Aluna Aurelia Pradipta memimpikan keindahan dalam rumah tangga ketika menikah dengan Hariz Devandra, laki-laki yang amat ia cintai dan mencintainya. Nyatanya keindahan itu hanyalah sebuah asa saat keluarga Hariz campur tangan dengan kehidupan rumah tangganya.
Mampukan Aluna bertahan atau memilih untuk pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon echa wartuti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekacauan Aluna
Aluna melangkah ke luar rumah sembari menyeret kopernya. Sesekali juga Aluna mengusap air matanya menggunakan punggung tangannya.
"Aluna, kamu ke mana?" tanya Elgar.
Aluna berhenti melangkah sebab Elgar ada di hadapannya. Keduanya bertemu ketika Elgar akan masuk ke dalam rumah.
"Aluna …," panggil Elgar lirih.
"Aku mau pergi. Aku butuh ketenangan. Aku merasa sesak di sini." Aluna menjawab dengan menahan air matanya.
"Tapi kamu mau ke mana? Ini sudah malam?" tanya Elgar.
"Ke manapun," jawab Aluna.
"Aku temani," tawar Elgar.
"Aku butuh sendiri," tolak Aluna.
Aluna menoleh ke arah lain ingin menyembunyikan air matanya. Namun tidak bisa, air matanya tidak mau untuk tetap bertahan di matanya. Aluna sudah berusaha untuk menghapusnya, tetapi tidak bisa. Cairan bening itu terus menetes.
Elgar iba melihat keadaan Aluna. Perempuan di hadapannya nampak kacau, putus asa, dan kosong.
Jika saja Elgar tidak mengingat saat itu mereka ada di rumah dan ada banyak penghuni lain mungkin saat itu juga Elgar akan merengkuh Aluna membawa perempuan itu ke dalam pelukannya.
"Mana mungkin aku membiarkan kamu pergi sendiri dalam keadaan seperti ini," bujuk Elgar. "Aku juga ingin bicara denganmu. Mengenai Camelia," ucap Elgar lirih agar hanya dirinya dan Aluna saja yang mendengarnya.
"Baiklah, ayo." Aluna kembali menarik napas, mengusap air matanya berusaha untuk mengendalikan emosinya.
"Berikan padaku." Elgar mengambil alih koper yang ada di tangan Aluna.
Aluna keluar lebih dulu disusul oleh Elgar. Beberapa meter dari pintu garasi Elgar membuka kunci mobil ia berjalan ke belakang mobil untuk membuka bagasi. Ia meletakkan koper milik Aluna di sana, sedangkan Aluna sudah lebih dulu masuk dan duduk di dalam mobil tepatnya di bangku penumpang belakang.
Elgar menutup bagasi mobil lantas berjalan ke samping mobil. Ia masuk dan duduk di bangku kemudi.
"Aluna, tunggu!"
Elgar yang akan menyalakan mesin mobil menundanya saat mendengar suara Hariz. Mata elangnya menangkap sosok Hariz berlari ke mobil itu.
"Aluna …." Elgar menoleh ke arah Aluna. Namun bosnya itu menoleh ke arah lain, menolak untuk melihat ke arah suaminya.
"Jalan, Elgar! Jangan pedulikan dia!" perintah Aluna.
"Baiklah." Elgar memasukkan kunci ke tempatnya, memutarnya dan mesin mobil pun menyala. Elgar lantas melajukan mobilnya meninggalkan rumah itu tanpa memperdulikan Hariz yang mengetuk-ngetuk kaca mobil itu.
Beberapa saat kemudian mobil itu sampai ke jalan raya bergabung dengan banyak kendaraan. Situasi jalan sangatlah padat, dibutuhkan kesabaran dan konsetrasi ekstra untuk melewati kemacetan itu.
Fokus Elgar kali ini terpecah. Dirinya bukan hanya harus memerhatikan jalanan, tetapi memerhatikan kondisi Aluna. Bisa terlihat dengan jelas olehnya, Aluna sedang duduk bersandar sambil memeluk bantal kecil. Pandangannya terus menatap ke luar mobil ditemani oleh air matanya. Kosong, itulah yang terlihat di sorot mata Aluna, tetapi wajahnya menunjukkan ada beban berat yang sedang ia pikul.
Elgar ingin bicara, tetapi laki-laki itu menahannya. Ia berpikir Aluna butuh waktu untuk sendiri. Elgar pun hanya mampu menahan keinginannya itu dan hanya memerhatikan Aluna dari kaca spion yang ada di tengah mobil itu.
Sudah sekitar empat puluh lima menit mereka terjebak oleh kemacetan. Situasi di luar dan di dalam mobil masih sama. Semenjak keluar dari rumah perjalanan mereka diisi oleh keheningan. Elgar mulai tidak bisa menahan diri lagi. Dilihatnya Aluna sudah mulai tenang. Elgar pun berinisiatif memulai obrolan.
"Kita mau ke mana, Aluna?" tanya Elgar tanpa menoleh ke arah Aluna, tetapi sekilas melihat Aluna dari kaca spion sebab laki-laki itu harus memerhatikan jalan.
Aluna mengela napas dalam-dalam kemudian membenahi posisi duduknya menjadi lebih tegak. Pandangannya kembali ia arahkan ke luar mobil memerhatikan jalanan yang dilaluinya.
"Antar aku ke apartement Luxury green Resident," jawab Aluna.
"Okey," sahut Elgar.
Elgar menghentikan laju mobilnya sebab tidak ada celah lagi untuk melaju. Ia hanya bisa menunggu ketika mobil di depan mobilnya melaju.
"Are you oke, Aluna?" tanya Elgar hati-hati.
"Menurutmu?" Aluna menoleh sekilas ke arah Elgar lantas kembali melihat ke arah luar mobil.
Naas, Aluna tidak sengaja melihat pasangan yang ada di dalam mobil tepat di samping mobilnya. Pasangan itu sedang bercanda di tengah kemacetan, mereka tertawa lepas berakhir dengan si pria membunuhi kecing si wanita dengan kecupan. Aluna memejamkan matanya diikuti oleh air matanya.
"Kamu kacau." Elgar kembali melajukan mobilnya dan kembali berhenti lagi. "Sebenarnya apa yang terjadi, Aluna?" tanya Elgar.
"Mas Hariz menamparku," jawab Aluna. "Kembali terjadi, Elgar."
"Oh." Elgar tidak bisa merespon apapun lagi, ia cukup terkejut dengan pengakuan Aluna.
"Ibu mertuaku menuduhku berselingkuh denganmu dan mas Hariz percaya. Aku muak terus diperlakukan seperti itu. Akupun meminta pada ibu dan adik iparku untuk pergi dari rumah itu," ungkap Aluna. "Mas Hariz tidak terima lantas menamparku. Dia selalu ada di pihak keluarganya percaya dengan semua kebohongan yang mereka katakan. Sedangkan jika aku hanya melakukan kesalahan kecil …maka mereka akan membuatnya menjadi besar," ungkap Aluna.
"Sampai sekarang aku belum bisa memberikan mereka keturunan pun menurut mereka juga salahku," ucap Aluna disela tangisannya. "Semuanya kesalahan mereka limpahkan padaku pada setiap masalah yang ada."
"Aku paham situasimu, Aluna. Kamu bersabarlah," pesan Elgar.
"Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan, Elgar. Semakin ke sini sikap dan sifat mas Hariz tidak bisa aku tebak. Kadang dia baik lalu tiba-tiba berubah kasar bahkan tidak segan-segan memukulku," ucap Aluna.
"Itulah sifat manusia, Aluna. Kita tidak tahu dan menebaknya," imbuh Elgar.
"No, Elgar. Dulu mas Hariz tidak seperti itu," ungkap Aluna. "Dia baik, perhatian dan juga sangat lembut. Tidak meledak-ledak seperti ini," sambungnya.
"Mungkin dia sedang dalam masalah besar," duga Elgar.
"Entahlah. Dia mulai berubah setelah ayah mertuaku meninggal. Sikapnya mulai berubah semenjak kedatangan ibu mertua dan adikku. Jujur aku bahkan sampai tidak mengenalnya lagi," ucap Aluna.
"Aluna … berubah berhentilah menangis. Tenangkan dirimu dulu," ujar Elgar. "Terlalu sayang jika kamu menangis untuk mereka." Elgar menyodorkan tisu kepada Aluna.
"Ya, kamu benar." Aluna mengusap jejak cairan bening yang masih masih tersisa di pipinya.
Aluna menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya kembali. Ia melakukan itu berulang-ulang sampai ia merasa lebih tenang.
"Elgar," panggil Aluna.
"Ya," sahut Aluna.
"Kamu sudah tahu siapa Camelia?" tanya Aluna.
"Hmmm," gumam Elgar.
"Mereka memiliki hubungan?" tanya Aluna lagi.
"Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Sebaiknya kita bicara jika kita sudah berada di apart." Elgar menolak untuk menjawab.
"Ada apa? Kenapa tidak sekarang saja," desak Aluna.
"Aluna, aku sedang mengemudi. Aku tidak bisa menjelaskan semuanya saat ini," tolak Elgar.
"Setidaknya katakan sedikit saja, Elgar," mohon Aluna.
"No, Aluna," tolak Elgar.
Aluna berdecak, tetapi penolak Elgar membuat spekulasi negatif di dalam pemikiran Aluna.
"Jangan menakutiku, Elgar."
Pasti Elgar pemilik hotel itu, dan dia menyukai Aluna. Syukurlah Luna belum punya anak dengan Hariz. Saya yakin setelah terbongkar kebusukan Hariz, perusahaannya akan hancur.
Thoor jika perceraian Aluna dan Hariz, cepet, atas bantuan Elgar, tak kasih nilai 5 bintang