"ABANG HATI-HATI!!!" teriak seorang anak kecil menarik tangan Arrazi yang berdiri diatas pagar jembatan. Hingga keduanya terjatuh di alas jembatan yang berbahan beton.
"Aduh!" rintih gadis kecil yang badannya tertindih oleh Arrazi yang ukuran badannya lebih besar dan berat dari badan kecilnya. Laki-laki itu langsung bangun dan membantu si gadis kecil untuk bangun.
Setelah keduanya berdiri, si gadis kecil malah mengomel.
"Jangan berdiri di sana Bang, bahaya! Abang emang mau jatuh ke sungai, terus di makan buaya? Kalo Abang mati gimana? Kasian Mami Papinya Abang, nanti mereka sedih." omel gadis kecil itu dengan khawatir.
Menghiraukan omelan gadis kecil di depannya, Arrazi menjatuhkan pantatnya di atas jembatan, lalu menangis dengan menekukan kedua kaki dan tangannya menutupi wajah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Icut Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 5 : FLEBOTOMI
Daniah memasukkan kertas film Rontgen dari pasien yang terkena penyakit jantung kedalam map berwarna biru yang sudah ia baca dan cermati. Hasilnya itu akan ia berikan kepada Arrazi.
"Halwa, gue ke ruangan Dokter Arrazi dulu ya." ujar Daniah memberitahu kepada Halwa.
Halwa yang saat ini baru saja keluar dari kamar mandi hanya mengangguk. Kemudian duduk kembali di bangku, melanjutkan pekerjaannya.
TOK! TOK! TOK! TOK!
Daniah mengetuk ruangan konsultasi Dokter Arrazi, kemudian ia membuka pintunya.
"Permisi Dok, saya mau mengantar hasil Rontgen." ucap Daniah kepada Arrazi yang saat itu sedang duduk di samping anak laki-laki berusia sekitar 8 tahun.
Arrazi menoleh dan memberikan kode kepada Daniah untuk menyimpan hasil Rontgen itu di mejanya. Daniah menuruti perintah dari kode yang di berikan Arrazi. Ia menyimpan hasil Rontgen di mejanya.
Saat Daniah hendak pergi, tangannya di tahan oleh anak laki-laki itu. Daniah menoleh, anak laki-laki menampilkan wajah memelas, bibirnya melengkung ke bawah dab matanya berkaca-kaca.
Daniah menautkan alisnya, heran. Ada apa dengan anak kecil ini. Daniah menoleh ke arah Arrazi. Arrazi hanya menggerakkan kepalanya, menunjukkan peralatan untuk melakukan flebotomi atau pengambilan darah.
Paham dengan maksud Arrazi dan ekspresi wajah anak laki-laki itu, Daniah langsung duduk bersimpuh di depan anak laki-laki itu dengan kedua tangan Daniah menggenggam tangan mungilnya.
Daniah mengelus tangan anak laki-laki itu.
"Abang namanya siapa?" tanya Daniah.
"Ehsan."
"Nama Kakak, Daniah. Ehsan bisa panggil Kakak, Kak Nia." ujar Daniah memperkenalkan diri.
"Kak Nia." ucap Ehsan memanggil Daniah.
"Siiip. Tos dulu dong." ujar Daniah mengangkat tangannya dengan telapak tangan menghadap Ehsan. Ehsan menyambut dengan tepukan tangannya di tangan Daniah.
Sedangkan Arrazi bersedekap tangan, menonton drama pendek antara Daniah dengan pasien kecilnya. Entah apa yang akan dilakukan gadis itu.
"Abang Ehsan sakit?" tanya Daniah memanggil Ehsan dengan sebutan 'ABANG'. Ehsan mengangguk. Sepertinya Ehsan nyaman di panggil Abang oleh Daniah.
"Sakit apa, Bang?"
"Pusing."
"Pusing? Ya, kalau gitu sama dong, Kak Nia juga lagi pusing nih."
"Kak Nia sakit juga?"
Daniah mengangguk.
"Iya, pusing di bawah tekanan dan rodi...." ujar Daniah dengan penekanan diakhir kata.
Ia sempat menoleh sebentar ke arah Arrazi. Laki-laki berhidung mancung itu menatap tajam ke arah Daniah, merasa tersindir olehnya.
"Kakak pusing rodi?" tanya Ehsan dengan polosnya, ia kira rodi adalah nama lain sakit pusing.
"Iya. Kalo Abang pusing kenapa?"
Ehsan menggeleng.
"Abang nggak tau? Hmmm, Kak Nia penasaran, pusing Abang itu namanya apa........" Daniah mengetuk pelipisnya dengan telunjuk sambil menatap langit-langit ruangan, Ehsan terdiam. Ia bingung menjawab apa, karena memang yang dia rasakan hana pusing saja.
Apakah pusing ada nama yang lainnya juga? Arrazi masih menunggu ending drama yang dimainkan Daniah dengan sabar.
"Boleh Kak Nia bantu cari tau nggak Bang, nama pusingnya Abang itu apa?"
Ehsan mengangguk.
"Tapi boleh ya, Kak Nia minta darahnya Abang. Janji nggak banyak-banyak. Sedikit aja. Biar tau nama pusingnya Abang apa. Boleh ya." Daniah mulai membujuk.
"......"
Ehsan terdiam. Entah apa yang di pikirkan bocah itu. Sepertinya Ehsan tipe anak yang pendiam, tidak banyak bicara. Kebanyakan ia diam, mengangguk dan menggelengkan kepalanya.
"Janji nggak sakit dan nggak banyak-banyak mintanya. Nanti kalau Abang udah kasih sedikit darahnya, Kak Nia kasih hadiah. Abang mau hadiah nggak?"
Ehsan mengangguk dan baru tersenyum. Sepertinya memang mesti i sogok dulu bocah ini.
"Kak Nia pinjem tangan Abang dulu ya. Sebentar aja." ujar Daniah mengulurkan tangannya, meminta tangan Ehsan. Tak perlu menunggu lama, karena Ehsan langsung mengulurkan tangannya. Daniah memberi kode kepada Arrazi agar langsung melakukan pengambilan darah dari tangan Ehsan.
Daniah memeluk badan Ehsan dan mengalihkan kepala Ehsan ke arah lain agar ia tidak melihat proses pengambilan darah.
"Nggak papa Bang. Suntikannya kecil kok, nggak akan sakit juga. Kan Abang udah gede harus berani dong. Semangat. Abang hebat, Abang kuat! Don't worry, Abang." seru Daniah menyemangati Ehsan. Ehsan mengangguk, namun wajahnya masih terlihat ragu-ragu.
Mendengar ucapan Daniah, Arrazi langsung menatap lekat kearahnya. Kalimat penyemangat yang di sampaikan Daniah kepada Ehsan membuat Arrazi teringat kepada malaikat kecilnya.
Kalimatnya sama persis dengan yang di ucapkan gadis kecil itu kepada Arrazi, 17 tahun yang lalu.
"Sssttt....Dokter." panggil Daniah membuyarkan lamunan Arrazi.
Arrazi menoleh ke arah Daniah, gadis itu memberi kode agar Arrazi segera mengambil darah Ehsan. Arrazi segera melakukan tugasnya. Arrazi meletakkan lengan Ehsan di atas meja dengan alas yang empuk. Lalu ia mengikuti tali pembendung atau tourniquet pada 7 cm diatas lipatan siku Ehsan.
Setelah terikat, Arrazi meminta Ehsan untuk mengepalkan tangannya selama 15 detik untuk memperbesar pembuluh darah dan membuatnya tampak menonjol. Lalu ia meraba area lipatan siku Ehsan untuk mencari pembuluh darah yang besar.
Setelah dapat, Arrazi membersihkan area pengambilan darah dengan alkohol swab dan menusukkan jarum ke dalam vena. Terdengar oleh Daniah. Ehsan meringis. Daniah akan segera mengelus bahu Ehsan, menenangkannya.
Setelah pengambilan darah selesai, Arrazi melepaskan tali pembendung sebelum mengeluaran jarum, lalu menutup bekas suntikan dengan alkohol swab dan meminta bantuan Daniah untuk menekannya selama beberapa menit sampai pendarahan berhenti.
"Sudah selesai Bang." seru Daniah setelah bekas pengambilan darah di tangan Ehsan di tutup dengan kapas dan plester. Ia melepaskan pelukannya dari Ehsan.
"Gimana Bang, nggak sakit an?" tanya Daniah. Ehsan menggeleng pelan. Padahal sakit, tapi tidak sesakit yang di bayangkan bocah berusia 8 tahun itu.
"Syukurlah. Kan, apa Kak Nia, Abang tuh kuat, hebat." puji Daniah sambil merapikan poni rambut Ehsan yang menutupi matanya.
"Arrazi memperhatikan interaksi antara keduanya. Ada seulas senyuman tipis di bibirnya.
"EHSAN!" seru seorang dari luar, bersamaa dengan terbukanya pintu ruangan. Seorang laki-laki masuk langsung dan menghampiri Ehsan. Daniah bergeser posisi menjadi di belakang Ehsan.
"Zi, lo belum ambil darah Adek gue kan?" tanya Dhafir, laki-laki yang baru masuk itu, ia mengkhawatirkan Adiknya.
Dhafir sepertinya dari kantor, karena masih dengan mengenakan pakaian formal, khas orang kantoran. Ia mengenakan jas hitam dan celana hitam dengan baju kemeja warna putih juga berdasi.
"Lo liat aja sendiri." jawab Arrazi dengan ketus. Daniah mengerutkan keningnya mendengar jawaban ketus dari Arrazi terhadap keluarga pasien yang di tanganinya.
Namun kerutan di keningnya kembali mulus, karena paham. Sepertinya Arrazi dengan keluarga pasien memiliki hubungan dekat. Bahasa komunikasi mereka sajatidak formal, layaknya seorang Dokter dan keluarga pasien. Lebih ke komunikasi antara teman.
"Zi, kamu........" Dhafir menggantung kalimatnya saat melihat di tangan Ehsan ada kapas yang menempel dan kapas itu sudah ada noda darahnya.
"Eh kupret! Lo maksa Adek gue buat ambil darahnya?" tanya Dhafir dengan emosi, terlihat ada kekhawatiran dari wajah tampannya.
"Tanya sendiri sama anaknya, gue paksa dia nggak!" ujar Arrazi malah terkesan acuh menjawab pertanyaan Dhafir yang sedang emosi, sambil merapikan alat bekas pengambilan darah tadi dan menyimpan darah Ehsan yang sudah di ambilnya di tempat yang berbeda.
"Ehsan, kamu dipaksa sama Bang Razi?" tanya Dhafir kepada Adiknya. Ehsan terdiam. Melihat diamnya Ehsan, Daniah membuka suara, karena dialah alasan yang menyebabkab Ehsan mau diambil darahnya.
"Maaf Mas, saya yang bujuk Ehsan untuk diambil darahnya, tenang kok Mas, tidak ada pemaksaan." ujar Daniah dengan ramah.
Atensi Dhafir kini Daniah. Gadis itu tersenyum kikuk saat mata Dhafir menatap kearahnya. Lalu sepasang alis Dhafir menukik.
"Kok bisa Ehsan mau tanpa pemaksaan?" tanya Dhafir seolah tak percaya dengan apa yang di katakan Daniah. Karena setahu dirinya, Ehsan akan tantrum saat berhadapan dengan suntikan. Apalagi ini diambil darahnya.
"Fir, apa susahnya sih lo percaya. Lagian emang udah selesai kok pengambilan darahnya tanpa ada pemaksaan. Buktinya Ehsan baik-baik aja, nggak ada cedera dia. Malahan tenang aja tuh anaknya." ujar Arrazi, menegaskan.
Pandangan mata memindai Adiknya, ia memperhatikan badan Ehsan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Daniah menatap kearah Arrazi. Kalimat yang di ucapkan Arrazi sepertinya kalimat terpanjang yang di dengar selama koas, diluar penyampaian materi dari Arrazi.
Tatapan mata Daniah segera beralih ke lantai ruangan, karena yang di tatapnya menatap balik dengan tatapan tajam. Mendengar penuturan Arrazi, Dhafir memperhatikan Adiknya. Ehsan memang terlihat tenang dan baik-baik saja.
"Terimakasih juga lo sama Daniah, dia yang bisa bikin Adek lo mau dan tenang waktu diambil darahnya." lanjut Arrazi.
Dhafir kembali menoleh ke arah Daniah, kali ini ia menatap dengan hangat, di tambah senyuman manisnya, sampai terlihat bulatan kedua pipi kanan dan kirinya. Dhafir memiliki lesung pipi yang menambah manis senyumannnya.
Yang tadinya kikuk, kali ini Daniah dibuat salting olehnya.
"Thanks, Daniah udah bantu Ehsan. *And, I'm sorry for prejudice against you*." ujar Dhafir merasa tidak enak kepada Daniah.
"Y........yes, no problem, mister."
"Kapan-kapan saya traktir kamu makan. Dan nggak ada penolakan. Oke!" ujar Dhafir malah dia yang memaksa agar Daniah mau. Daniah hanya menganggukkan kepalanya.
Sedangkan Arrazi berdecih. Ia tahu modus yang terselubung didalam ajakan Dhafir untuk mentraktir Daniah makan. Sedangkan Ehsan, bocah itu hanya penonton yang pasif. Tak ada sedikitpun suara yang ia keluarkan.
"Zi, gue cabut dulu mau bawa Ehsan ke Mami. Nanti hasilnya lo kabarin gue ya."
"Sejam lagi lo harus balik lagi. Ehsan mesti di tangani....."
"Iye."
"Sekali lagi terimakasih Daniah. Ingat, jangan lupa janji kita." ujar Dhafir beralih ke Daniah setelah berbicara dengan Arrazi.
Lagi-lagi Daniah dibuat salting oleh Dhafir. Ia tak menyadari ada semburat rona merah muncul di pipi chubbynya. Disebabkan penggunan kata yang Dhafir gunakan barusan yaitu 'JANJI KITA'. Seolah mereka sudah memeliki hubungan spesial.
Arrazi melihat perubahan wajah Danial, ia berdecih kecil. Mudah sekali buaya jadi-jadian bernama Dhafir itu mencari mangsa dan membuat si mangsa langsung klepek-klepek.
"Yuk San, ke Mami." ajak Dhafir meraih tangan Adiknya dengan lembut, lalu menggenggamnya, kemudian kedua Adik Kakak itu pergi.
"Nggak usah kegeeran kamu. Dia cuma modus." cibir Arrazi melihat Daniah yang masih memandangi pintu yang sudah beberapa detik lalu di tutup oleh Dhafir.
Tersadar oleh cibiran Arrazi, Daniah malah ngenyir dan menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal. Sepertinya Arrazi tidak mengizinkan Daniah untuk senang barang sebentar pun.
"Bawa darah ini ke lab. Terus cek. Setelah dapat hasilnya kasih tau saya." perintah Arrazi yang saat ini sudah duduk di kursinya dan menunjukkan tabung kecil berisi darah Ehsan.
"Baik Dokter."
Daniah mengambil tabung kecil itu.
"Ini hasil Rontgen siapa?" tanya Arrazi sambil membuka map biru berisi hasil Rontgen yang di bawa Daniah.
"Pak Faruq, Dokter. Pasien edelweis nomor lima."
"Saya ngga naya kamarnya." ketus Arrazi.
Daniah menggigit bibir bawahnya. Kalau bukan Dokter seniornya, Daniah sudah pasti akan sumpal mulutnya itu dengan cabai supaya Arrazi tahu kalau setiap apa yang di ucapkannya selalu pedas.
"M......maaf Dokter." cicit Daniah.
Arrazi mengabaikan permintaan maaf dari Daniah. Ia fokus memeriksa hasil Rontgen.
"Mau sampai kapan kamu disitu?" tanya Arrazi dengan ketus, melihat dengan ekor matanya, Daniah berdiam diri di tempatnya.
"Hah?"
"Keluar!" usir Arrazi.
Daniah gelagapan mendapat pengusiran dari Arrazi, karena ia pikir Arrazi masih mau mengatakan sesuatu kepada dirinya. Makanya Daniah masih diam di tempatnya.
"Ba.....baik Dokter."
Daniah segera berjalan menuju pintu, ia pun tidak ingin lama-lama berada di ruangan ini, apalagi dengan Arrazi yang garangnya minta ampun.
"Tunggu." ucap Arrazi menghentikan langkah Daniah. Sebelum berbalik badan Daniah memejamkan mata, lalu menghela nafas pelan.
"Ada yang bisa bantu, Dokter?" tanya Daniah, sebisa mungkin ia bersiap ramah menghadapi orang yang baru saja mengusirnya dari ruangan dan kali ini malah memintanya untuk kembali menunggu.
"Untuk hari minggu ini kamu libur." ucap Arrazi datar.
Bibir Daniah melengkung lebar. Ia tersenyum mendengarnya. Ah, akhrinya bisa bernafas lega di hari minggu.
"Cengar-cengir. Nggak ada yang lucu!" ketus Arrazi membuat senyuman di bibir Daniah pudar.
"Ah, elah nih orang nggak bisa apa ya ngeliat orang lain bahagia sebentar doang!" gerutu Daniah.
"Nggak usah ngegerutu, saya dengar." ucap Arrazi tanpa menoleh kearahnya.
"Saya permisi Dokter." ujar Daniah, lalu keluar dari ruangan Arrazi.
"Andaikan RS ini punya gue, udah gue tendang tuh makhluk!" rutuk Daniah menatap nama Arrazi tertera di pintu.
ha..ha...ha