Dipinang adiknya, tapi dinikahi kakaknya. Loh!! Kok bisa? Terdengar konyol, tapi hal tersebut benar-benar terjadi pada Alisya Mahira. Gadis cantik berusia 22 tahun itu harus menelan pil pahit lantaran Abimanyu ~ calon suaminya jadi pengecut dan menghilang tepat di hari pernikahan.
Sebenarnya Alisya ikhlas, terlahir sebagai yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan tidak dapat membuatnya berharap lebih. Dia yang sadar siapa dirinya menyimpulkan jika Abimanyu memang hanya bercanda. Siapa sangka, di saat Alisya pasrah, Hudzaifah yang merupakan calon kakak iparnya justru menawarkan diri untuk menggantikan Abimanyu yang mendadak pergi.
*****
"Hanya sementara dan ini demi nama baikmu juga keluargaku. Setelah Abimanyu kembali, kamu bisa pergi jika mau, Alisya." ~ Hudzaifah Malik Abraham.
Follow ig : desh_puspita
******
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 - Hudzai Tepar?
Hudzai tak menjawab, hanya sempat mengulas senyum tipis. Alisya terlalu menggemaskan untuk wanita seusianya. Bagaimana tidak? Dia yang banyak tanya, tapi telinganya seperti tidak berfungsi dengan baik, pikir Hudzai.
"Lupakan, aku cuma mau tidur," jawab Hudzai seketika membuat Alisya mengembuskan napas lega.
Salah besar jika Hudzai menduga Alisya tuli atau telinganya tidak berfungsi dengan sempurna. Jelas-jelas Alisya mendengar karena jarak mereka memang cukup dekat, pun andai dia berbisik, Alisya masih bisa memahaminya.
Hanya karena berusaha menghindar saja. Walau memang sah-sah saja, memang benar dia milik Hudzai sepenuhnya.
Akan tetapi membayangkan harus silahturahmi bibir saat ini, Alisya belum sanggup. Jangan ditanya apa alasannya, sudah bisa dipastikan karena malu dan gugup tentu saja.
Tidak ingin terjebak semakin lama, Alisya segera menarik selimut hingga ke atas dada sang suami. Walau memang Hudzai menjawab tidak apa-apa dan suhu tubuhnya terasa normal, tapi Alisya merasa jika ada yang salah.
Bibir Hudzai yang pucat juga keluhannya seolah pertanda jika dia sedang tidak baik-baik saja. "Aa' pusing ya?"
Hudzai menggeleng, dia tidak pusing, hanya merasa butuh istirahat saja. Tak ubahnya bak seseorang yang takut ketinggian baru saja turun dari wahana, begitulah perasaan Hudzai saat ini.
Sungguh dia juga bingung kenapa sampai sebegininya. Mungkin karena baru pertama kali, kesannya memang terasa berbeda dan benar kata Azkara, dibonceng pasangan adalah satu dari sekian banyak adegan berbahaya yang dapat menyebabkan trauma.
"Yakin Aa'?"
"Iya, murni cuma ingin tidur sumpah." Hudzai meyakinkan dan kali ini sejenak membuat istrinya percaya.
Tanpa perintah, Alisya menutup gorden demi menghalangi cahaya matahari yang masuk ke kamar. Sudah tentu niatnya agar sang suami nyaman dan bisa nyenyak tidurnya.
Harusnya tidak perlu, tapi mungkin karena Hudzai sempat menutup mata dengan lengannya membuat hati Alisya tergerak segera.
"A' tidurlah, Neng keluar dulu ... Aa' sendiri tidak masalah 'kan?" tanya Alisya kembali mendekati sang suami dan menyempatkan diri mengoleskan minyak angin di kening juga lehernya.
Kapan terakhir Hudzai merasakan perhatian semacam ini? Sejak masuk SMP sepertinya tidak lagi. Walau hingga kuliah masih dijuluki anak mami, tapi yang sebenarnya terjadi Hudzai sangatlah mandiri.
Tidak ada ceritanya dia merengek, sakit ditahan sendiri, jika memang benar butuh penanganan dia akan ke dokter dan Mama Syila tahunya dia baik-baik saja.
Bukan karena kurang perhatian, tapi memang Hudzai yang membuat dirinya seperti itu. Terlahir sebagai anak sulung membuatnya sangat pengertian dan tidak ingin merepotkan.
"Perutnya Neng kasih minyak juga mau ya?" tanya Alisya dan kali kedua dia tidak menolak.
Dia memang tidak ingin merepotkan, tapi jika istri yang bertanya maka lain cerita.
Alisya tidak membuka selimut, hanya menelusupkan tangannya saja dan mengoleskan minyak di perut Hudzai bermodalkan feeling semata.
"Sudah, mau Neng buatin teh hangat?"
"Tidak usah, mau tidur saja."
"Kenapa, A'?"
"Tidak suka, rasa daun," jawabnya asal dengan mata terpejam dan membuat Alisya mengerjap pelan.
Secara tidak langsung, Alisya menemukan fakta lucu tentang sang suami, tidak suka suka teh dengan alasan rasa daun.
Cukup unik, kurang lebih sama dengan Habil yang tidak suka sayuran dengan alasan rasa rumput. Tidak perlu dites DNA, sudah jelas di dalam tubuh mereka memang mengalir darah yang sama.
Darah para pria nyaris sempurna dengan berbagai hal random dari dalam diri mereka. Alisya tidak dapat menghakimi, karena memang manusia itu dilahirkan dengan keunikan masing-masing, juga sesuai porsi.
Merasa tugasnya sudah selesai, Alisya beranjak keluar dan turun demi bisa bergabung dengan yang lain karena tidak mungkin pagi-pagi berdiam diri di kamar.
"Neng di bawah, kalau butuh apa-apa panggil saja ... kemungkinan di dapur, atau kalau tidak di taman belakang sama Kak Iqlima."
Sebelum pergi dia sempat mengucapkan pesan di dekat telinga Hudzai, berharap dengan cara itu sang suami akan mendengar kata pamitnya.
Selama Alisya masih di kamar memang tidak ada reaksi yang diperlihatkan oleh Hudzai. Akan tetapi, begitu pintu tertutup kelopak mata pria itu seketika terbuka.
Menatap ke arah pintu kamar yang kini tertutup rapat. Ada kekesalan, tapi tidak bisa dia ungkapkan dan berakhir melempar bantal yang berada di dekatnya ke sembarang arah.
"Dasar perempuan!! Main keluar padahal aku belum kasih izin tuh," gerutu Hudzai di sela-sela kekesalan yang berusaha menyingkirkan rasa kantuknya.
.
.
"Kak Hudzai mana? Kok tidak ikut turun?"
"Kak Iqlima masih nanya, ya jelas tepar lah!!"
"Heum? Iya, Sya? Hudzai tepar?"
Niat hati Alisya keluar dan bergabung agar tidak menjadi bahan gosip, tapi begitu tiba Alisya sudah ditodong dengan berbagai pertanyaan dari saudara ipar juga sepupu suaminya.
"Iya, Kak, mungkin kecapekan karena tadi lumayan jauh bawa motornya," jelas Alisya sejujur mungkin dan berharap tidak akan ada kesalahpahaman.
Namun, alih-alih tidak terjadi salah paham, penjelasannya justru kian membuat mereka curiga, terlebih Haura.
Dia yang sejak dulu penasaran bahwa sang kakak normal atau tidaknya seketika menatap Alisya penuh tanya.
"Motor apa motor?"
"Heum?" Alisya menghentikan kegiatannya memotong buah untuk persiapan makan rujak bersama keluarga besar yang masih di sana.
Pertanyaan Haura dengan sedikit percikan prasangka buruk itu sukses membuat dahi Alisya berkerut seketika.
"Maksudnya?"
"Masih tanya maksudnya ... sudahlah, Kak Alisya jangan ditutup-tutupin, pakai malu lagi."
"Ih apasih?" sahut Alisya mencebikkan bibir karena mulai sebal dengan pertanyaan adik iparnya.
"Ah-ha-ha ... mukanya panik, sampe merah lagi."
"Ih, Kak Haura apasih? Jangan diledekin!! Kak Alisya-nya jadi malu!! Btw roti sobeknya Kak Hudzai gimana bentuknya, Kak? Sempurna?" tanya Ganeeta pada akhirnya kumat juga.
Sontak mereka yang di sana tergelak, sementara Alisya hanya bisa menggeleng pelan.
"Pakai ngatain, tahunya dia lebih stres!!"
"Yee sembarangan, kan kita penasaran apa salahnya ... Kak Hudzai tidak pernah pamer otot soalnya, jadi penasaran sebagus apa?"
"Baguslah, masih nanya!!" sahut Haura yang sudah pasti menjadi pembela kakaknya walau dia tidak tahu juga.
Di rumah Hudzai memang selalu menggunakan pakaian yang sopan. Walau di hadapan saudara kandung, tapi sejak Hudzai beranjak remaja rasanya Haura tidak pernah melihatnya bertelanjang dada di rumah. Berbeda dengan Abimanyu yang bahkan tidak tahu aturan dan sepede itu keluar rumah hanya dengan boxer demi memamerkan tubuh seksinya.
"Oh iya? Bagusan mana sama papaku?"
"Ehm kenapa pakai acara battle segala sih, Om Cakra kan pesonanya hot daddy ... tapi tetep, Kak Hudzai fiks!!" tegas Haura yang hampir goyah pendiriannya.
"Masa sih?"
"Iya, tanya saja sama Kak Alisya kalau tidak percaya," sahut Haura kembali melemparkan pertanyaan itu pada yang berwenang sebagai pemilik tubuh seksi Hudzai.
"Nah iya, gimana tuh kira-kira, Kak?"
"Apanya?" tanya Alisya kembali berlagak polos, padahal sejak tadi otaknya juga menerka-nerka karena belum lama dia menyentuh perut sang suami.
"Perutnya, Kak, perut!! Dari 10, kira-kira nilainya berapa?"
"100!!"
.
.
- To Be Continued -