Seorang pria yang tak sengaja di dunia lain, kereta api, lalu pria itu harus berfikir keras dan menghadapi masalah yang berada di dunia di tempati sekarang.
Sambil ditemani oleh rekan rekannya menjelajahi dunia Baru, pria itu mendapatkan banyak teror yang mengerikan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Taiga あいさか x hmd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengatasi Dejavu
**Keesokan Harinya**
Aku berjalan di kota dan bertemu Verla.
Dia menyapaku dan mengira aku adalah bangsawan.
"Heii, apakah kita sudah mengobrol untuk keempat kalinya?"
"Heii, tuan, mengapa kau marah-marah?" kata Verla.
"Ah, entahlah."
Seperti kemarin, aku melakukan latihan bersama Verla—teknik berpedang. Yah, topik bicaranya masih sama.
Setelah itu, aku pergi ke taman.
Aku menyapa Kalla, dan dia tidak mengenaliku.
Aku stres dan duduk di aspal taman, "Astaga, apa yang sebenarnya terjadi dari dalam diriku?"
"Maaf, tuan, kau ini kenapa?" kata Kalla.
"Arghhh! Kita sudah berjumpa 4x, dan pasti kamu lagi ada masalah keluarga. Pasti abangmu ada di negeri lain kan?"
"Iya, tapi kenapa kau marah-marah begitu kepadaku?" *hmpp*
"Ah, iya iya, maaf."
"Aku mabuk berat tadi."
"Dasar aneh," Kalla geram.
Kalla meninggalkanku sendirian.
Aku pergi ke desa di seberang kota dan ditawarkan makanan oleh penjual makanan yang kemarin kutemui.
"Hei, Pak, rasa daging domba alami ini sangat lezat ya. Pasti dari negeri ini, dan ahhh, rasanya khas sekali."
"Bagaimana kau tau? Padahal aku ingin menjelaskan asal-usul makanannya."
"Ah, entahlah," kataku.
Aku ke jalanan luar kota. Di perjalanan, aku melihat Kalla yang sedang dibegal oleh bandit-bandit.
"Heii, lepaskan wanita itu!" teriakku lantang.
"Ahh, seberapa besar nyali dirimu?"
"Tolong akuuu, pria anehhh!"
"Hei, jangan memanggilku dengan sebutan itu!"
"Ya, kalau sebenarnya aku aneh sih," dengan nada kecil.
"Sudah, basa-basinya!"
"Ayo, tangkap dia!"
"Siap, bos!"
Karena aku belajar empat kali dengan Verla, teknik berpedangku sudah lumayan bagus.
Aku berhasil mengalahkan para bandit itu.
"Terima kasih, pria aneh," ucap Kalla.
"Ahh, sudah kubilang, jangan memanggilku dengan sebutan itu!"
"Panggil aja aku Zafi."
"Iyadeh, Zafi."
Aku menemani Kalla ke kota dan membelikannya barang yang sangat disukainya.
"Kalla, pasti kau menyukai ini," tanyaku dengan tatapan kece.
"Bagaimana kamu tau, tuan Zafi?"
"Habismu, mukamu sangat menginginkan barang ini kan? Dari tadi."
"Aku bengong sebentar karena capek tau!"
"Sudahlah, kau tak perlu berbohong."
Setelah memberikannya barang, aku menemani Kalla pulang.
"Terima kasih, tuan Zafi, sudah menyelamatkanku dan ingin mengobrol denganku."
"Mungkin kamulah orang asing pertama di kota ini yang mau mengobrol denganku."
"Ah, tidak apa-apa."
"Ngomong-ngomong, apakah kamu ingin menjadi pacarku? Aku jatuh cinta padamu karena kamu sangat imut. Aku berjanji akan bersamamu setiap saat."
"Sungguh?"
"Ya, aku benar-benar serius. Apakah kau ingin menerimanya?"
Kalla menerimaku untuk menjadi pacarnya. Aku pulang ke rumah Selfia dengan tatapan setengah depresi dan setengah senang.
**Keesokan Harinya**
Aku bangun di kasur yang sangat empuk.
Aku sedikit ketakutan karena kejadiannya terulang lagi.
"Ya ampun, aku takut sekali untuk keluar."
"Aku harap tidak ada kejadian seperti kemarin."
"Kejadian apa itu? Gajelas banget!"
"Masa diulang-ulang?"
"Ah! Udahlah, aku pengen ketemu Kalla. Aku sudah janjian dengannya di taman."
Aku pun bergegas pergi untuk menemui Kalla.
Di tengah kota, aku bertemu Verla.
Dia masih ngomong dengan perkataan yang kemarin.
"Hei, kau sudah ngomong ini untuk kelima kalinya."
"Ah, apakah benar?"
"Iya, serius. Aku sudah capek mengulang kalimatnya."
"Ah, kalau begitu, apakah kau—"
"Ayo ayo, aku ingin sekali latihan duel denganmu."
"Eh?"
Kami pun ke lapangan latihan berpedang dan mengobrol seperti biasa—mengulang topik yang sangat membosankan, sampai kupingku ingin pecah.
Setelah selesai aktivitasku bersama Verla, aku ke taman menemui Kalla.
Dan lagi-lagi, dia melupakanku. Aku sangat stres dan depresi karena kejadian ini.
Aku sangat putus asa dan menangis, tidak tahu harus ngapain.
Jadi, aku hanya mengobrol biasa dengan Kalla.
"Hallo, Kalla. Aku Zafkiel, rekan Selfia."
"Oh, Selfia yang itu? Senang bertemu denganmu, Zafkiel."
"Ngomong-ngomong, kau tau namaku dari mana?"
"Tentunya dari Selfia."
"Selfia sangat hebat, bisa tau nama-nama orang."
"Ah, begitulah."
"Apakah kau ingin berteman denganku, Kalla?"
"Ah, tentu saja."
"Kapan lagi aku berteman dengan rekan keluarga bangsawan?"
"Lagi pula, keluarga Selfia sangat baik di sini."
"Ah iya, terima kasih telah berteman denganku."
…………
Setelah meminta pertemanan, aku lari terbirit-birit sambil menangis.
"Ahhhh!" (nada kencang)
"Mengapa mereka melupakanku lagi?"
"Mengapa aku tidak bisa menjadi kekasih Kalla?"
"Haaaa!" (menangis kencang)
Aku mengingat wajah Selfia dan kangen dengannya. Rasa ingin bertemu dengan Selfia sangatlah besar.
Aku memutuskan untuk bertemu dengan Selfia.
"Selfiaaa, aku ingin berbicara denganmu lagi. Aku tak ingin mengulang kejadian ini terus!"
"Capek!!! Rasanya capek sekali!"
Aku menuju ke persewaan delman di sekitar kota.
"Hei, Pak, apakah kau bisa mengantarkanku ke kota Hautian?"
"Hei, apakah kamu sudah gila?"
"Hah?!" Aku bingung.
"Kota itu di negeri Es Nicolas. Mana mungkin aku bisa ke sana."
"Tetapi majikanku menyuruhku untuk ke sana."
"Siapa majikanmu?"
"Selfia."
"Bukankah dia pergi ke Western Harv?"
"Ah, benarkah?"
"Mungkin majikanmu meninggalkan surat di rumah. Apakah kamu sudah mengeceknya?"
"Ahh, apakah itu benar?"
"Mungkin saja. Ambil dulu itu. Jika sudah, aku akan mengantarkanmu."
Aku kembali ke rumah dan mengecek surat yang ditinggalkan Selfia.
**Membaca surat:**
*Dari Selfia,*
*Halo, apakah kamu sudah bangun? Kami pergi ke Western Harv bersama-sama. Aku ingin mengajakmu, tapi kamu masih tidur.*
*Aku ingin membangunkanmu, tapi nggak enak—takutnya kamu terganggu dan mengomeliku. Jadinya, aku meninggalkanmu sendirian di rumah.*
*Jika kamu ingin menemuiku, temui saja aku. Aku ada di ibu kota Harv. Aku sedang sibuk mengurus wilayah yang katanya memberontak.*
*Selamat tinggal, Zafkielku sayang.*
*Salam hangat,*
****Selfia****
Setelah membaca, aku kebingungan setengah mati.
"La la la— lu, siapa yang pertama kuajak ngobrol?"
"Bukankah aku sudah berpamitan dengan Selfia dan Charlos?"
"Ah, nanti saja memikirkan itu. Aku harus cepat-cepat kembali kepada supir delman itu."
Aku kembali kepada supir delman itu.
"Hei, Pak, aku sudah membacanya."
"Mm, anu, maaf, Tuan. Kamu terlambat. Keretaku sudah penuh dengan barang-barang," kata Pak Supir.
"Ehhh!" (tatapan kecewa)
"Ah, ya sudahlah."
"Tunggu!" kata supir itu.
"Kalau kau mau, kau bisa menaiki kudaku di kandang sana."
"Benarkah?"
"Iyes," (menunjukkan jempol).
Aku pun menaiki kuda yang diberikan Pak Supir itu dan menuju ibu kota Harv.
Di tengah perjalanan ke ibu kota, aku tiba-tiba diserang oleh cewek berjubah hijau yang kucurigai.
Pedang runcing melayang di hadapanku ketika masih berkuda.
Aku berhasil menghindarinya.
"Hei, siapa kau!"
"Aku?"
"Aku adalah Korn of Humble Yusbia Selvert."
"Panjang amat," kataku.
Dia menyerangku lagi.
"Hei hei, ada apa? Kok kau mengincarku?"
"Kau pasti orang seperti Siluet, kan?"
"Apa-apaan? Kenapa kau menganggapku begitu?"
"Tampangmu sangat berbeda di dunia Lumineria ini."
"Aku bukan Siluet!!!"
"Ahh, diam!"
Aku menyerang balik cewek itu dan berhasil memojokkannya.
"Menyusahkan saja."
"Arghh!" (wanita itu kesakitan). "Ini bukan seberapa!"
"Sebenarnya kau ini ngapain sih?"
"Kau tak perlu tau itu, bodoh!"
Cewek misterius itu pergi setelah menyerangku.
**Setelah Sampai di Ibu Kota**
Aku bertanya-tanya kepada penduduk tentang keberadaan Selfia.
Aku menemukan petunjuk dari seorang yang sedang ngopi di kafe.
Orang itu mengantarkanku kepada Selfia.
"Ahh, di sini tempatnya," kata orang itu.
"Aa, terima kasih banyak."
"Selfiaaaa!" (aku berteriak dari jauh kegirangan).
"Zafkiel?"
"Selfia, mengapa kau tidak membangunkanku?" (dengan nada menangis).
"Kenapa kau tiba-tiba menangis begitu?"
"Haha, seperti nya pria kecil sudah bangun," kata Charlos.
"Zafi, kau kenapa? Kau tampak depresi."
"Jangan-jangan—"
"Rumahku angker ya? Jadi kamu ketakutan gitu di rumah sendirian?" kata Selfia.
"Mana ada angker!" *glek*
"Kenapa bisa nangis gitu?"
"Aku kesepian, dan suasana yang sangat membuatku pusing."
"Awwww, kamu kangen kepadaku ya? Haha."
"Ah, sudahlah. Aku jadi nyamuk lagi," kata Charlos.
Aku memeluk Selfia erat-erat karena aku sangat ketakutan—trauma kejadian yang mengulang kehidupanku sebelumnya.
"Oh iya, kita dikit lagi pulang loh, Zafi. Yah, kamu percuma juga ke sini."
"Ah, tidak apa-apa. Itu lebih baik."
"Apa yang lebih baik?"
"Entahlah."
"Kamu aneh seperti biasanya ya."
"Ngomong-ngomong, apa maksud kata 'sayang' di surat itu?" tanya Zafkiel.
"Ah, itu sebuah bentuk rasa keluarga."
"Ma-ma mana mungkin aku suka denganmu?"
"Benar sih, apalagi aku baru ke sini. Pasti mencurigakan."
"Benar itu. Itu tau sendiri."
Tiba-tiba saja turun hujan.
"Aduhh, hujan ya," kata Selfia dengan kecewa.
"Bagaimana kita pulangnya ini?"
"Bagaimana kalau kita menginap sementara di hotel?" tanya Charlos.
"Wah, boleh tuh."
"Oh iya, Fia, aku melihat hotel yang sangat bagus di sana tadi," kataku.
"Oh, benarkah?" tanya Selfia.
"Benar."
Sesampai di hotel yang kukatakan—
(Tatapan dengan ekspektasi setinggi harapan orang tua).
Semua: "......"
"Ini sih kita tidurnya gimana?"
"Hehehe."
"Zafkiel sesat -_-" kata Charlos.
"Ah, begini saja. Aku juga lihat hotel yang bagus tau—murah lagi."
Setelah sampai di hotel yang dikatakan Selfia—
"Nah, ini!"
"Wuoh, keren amat arsitekturnya!"
"Tradisionalnya terasa banget ya."
"Karena aku membawa 4 pengawal + Charlos dan 2 pelayan, tempat ini cocok ditinggali untuk kita semua."
"Dilihat-lihat, hotel ini sepi pengunjung ya?" tanyaku.
"Orang sekarang ingin menginap di hotel modern ketimbang yang berbau tradisional," jawab Selfia.
"Ah, sudah-sudah. Ayo istirahat. Ini sudah menjelang malam."
Charlos pergi ke kamarnya.
"Selfiaaaaa!"
Selfia menengok.
"Kenapa?"
Aku masih dalam keadaan ketakutan dan trauma. Aku takut hal yang kemarin terulang lagi untuk keenam kalinya. Jadi, aku meminta ditemani Selfia.
"Apakah kamu mau sekamar denganku?"
"Eh, apa?"
"Ah, tenang. Kamu tidur di atas, aku di bawah saja."
"Kok kamu kayak ketakutan gitu, sampai menyuruh aku menemanimu tidur?"
"Ah, bukan apa-apa."
"Baiklah, untuk kali ini saja."
"Ngomong-ngomong, apakah kau ada perasaan denganku? Hehe."
"Ah, tidaklah. Aku hanya trauma saja—mimpi buruk tadi pagi."
"Ah, baiklah. Ayo tidur sekarang. Besok kita harus pulang."
**Sampai di Kamar**
"Kau yakin ingin tidur di bawah?"
"Ah, iya."
"Kalau kau mau, kamu boleh tidur di sampingku—asal kau tak melakukan apa-apa kepadaku."
"Benarkah?"
Selfia menggelengkan kepala.
"Ah, oke oke."
**Suasana:**
Hujan deras menyelimuti kota. Angin-angin membuat suasana menjadi dingin.
Di dalam hotel—
"Hei, Zafkiel," tanya Selfia.
"Kalau kamu ketakutan akan sesuatu hal, kamu boleh bercerita kepadaku."
"Mmm, makasih, Selfia. Tapi aku tidak apa-apa."
"Kau bodoh dalam hal berbohong ya."
Aku malu. "Entahlah. Pokoknya aku sangat trauma sendirian."
"Dasar kau ini," Selfia tertawa.
**Keesokan Harinya**
Mataku terbuka.
"Apakah aku di rumah?"
"Selfia?"
"Umm, ada apa, Zafkiel?" jawab Selfia.
"Oh, kamu sudah bangun jam segini ya, Zafkiel."
"Terima kasih sudah membangunkanku."
"Tidak apa-apa, Selfia."
"Ah, aku akan menyiapkan makanan untuk kalian dulu."
Selfia pergi ke luar kamar.
"Apakah aku berhasil mengatasi hal mengulang kehidupan?"
Aku tercengang dan sangat kebingungan. Setelah lima kali mengulangi hal yang sama, akhirnya aku berhasil mengatasinya sendiri.