebak di media, Ayah yakin kau akan langsung menjadi bahan tertawaan banyak orang. Siapa yang akan menyangka laki-laki dengan sejuta wanita dibuat tak berdaya karena keinginannya yang tak kesampaian. Malang nian,"
Andai yang bicara bukan ayahnya, Cio pasti sudah melemparkan garpu ke mulut orang tersebut. Dia lalu mengumpat pelan saat orang tua kejam tersebut menertawakannya.
"Baru kali ini mata air surgawiku tidak tersalurkan dengan baik. Rasanya sungguh merepotkan. Aku jadi uring-uringan sendiri sekarang," ucap Cio kembali mengeluhkan penderitaannya. "Ayah punya solusi tidak? Aku hampir sekarat."
"Pakai jalan pintas saja,"
"Maksudnya?"
"Jangan pura-pura bodoh. Ayah tahu benar ke mana arah jalan pikiranmu sekarang," seloroh Junio seraya menyipitkan mata. Like father, like son. Kalimat ini sangat tepat diperuntukkan bagi mereka berdua.
"Ayah, Ayah tahu sendirikan seperti apa Elil itu? Aku tidak perlu harus sampai memperk*sanya jika hanya ingin menyalurkan hasrat. Kemarin malam saja dia dengan sadar mengundangku agar naik ke ranjangnya. Ya kali harus melakukan pemaksaan. Percuma,"
"Oh, jadi ini alasan kenapa kau terlihat begitu tak bersemangat. Elil mengabaikanmu ya?"
"Bukan hanya diabaikan, tapi aku dianggurkan dan ditinggal tidur."
Bibir Junio berkedut.
"Puas?" kesal Cio sambil memutar bola matanya, jengah.
"Pftttt, hahahaha!"
Tanpa sepengetahuan Cio dan Junio, diam-diam Patricia menyadap percakapan mereka. Dan begitu tahu penyebab kenapa putranya murung, tawa Patricia hampir saja pecah jika tak ingat sedang berada di kamar mandi. Rupanya syahwat putranya telah diabaikan dengan begitu sadis oleh Elil. Pantas seperti kambing yang kehilangan jenggot.
"Cio yang gila wanita dipertemukan dengan Elil yang begitu polos dan tak peka soal urusan ranjang. Wajar kalau dia frustasi. Jadi kasihan," gumam Patricia sambil terus mendengarkan percakapan anak dan suaminya. Ya kasihan, tapi lucu juga. Hahaha.
Tawa Junio masih belum berhenti sehingga membuat Cio semakin bertambah kesal. Dia salah tempat untuk bercerita.
"Ayah, tolong diamlah. Gendang telingaku seperti mau pecah rasanya,"
"Aduuhh susah, Cio. Ceritamu terlalu lucu sampai perut Ayah jadi sakit. Kok bisa sih Elil tertidur di saat situasi sudah mulai on-fire? Memangnya dia tidak tahu ya kalau kau sudah b*rahi?" tanya Junio berusaha keras untuk berhenti tertawa. Namun, sekeras apapun dia mengusahakan, tawa tersebut tak kunjung mereda. Junio geli sendiri saat membayangkan ekspresi Cio saat melihat Elil tidur. Pasti rasanya sangat luar biasa dongkol.
"Ceritaku bukan lelucon, Ayah."
"Lalu apa? Dongeng sebelum tidur, begitu?"
"Terserah Ayah mau bicara apa. Aku mau pergi saja."
"Pergi?"
Junio langsung diam. "Pergi ke mana? Ibumu bahkan belum kembali dari toilet. Mau kau kena amuk?"
"Siapa suruh Ayah begitu menjengkelkan. Sudah tahu aku sedang sekarat, bukannya memberi solusi malah menambahkan beban. Lebih baik pergi saja," rajuk Cio bersungut-sungut.
"Oke oke Ayah minta maaf. Kali ini kita serius."
Tak langsung percaya, Cio terus memasang ekspresi yang sangat masam. Makanan yang tersaji di atas meja tak mampu menggugah seleranya.
"Ajak Elil dinner. Siapa tahu cara ini bisa membuatnya sadar kalau kau butuh dia," Junio memberi saran. Tidak juga sih, tapi lebih ke mengarahkan. Jauh di lubuk hati, dia telah terketuk oleh kemurnian Elil. Ya meski pun beresiko mendapat kejut jantung setiap hari, menjadikannya menantu di keluarga Stoller tidaklah buruk.
"Ide seperti ini tidak akan berhasil, Ayah. Di mata Elil aku ini seorang pengangguran. Nanti dia malah ribut sendiri dan menuduhku yang bukan-bukan," sahut Cio kurang setuju dengan ide yang ayahnya sampaikan. Setelah itu dia mend*sah panjang sambil memijit tulang hidung. "Elil berbeda dari wanita lain. Dia tak melulu soal kemewahan. Atau malah memang tidak tahu bagaimana cara memperlakukan laki-laki dengan gelimang uang yang sangat luar biasa banyak sepertiku. Elil berbeda,"
"Lalu apa yang ingin kau lakukan? Katakan saja. Siapa tahu Ayah bisa bantu."
"Entahlah, aku juga bingung. Baru kali ini aku dibuat tak berdaya oleh orang lain. Otakku seperti mau pecah rasanya,"
"Sabar. Orang sabar disayang Tuhan."
"Jangan bawa-bawa Tuhan. Situasinya sedang tak semudah yang Ayah pikirkan. Di dekat Elil, mendadak tingkat kesabaranku naik sepuluh kali lipat. Jadi jangan dulu menyebut nama Tuhan. Oke?"
Junio mengangguk. Setelah itu dia menunduk, sedang menahan diri agar tidak tertawa kembali.
(Sial!)
***
cio bukan pengangguran 😀
tapi sayang banyak cerita yg belum selesai
Namun meski begitu aku selalu setia dgn karya2 nya....