Pernikahan Briela dan Hadwin bukanlah hubungan yang didasari oleh perasaan cinta—
Sebuah kontrak perjanjian pernikahan terpaksa Briela tanda tangani demi kelangsungan nasib perusahaannya. Briela yang dingin dan ambisius hanya memikirkan keuntungan dari balik pernikahannya. Sedangkan Hadwin berpikir, mungkin saja ini kesempatan baginya untuk bisa bersanding dengan wanita yang sejak dulu menggetarkan hatinya.
Pernikahan yang disangka akan semulus isi kontraknya, ternyata tidak semulus itu. Banyak hal terjadi di dalamnya, mulai dari ketulusan Hadwin yang lambat laun menyentil hati Briela sampai rintangan-rintangan kecil dan besar terjadi silih berganti.
Akankah benar-benar ada cinta dari pernikahan yang dipaksakan? Ataukah semuanya hanya akan tetap menjadi sebuah kontrak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cha Aiyyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENOLAK PERJODOHAN
Briela menatap tumpukan dokumen di mejanya. Seharian wanita itu tidak bisa fokus dengan hal apapun yang ia kerjakan. Sejak kemarin Briela kebingungan untuk menjelaskan semuanya pada Hadwin.
Briela belum memiliki kesempatan lagi untuk bertemu dengan Hadwin setelah pertemuan terakhirnya di mansion. Hadwin juga tidak menghubunginya sama sekali, sepertinya pria itu tidak terusik akan sandiwara di antara mereka.
Terlalu banyak kemungkinan yang ia pikirkan dalam kepalanya, membuatnya sakit kepala saja. Ayahnya juga tidak henti-hentinya mengganggu Briela perihal Hadwin. Rasanya Briela ingin berteriak sekencang-kencangnya.
Pintu ruangan Briela diketuk tiga kali, lalu sekertarisnya masuk setelah ia izinkan.
"Ada apa, Stella?" Briela meletakkan pulpen yang sejak tadi ia mainkan.
"Ada sebuah dokumen yang perlu segera Anda tanda tangani, Nona." Stella membetulkan letak kacamatanya yang melorot.
"Baiklah, letakkan saja di meja! Aku akan memeriksanya."
"Tidak Nona, ini mendesak Anda harus segera menandatanganinya. Jika ditinggalkan begitu saja, saya ragu Anda akan menandatanganinya. Seperti— " Stella melirik pada tumpukan dokumen di atas meja Briela.
"Ah— Kau benar juga Stella." Briela menelan rasa malunya. "Bawa kemari dokumen itu!" titahnya kemudian.
Stella mendekat dengan sebuah dokumen yang di peluknya. Menyerahkan dokumen tersebut pada Briela yang sudah sepenuhnya siap. Briela membaca dokumen tersebut dengan cermat, setelah dirasa tidak ada kesalahan Briela dengan mantap membubuhkan tanda tangan pada dokumen tersebut.
Briela memeriksa dokumen teratas pada tumpukan di mejanya. Belum selesai ia membaca isi dokumen tersebut, Briela tersadar jika Stella masih berdiri di hadapannya.
"Katamu itu dokumen penting? Mengapa masih berdiri di sana?" Briela mengerutkan dahinya.
"Ada satu jadwal tambahan untuk Anda usai pulang kerja hari ini," ucap Stella. "Tadi, saya hanya ingin menyampaikan itu," lanjut Stella.
Briela menatap heran pada sekertarisnya, biasanya Stella akan langsung menjelaskan detailnya perihal jadwalku, tapi mengapa kali ini ia tidak langsung menyebutkan detail itu.
"Apa jadwalnya? Tumben kali ini kau berbicara sepotong-potong. Tidak seperti dirimu yang biasanya."
"Asisten pribadi Tuan Davis memintaku mengatur jadwal temu untuk hari ini. Jadi saya memilihkan waktu sepulang kerja saja agar tidak mengganggu pekerjaan Anda." Stella kembali membetulkan letak kacamatanya yang lagi-lagi melorot.
"Setelah menyamakan jadwal, pertemuan di adakan di D'Grill Restaurant pukul delapan malam."
"Oke. Aku akan datang nanti, aku memiliki beberapa hal yang harus segera kami bicarakan."
Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, Briela menyetir mobilnya menuju apartemen. Wanita itu perlu membersihkan diri dan mengganti pakaian. Briela memilih gaun pastel untuk membalut tubuhnya.
Briela merasakan dingin yang menusuk kulitnya begitu turun dari mobilnya. Wanita itu memilih untuk cepat masuk ke dalam restoran.
Sesampainya di dalam Briela mengedarkan pandangannya. Mencari sosok yang akan ia temui— Arthur Davis. Belum sempat Briela menemukannya, wanita itu di sambut oleh seorang waiters. Dan waiters itu juga yang akan mengantarnya menuju ruang VIP, tempat dimana Arthur Davis berada.
Briela menghembuskan napas kasar, sebenarnya wanita itu merasa sangat tidak nyaman jika harus berdua saja dengan Arthur. Tatapan mata keranjang Arthur terakhir kali membuat Briela risih. Ditambah kali ini, Arthur memilih ruangan VIP yang tertutup.
Ia meyakinkan dirinya sendiri untuk menyampaikan hal penting itu secepatnya, agar Briela bisa segera terbebas dari keterikatan dengan Arthur Davis. Briela harus bisa menahan diri.
Wanita itu masuk ke dalam sebuah ruangan, begitu masuk ia sudah di sambut oleh nuansa romantis dengan lampu temaram yang tidak membuat mata silau.
Briela bergidik. Entah Arthur yang memesan khusus atau memang itu sudah menjadi fasilitas yang di dapat oleh tamu VIP, yang jelas hal seperti itu membuat Briela benar-benar tidak nyaman.
Di salah satu sisi meja bulat itu duduklah sosok Arthur dengan gayanya yang sombong. Pria itu lagi-lagi menjatuhkan pandangan yang membuat Briela tidak nyaman.
"Duduklah, Nona Briela." Tangannya mempersilahkan namun ia tidak bergerak dari tempatnya. "Lagi-lagi, kau berpenampilan cantik," imbuh Arthur sembari mengelus dagunya.
"Terima kasih," ucap Briela. "Jadi, perihal pernikahan— "
"Kita bahas itu nanti setelah makan," Arthur menyela kalimat Briela.
Sabar Briela, ini tidak akan butuh waktu lama.
Briela meyakinkan diri sendiri.
Tidak lama dua orang pelayan mendorong trolley table, mengantarkan hidangan yang di pesan Arthur.
Dua buah steak daging sapi dengan tingkat kematangan medium diletakkan di atas meja.
Aroma gurih yang menyatu dengan asap yang mengepul di atas steak juga kentang goreng menggelitik indera penciuman Briela. Rasa lapar yang belum sempat ia tuntaskan, membuatnya ingin segera menyantap steak yang menggoda itu. Mungkin jika Briela membuka mulutnya, air liurnya pasti akan menetes.
Dan benar saja begitu potongan kecil daging itu masuk ke dalam mulutnya, Briela merasakan tekstur lembut daging premium menyebar ke dalam mulutnya. Bumbu yang pas dari steak yang ia makan benar-benar memanjakannya.
Arthur melempar senyum mengejek saat melihat Briela telah lebih dulu menghabiskan makanannya. Ia mengira ekspresi senang yang Briela tunjukkan semata-mata karena bisa memakan makanan mewah yang ia belikan. Padahal bukan perkara makanan mewah atau bukan, Briela akan selalu menunjukkan ekspresi senang begitu menikmati hidangan lezat. Meskipun makanan itu hanya berharga beberapa dolar saja.
"Kalau masih menginginkannya kau bisa memesan lagi. Tenang saja aku yang akan membayar." Arthur menyeringai. "Oh, iya. Satu hal lagi, kau akan dengan mudah menikmati hal apapun yang seperti ini jika kita sudah menikah."
Sudut hati Briela seperti dicubit. Ia merasa kesal dengan kata-kata Arthur yang seperti meremehkannya. Briela menahan sebisa mungkin tidak mengucapkan kata-kata kasar. Tujuannya belum selesai.
"Jadi, karena kau sudah membahasnya lebih dulu aku akan menanggapinya." Briela menghirup napas dalam, mencari ketenangan. "Jadi, tentang pernikahan— Aku tidak ingin melanjutkan perjodohan ini. Aku sudah membahasnya dengan ayahku. Beliau akan menyampaikannya secara resmi pada pertemuan terpisah."
Mulut Arthur menganga ia tidak percaya dengan apa yang sudah di dengarnya. Sebelumnya ia sangat percaya diri Briela akan menikah dengannya demi perusahaan. Ya, perusahaan. Setidaknya Arthur akan mencoba lagi peruntungannya, jika ia membahas krisis pada perusahaan milik keluarga Turner.
Arthur tersenyum smirk. "Jangan bercanda nona Briela, mau tidak mau kau akan tetap menikahiku demi Zoya & co. Perusahaan kalian sudah benar-benar di ambang batas krisis." Arthur mengelap sudut bibirnya.
Briela mendecih. Belum ada ikatan apapun, Arthur sudah sering merendahkannya, Briela tidak sanggup membayangkan jika harus menghabiskan hidupnya bersama pria yang seperti itu.
"Perihal Zoya & co, Anda tidak perlu memikirkannya Tuan Davis. Anda tidak memiliki hak apapun. Saya memiliki cara saya sendiri untuk menyelesaikan masalah perusahaan kami." Briela bangkit dari duduknya.
"Untuk makanan malam ini saya ucapkan terima kasih. Dan untuk ke depannya saya harap kita tidak lagi memiliki urusan pribadi lagi. Saya permisi." Briela membungkuk sedikit lalu berbalik.
"Apa alasanmu menolak perjodohan ini?" Teriak Arthur.
Briela sempat menghentikan langkah, namun kembali berjalan tanpa menoleh ke belakang. Meninggalkan Arthur yang berdiri penasaran.
Hayo ada yang tahu alasan Briela menolak perjodohan dengan Arthur atau nggak?? Yang tahu komen di bawah yuuk!
sekertaris keknya beb. ada typo.