Anzela Rasvatham bersama sang kekasih dan rekan di tempatkan di pulau Albrataz sebagai penjaga tahanan dengan mayoritas masyarakat kriminal dan penyuka segender.
Simak cerita selengkapnya, bagaimana Anz bertahan hidup dan membuktikan dirinya normal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ruang Berpikir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30_Tidak Sadarkan Diri
Laki-laki itu terkejut, mendorong dan memukul tengkuk leher Anz kasar dengan balok kayu yang dibawanya sehingga badan Anz terjatuh di atas aspal sampai tidak sadar diri. Lantas ia, laki-laki yang duduk berhadapan dengan Anz tadi, sibuk menunduk menyembunyikan wajahnya di atara lutut yang ditekuk segera mendongakan kepalanya dan memelototkan matanya "ampun," lirihnya mengatup kedua telapak tangannya cepat, tepat di depan dadanya sendiri dan kembali menunduk, takut dan badannya bergetar terlihat dari bahunya yang sedikit bergerak teratur dan pelan.
Laki-laki yang memukul Anz tadi tersenyum menatap laki-laki yang duduk di atas betisnya sendiri dan tangannya masih mengatup di depan dadanya "kau," menunjuk "ikuti aku dan seret betina itu." Laki-laki itu melakukan apa yang baru saja menjadi perintah untuknya itu.
Laki-laki itu bangun, beranjak berdiri, memegangi salah satu pergelangan kaki Anz dan menarik kaki Anz kuat, sampai tangan kecil ari laki-laki itu mengeluarkan urat hijau dan badannya yang berukir tulang rusuk dan di lapisi kulit itu di aliri keringat sehingga kulit gelapnya terlihat mengkilat.
Laki-laki itu terus melangkah, mengikuti langkah kaki laki-laki yang ada di depannya yang berjalan santai dengan menyeret balok kayu panjang di tangannya sehingga meninggalkan suara yang terdengar menyeramkan.
Sedangkan Ahmed dengan buru-buru menyembunyikan tubuhnya dibalik pohon besar tempat duduk sandarnya tadi. Pandangan mata menatap Anz yang di seret bagaikan bi na tang mati.
Ahmed merasakan ngilu melihatnya dan mendadak hatinya terasa sakit dan dengan perlahan lelehan air dari matanya menetes setetes demi setetes, namun badannya terpaku, kakinya kaku bagaikan menancap dalam di bumi dan pandangan matanya mengikuti langkah kaki laki-laki itu yang terus menyeret Anz.
"Anz, sayang," lirih, refleknya akhirnya setelah Anz menghilang di pandangan matanya, Ahmed berjalan memutari pohon dan terduduk kembali dengan lemas di tanah, tempat duduk yang ia duduki tadi.
Arah pandangan Ahmed terus menuju pada jalan di mana Anz yang di seret tadi. "Anzela," lirihnya, bangkit dan berlari menuju jalanan aspal kembali. Matanya menatap ke depan namun yang ia cari tidak di temukannya lagi.
Matahari sudah meninggi, Abi dan Albert sudah duduk tenang di depan layar komputer mereka kembali. Ketukan dari keyboard dan mouse terdengar saling beradu dan bersahutan antara Abi dan Albert. Mata mereka sama-sama saling fokus pada layar monitor komputer mereka.
Dalam kefokusan yang Albert limpahkan pada pekerjaannya malah pikirannya teralih pada Anz.
Albert menjeda segala pekerjaannya sementara, yang kemudian berdiri dari tempat duduknya dan arah pandangan matanya melihat ruangan Anz. "Kosong," lirih Albert melihat tidak ada bayangan sama sekali dalam ruangan kaca milik Anz.
Hembusan napas panjang Albert lakukan dan duduk kembali di kursi empuk miliknya itu. Albert menyandarkan kepalanya di sandaran kursi "sayang, tugas apa yang kamu lakukan! Kenapa belum pulang. Aku rindu."
Abi yang sedang fokus dalam seketika mengalihkan pandangannya pada Albert. Satu alis Abi terangkat "profesional Al."
Albert melirik sekilas Abi tanpa ada sepatah kata yang terucap dari bibirnya dan langsung bangkit duduk tegap kembali dan berusaha fokus lagi yang menjadi pekerjaannya hari ini.
Entah sudah berapa menit dan jam terlewati, Albert berusaha fokus pada pekerjaannya dan sekarang ia telah menyelesaikan pekerjaaannya walau memakan waktu lebih dari perkiraannya.
Abi duduk diam dan menunggu Albert "sudah selesai?"
Albert tersentak kaget, memegang dadanya sendiri "sudah," jawabnya akhirnya.
"Ini sudah melewati jam istirahat bahkan hampir sore. Ayok makan dulu," bangkit dan berdiri, keluar terlebih dahulu dari ruangan meninggalkan Albert yang sedang mematikan daya komputernya itu.
Sesaat kemudian Albert juga bangkit dari kursinya itu dan keluar dari ruangannya, menyusul Abi.
Pintu kaca ruangan Albert tertutup rapat kembali, baru beberapa langkah, Albert melangkah "Al," panggil Sulaiman.
Albert menatap wajah Sulaiman dengan pandangan mata datar.
"Biasa ajalah Al, lihatnya," mengalihkan pandangan matanya dari Albert "aku ingin tanya, Anz di mana ya. Rindu nih dari siang kemarin belum ketemu," celingak celinguk mencari keberadaan Anz di sisi Albert.
Albert tidak menjawab dan berlalu pergi begitu saja namun batinnya menjerit dan berkata, aku juga rindu. Aku rindu kekasihku. Aku juga rindu permata hidupku, semangatku.
Suara ketukan sepatu Albert terdengar cepat. Abi yang duduk menunggu Albert di kursi ruang tunggu yang berada tepat di samping pintu utama, ruang lobi kantor, dengan cepat mengalihkan pandangan matanya ke samping kiri dan melihat Albert yang jalan begitu cepat dan mukanya yang terlihat begitu datar.
Abi diam, tidak berkata apa-apa hanya saja ia mengangguk sekali dan bangkit berdiri lagi.
Abi dan Albert baru saja hendak membuka pintu utama kantor, pintu tersebut duluan terbuka dan suara alarm yang menggema itu kembali terdengar.
Tiga pasang mata itu saling menatap datar. Ahmed terdiam dalam segala bahasa, tidak ada sapaan yang terpancar dari bibir manis kata-katanya itu, sedangkan Abi dan Albert menatap Ahmed dengan pandangan mata datar.
"Di mana calon istriku?"
"Bersama Bratokaz!" Ucap Ahmed, menunduk menatap tiga pasang sepatu dengan warna hitam mengkilat sedangkan sepatu milki Ahmed sedikit berdebu bercampur pasir dan tanah kuning yang menempel di sana.
Abi dan Albert masih menatap Ahmed datar bahkan sekarang perlahan pandangan mata mereka mulai menajam. "Siapa dia?" Tanya Albert melangkah selangkah ke depan dan Ahmed mundur selangkah ke belakang.
"Penduduk lokal Albrataz."
Albert menaikkan sebelah alisnya menatap Ahmed semakin tajam.
"Ehm," tidak ada kata dari segala bahasa yang terucap dari mulut Ahmed, tangannya memegang dan mengusap tengkuk lehernya sendiri yang tidak gatal.
"Ada hubungan apa di antara mereka?"Tanya Albert menatap tajam Ahmed.
" Maaf," menunduk semakin dalam.
Luth keluar dari ruangannya yang terletak di lantai atas. Langkahnya berjalan santai menuruni tangga. Siulan lirih terdengar dari mulutnya. Siulan itu berhenti, kala, pendengarannya mendengar suara percakapan di bawah sana.
Langkah Luth terus berjalan mendekati sumber suara, pandangan matanya melihat Abi, Ahmed dan Albert yang berdiri menegang dan suasana mencekam. Alis Luth terangkat sebelah melihat mereka bertiga "Abi," panggilnya, menatap Abi dan melirik sekilas Albert dan Ahmed.
Abi dan Albert berdiri, membelakangi Luth, lantas mereka berdua membalikkan badannya, yang kemudian melihat berdiri menatap mereka juga.
"Iya, ndan," jawab Abi.
"Ikuti saya," melangkahkan kaki keluar kantor dan mengarahkan kaki mereka ke suatu bangunan lainnya yang masih berada dalam kawasan lapas.
Abi dan Luth keberadaan mereka telah menghilang, tertutupi tembok dan dinding bangunan rumah klasik diwarnai dengan warna terang.