cerita sampingan "Beginning and End", cerita dimulai dengan Kei dan Reina, pasangan berusia 19 tahun, yang menghabiskan waktu bersama di taman Grenery. Taman ini dipenuhi dengan pepohonan hijau dan bunga-bunga berwarna cerah, menciptakan suasana yang tenang namun penuh harapan. Momen ini sangat berarti bagi Kei, karena Reina baru saja menerima kabar bahwa dia akan pindah ke Osaka, jauh dari tempat mereka tinggal.
Saat mereka duduk di bangku taman, menikmati keindahan alam dan mengingat kenangan-kenangan indah yang telah mereka bagi, suasana tiba-tiba berubah. Pandangan mereka menjadi gelap, dan mereka dikelilingi oleh cahaya misterius berwarna ungu dan emas. Cahaya ini tampak hidup dan berbicara, membawa pesan yang tidak hanya akan mengubah hidup Kei dan Reina, tetapi juga menguji ikatan persahabatan mereka.
Pesan dari cahaya tersebut mungkin berkisar pada tema perubahan, perpisahan, dan harapan...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 : Kei pura-pura tidur.
Api unggun berkobar di tengah rumah kayu sederhana, menerangi wajah-wajah yang lelah namun hangat. Embun malam menempel di dinding kayu, sementara angin berdesir lembut di luar, membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering. Bulan purnama menyembul dari balik awan, menebar cahaya keperakan yang menerobos celah-celah kayu, menciptakan bayangan yang menari-nari di dinding. Kei, tertidur lemas di saat Lu Bu mengangkat tubuh nya, tubuhnya masih gemetar sisa pertarungan sengit melawan wujud iblisnya. Wajahnya datar, otot-otot rahangnya menegang sedikit, napasnya teratur namun ada ketegangan di bahunya; malas dan jengkel bercampur aduk dalam dirinya. Ia ingin beristirahat, namun situasi memaksanya untuk pura-pura tidur.
"Nak Reina… duduklah dan pangku kepala Kei…" suara Lu Bu berat, terbebani kelelahan dan keprihatinan. Wajahnya, biasanya tegar bak batu karang, kini tampak lelah, garis-garis keriput di dahinya semakin dalam. Ia meletakkan Kei dengan hati-hati di lantai tanah yang sedikit berdebu.
Reina, dengan lembut, memangku kepala Kei di pahanya. Sentuhannya penuh kasih sayang, jari-jarinya mengelus rambut Kei dengan gerakan menenangkan. Cahaya api unggun memantul di matanya yang berkaca-kaca, menunjukkan kelembutan yang tak pernah terlihat sebelumnya. Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir ketakutan yang masih membayangi hatinya. Kei merasakan sedikit kenyamanan dan kehangatan, ketegangan di bahunya mereda, senyum tipis hampir tak terlihat di sudut bibirnya. Ia menikmati sentuhan lembut Reina, namun tetap berusaha menahan diri.
Hanna duduk di samping Reina, senyumnya manis namun sedikit getir. "Reina… aku sangat senang sekali melihat kebersamaan kalian berdua lagi..." tanyanya, suaranya lembut namun tersirat rasa rindu yang mendalam. Kerinduan selama tiga tahun telah terobati, namun ada rasa lain yang mulai muncul. Kei merasa kesal, ingin segera bangun dan menghentikan obrolan yang menurutnya terlalu ribut. Matanya sedikit terbuka, memandang ke arah api unggun dengan tatapan kosong, namun sebenarnya ia sedang mendengarkan pembicaraan mereka. Napasnya menjadi sedikit lebih cepat.
Reina terkekeh kecil, wajahnya memerah. "Mwehehe… sebenarnya… kamu jangan marah ya…" Ia tampak gugup, kepolosannya terpancar jelas.
"Ada apa, Reina?" Hanna bertanya, rasa ingin tahunya membuncah.
"Itu… aku selama bertahun-tahun, tidur sekamar dengan Kei, di dunia ini… hehe…" Reina menggaruk kepalanya, wajahnya polos, namun tindakannya itu membuat Hanna mengerutkan kening.
"Reina!! Kalian belum menikah, loh! Kenapa kamu pakai acara tidur sekamar sih?!" Hanna mencubit telinga Reina, suaranya tegas, menunjukkan kedewasaan dan kekhawatirannya sebagai seorang sahabat.
"Aduh… aduh… Hanna… sakit…" Reina meringis kesakitan, namun senyumnya tetap terlihat.
Lu Lingqi, mengamati interaksi Hanna dan Reina, berjalan mendekat dan duduk di samping mereka. "Hai… Reina, Hanna… kalian begitu asyik ya… aku juga ikut senang, melihat kalian berempat bisa berkumpul bersama lagi…" Suaranya lembut, namun tersirat ketegasan yang khas dari seorang putri Lu Bu.
Hanna, terpesona oleh kecantikan Lu Lingqi, berkata, "Makasih ya… ngomong-ngomong, namamu siapa? Kamu sangat cantik sekali!"
Pipi Lu Lingqi memerah. "N… namaku Lu Lingqi, salam kenal…" Ia menjulurkan tangannya, kelembutannya menyembunyikan kekuatan batin yang terpendam. "Kamu… juga sangat cantik, apalagi Reina… sepertinya wajah-wajah gadis dan wanita di masa depan sangat cantik ya…" Senyum kecilnya terkembang, menunjukkan sisi lembutnya.
Reina merangkul Lu Lingqi dan Hanna, kehangatan persahabatan terpancar dari pelukan itu. "He… aku nggak tahu juga sih… tapi ya sudahlah… pokoknya kita bertiga yang paling cantik di dunia ini!" Ketiganya tertawa lepas, menciptakan suasana yang penuh keceriaan di tengah malam yang sunyi.
Kei, pura-pura tIdur, mulutnya terkadang terbuka sedikit, matanya sesekali melirik. Saat Kenzi menyebutnya "si kulkas" dan membahas kelemahannya, pipinya memerah sedikit, walaupun tertutup bayangan. Ia merasa malu, kesal, dan sedikit tersentuh. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan keinginan untuk membantah. Campuran emosi ini begitu kuat.
"Kau yakin dia tidur, Kenzi?" tanya Lu Bu, alisnya berkerut. Tatapannya tajam, menunjukkan kewaspadaannya.
Kenzi menyeringai, suaranya berat dan sedikit seram. "Biar saja dia… si kulkas itu juga punya kelemahan juga… dia sangat manja kepada Reina. Mungkin saja… di dunia ini mereka berdua tidak memiliki waktu untuk bermesraan… makanya dia kebelet dimanjakan oleh si Pink…" Ia menatap Kei dengan tatapan penuh arti. Ketika Lu Bu berkomentar tentang sikapnya yang berubah-ubah, Kei merasakan rasa bersalah yang dalam. Matanya terpejam rapat, namun air mata hampir menetes. Ia merasakan beban yang berat di dadanya.
Lu Bu menghela napas. "Huh… dasar memiliki sikap berubah-ubah…"
Kenzi hanya diam, pikirannya melayang. "Padahal dia sendiri juga begitu, tapi mengapa Kei dan Reina malah bekerja sama dengan mereka berempat… padahal mereka adalah musuh…" Ia memikirkan kompleksitas hubungan dan pertempuran yang telah mereka lalui. Api unggun masih berkobar, menerangi wajah-wajah yang menyimpan beragam emosi di malam yang penuh misteri itu.