"Angin dari Gunung Kendan" adalah kisah epik tentang Rangga Wisesa, seorang pemuda yang hidup sederhana di Desa Ciwaruga tetapi menyimpan dendam atas kehancuran keluarganya. Sebuah prasasti kuno di Gunung Kendan mengubah hidupnya, mempertemukannya dengan rahasia ilmu silat legendaris bernama Tapak Angin Kendan. Dalam perjalanannya, Rangga menghadapi dilema moral: menggunakan kekuatan itu untuk balas dendam atau menjadi penjaga harmoni dunia persilatan. Dengan latar penuh keindahan budaya Sunda dan dunia persilatan yang keras, cerita ini mengisahkan pertarungan fisik, spiritual, dan batin di tengah konflik yang memperebutkan kekuasaan ilmu sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak di Antara Batu Part.2 (Lanjutan)
Lorong sempit itu semakin terasa menyesakkan. Dinding-dinding batu yang menjulang tinggi di kedua sisi mereka dipenuhi lumut yang licin, dan udara di sana lebih dingin, membuat napas Larasati terlihat seperti kabut kecil setiap kali ia menghela. Langkah kaki mereka menciptakan suara berirama yang anehnya terdengar lebih keras dari sebelumnya, seolah-olah suara itu dipantulkan kembali oleh dinding, menciptakan gema samar.
“Rangga,” Larasati memecah kesunyian dengan suara berbisik, “kenapa jejak darah ini semakin banyak? Apa mungkin orang ini masih ada di depan kita?”
Rangga tidak menjawab. Ia fokus pada jejak di depan, matanya memperhatikan setiap tetes darah yang tampak membentuk jalur aneh, tidak langsung lurus, tetapi seperti sengaja mengarahkan mereka ke suatu tempat. Keningnya berkerut, mencoba mencari pola yang mungkin tersembunyi.
“Kamu tidak takut ini jebakan?” tanya Larasati lagi, kali ini dengan nada lebih cemas.
“Bukan soal takut,” jawab Rangga pelan, tanpa menoleh. “Tapi kalau ini jebakan, kita harus tahu apa yang sedang mereka rencanakan. Kita tidak bisa membiarkan mereka unggul.”
Larasati mendesah, lalu memperhatikan dinding di sebelahnya. Tangannya perlahan menyentuh permukaannya yang kasar. Ada sesuatu yang aneh pada dinding itu—seperti aliran udara yang tipis, keluar dari celah kecil yang nyaris tak terlihat. Ia menoleh ke Rangga. “Kamu merasakannya?” tanyanya, menunjuk dinding itu.
Rangga berhenti, mendekat untuk memeriksa. Ia merapatkan telapak tangannya pada dinding, dan benar saja, ada angin yang keluar dari celah-celah sempit. Rasanya dingin, lebih dingin dari udara di sekitar mereka, seperti mengandung sesuatu yang asing. “Ini bukan angin biasa,” gumamnya. “Seperti berasal dari dalam gua yang lebih dalam.”
“Kita harus hati-hati,” Larasati memperingatkan. “Angin ini... rasanya tidak alami.”
Rangga mengangguk. Mereka melanjutkan langkah, kali ini lebih perlahan. Jejak darah semakin banyak, bercampur dengan noda yang tampaknya seperti bekas seretan kaki. Tapi yang paling mengganggu adalah simbol-simbol yang mulai tampak di sepanjang dinding. Ukiran-ukiran kuno yang hampir tertutup lumut, membentuk pola spiral dan garis-garis yang menyerupai tulisan tak dikenal.
Larasati menunjuk salah satu ukiran, yang terlihat lebih jelas daripada yang lainnya. “Ini seperti simbol di prasasti yang kita temukan sebelumnya,” katanya dengan nada penuh kewaspadaan. “Tapi ada perbedaan. Lihat garis ini—” ia menunjuk sebuah lengkungan tajam yang melintasi simbol itu. “Seperti... peringatan.”
“Peringatan untuk apa?” Rangga bertanya, meskipun ia sendiri merasa jawabannya mungkin sudah jelas.
Belum sempat Larasati menjawab, suara gemuruh kecil terdengar dari arah depan. “Gruduk... gruduk...” seperti sesuatu yang berat sedang bergerak. Mereka saling menatap, lalu tanpa berkata-kata, Rangga memberi isyarat agar Larasati tetap berada di belakangnya.
Langkah mereka kini semakin sunyi, berhati-hati agar tidak membuat suara yang dapat menarik perhatian. Ketika lorong itu akhirnya melebar, mereka tiba di sebuah ruangan kecil yang dikelilingi oleh dinding batu. Di tengah ruangan, terdapat altar rendah dengan patung batu kecil di atasnya. Patung itu menggambarkan seorang pendekar yang sedang duduk bersila, matanya tertutup, dengan tangan membentuk posisi meditasi. Namun, yang paling mencolok adalah noda darah yang menutupi kaki patung itu.
“Apa-apaan ini?” bisik Larasati, tubuhnya menegang saat melihat pemandangan itu.
Rangga mendekat dengan perlahan, matanya tidak lepas dari altar itu. Noda darah tampak mengalir dari patung, menetes ke lantai batu, dan membentuk pola lingkaran aneh di sekitarnya. Ia berhenti beberapa langkah dari altar, instingnya memperingatkan bahwa ada sesuatu yang salah.
“Ini jebakan,” katanya akhirnya, suaranya rendah tetapi penuh keyakinan. “Darah ini tidak mungkin berasal dari orang yang terluka. Ini seperti... diatur untuk memancing kita ke sini.”
“Jadi kita harus pergi?” Larasati bertanya dengan gugup, melangkah mundur.
“Tunggu,” Rangga menjawab, menahan tangan Larasati. “Kalau mereka ingin menjebak kita, itu berarti ada sesuatu di sini yang penting. Sesuatu yang mereka coba lindungi atau sembunyikan.”
Ia memeriksa sekeliling ruangan, mencari petunjuk. Ukiran di dinding menjadi lebih rumit, dan salah satu di antaranya tampak bercahaya samar. Ia mendekat untuk melihat lebih dekat, dan saat jarinya menyentuh permukaan ukiran itu, sebuah suara terdengar dari dalam ruangan.
“Wahai pencari jalan, siapa yang berani melangkah tanpa hati yang murni?” Suara itu berat, bergema di seluruh ruangan seperti angin yang berbisik melalui celah-celah gua.
Larasati tersentak, langkah mundurnya semakin jauh. “Rangga, apa itu?” bisiknya, matanya membelalak.
Rangga tidak menjawab. Ia tetap berdiri di tempatnya, menatap patung di tengah ruangan yang kini tampak lebih hidup. Mata patung itu terbuka perlahan, mengeluarkan cahaya merah samar yang membuat suasana menjadi semakin menakutkan.
“Kenapa kalian datang ke sini?” Suara itu bergema lagi, kali ini lebih keras, seolah menuntut jawaban.
“Kami hanya melewati jalan ini,” Rangga menjawab dengan suara yang tegas, meskipun ia merasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat. “Kami tidak berniat melanggar apa pun.”
“Tidak berniat melanggar,” suara itu menirukan kata-katanya, tetapi dengan nada yang terdengar mencemooh. “Namun kalian telah melangkah ke wilayah yang dilindungi. Hanya mereka yang memiliki hati sejati yang boleh melewati tempat ini.”
Larasati memegang tangan Rangga dengan erat, jari-jarinya gemetar. “Rangga, kita harus pergi,” desaknya. “Ini bukan tempat kita.”
Rangga menoleh padanya, dan untuk sesaat ia merasa tergoda untuk mengikuti saran Larasati. Tetapi tatapannya kembali ke altar, dan ia merasa ada sesuatu di sana yang memanggilnya, sebuah dorongan kuat yang tidak bisa ia abaikan.
“Aku tidak bisa,” katanya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. “Aku harus tahu apa yang mereka sembunyikan.”
“Kalau begitu, buktikan dirimu,” suara itu bergema lagi. “Tunjukkan bahwa kau tidak datang dengan hati yang dipenuhi ambisi atau kebencian. Tunjukkan bahwa kau pantas melangkah lebih jauh.”
Sebelum Rangga sempat menjawab, lantai ruangan bergetar. Dari dinding, muncul ukiran-ukiran baru yang bercahaya terang, membentuk lingkaran di sekeliling mereka. Ruangan itu kini dipenuhi dengan energi yang terasa menekan, seperti kekuatan tak terlihat yang menguji mereka.
“Rangga, ini tidak baik,” Larasati berbisik, memegang lengannya lebih erat. “Kita harus keluar dari sini sebelum terlambat.”
Tapi Rangga tetap diam. Ia menutup matanya, mencoba merasakan aliran angin di sekitarnya. Dalam keheningan itu, ia mendengar sesuatu—suara lembut seperti bisikan angin yang memberinya petunjuk.
“Dengarkan, Rangga,” suara itu berkata. “Dengarkan aliran angin. Biarkan hatimu membimbingmu.”
Dengan napas yang dalam, Rangga membuka matanya. Ia tahu bahwa ujian ini bukan tentang kekuatan fisik, tetapi tentang keberanian untuk mempercayai dirinya sendiri. Ia melangkah maju, menuju altar, sementara Larasati hanya bisa memandangnya dengan campuran ketakutan dan kekaguman. Apa pun yang akan terjadi selanjutnya, Rangga tahu bahwa ia tidak boleh mundur.
tdk semua ngerti bahasa daerah lainnya