Firman selama ini berhasil membuat Kalila, istrinya seperti orang bodoh yang mau saja dijadikan babu dan tunduk akan apapun yang diperintahkan olehnya.
Hingga suatu hari, pengkhianatan Firman terungkap dan membuat Kalila menjadi sosok yang benar-benar tak bisa Firman kenali.
Perempuan itu tak hanya mengejutkan Firman. Kalila juga membuat Firman beserta selingkuhan dan keluarganya benar-benar hancur tak bersisa.
Saat istri tak lagi menjadi bodoh, akankah Firman akhirnya sadar akan kesalahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Adik kecil
"Berapa mahar yang akan Nak Firman berikan untuk anak kami?" tanya Pak Imron, Ayah kandung Lia.
"Saya akan memberikan mahar sebesar lima ratus ribu, Pak."
"Lima ratus ribu?" Wajah Pak Imron seketika berubah masam. "Kenapa sedikit sekali? Kamu pikir, anak saya semurah itu?"
"Maaf, Pak. Cuma segitu nominal yang dibawa oleh Ibu saya. Tidak ada lagi."
"Memangnya, kamu tidak punya uang sendiri? Biasanya kan, kamu selalu bawa uang banyak."
"Dompet sama handphone saya hilang, Pak. Nggak tahu ada di mana."
"Kok bisa?"
Firman menggeleng pelan.Ia pun tak tahu kenapa dompet dan ponselnya bisa hilang di tempat itu.
"Saya juga nggak tahu, Pak. Padahal, tadi masih ada."
"Pasti dimaling warga, Man,"celetuk Bu Midah dengan suara lantangnya.
Para warga yang masih ada di sana pun langsung menoleh dengan ekspresi tak suka.
"Kami bukan maling ya, Bu! Sembarangan aja kalau nuduh!" sungut Bu Tuti mewakili yang lain.
"Nggak mungkin Hp sama dompet anak saya hilang begitu saja kalau bukan karena ulah salah satu diantara kalian!"
Bu Tuti berdiri. Perempuan berbadan bongsor itu langsung menghampiri Bu Midah kemudian menarik kerah bajunya.
"Kamu mau saya seret ke penjara, hah? Seenaknya saja menuduh kami yang tidak-tidak."
"A-ampun... Jangan!" ucap Bu Midah ketakutan.
Bu Tuti pun melepaskan kerah baju Bu Midah kemudian kembali duduk ditempatnya.
"Awas kalau mulut comberan kamu berani berulah lagi!"
Bu Midah langsung kicep. Baru kali ini, dia menemukan lawan yang sepadan.
"Baik, kita akan mulai akad nikahnya!" ucap penghulu yang ditunjuk untuk menikahkan Firman dan Lia.
"Saudara Firman, silakan jabat tangan saya!" pinta sang penghulu.
Ayah kandung Lia menolak untuk menikahkan putrinya dengan alasan gampang gugup. Makanya, tugas tersebut ia serahkan kepada Pak Penghulu saja.
"Bismillahirrahmanirrahim! Saudara Firmansyah bin Ferdiawan, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan seorang perempuan yang bernama Lia Aprilia binti Imron yang mana walinya sudah diserahkan kepada saya dengan mas kawin uang tunai sebesar lima ratus ribu rupiah dibayar tunai!"
"Saya terima nikah dan kawinnya, Lia Aprilia binti Imron dengan mas kawin tersebut tunai!"
"Bagaimana saksi?"
"Sah!"
Firman tersenyum bahagia. Walau caranya salah, namun dia tetap sangat senang karena akhirnya bisa bersatu dengan Lia, sang pujaan hati.
"Kamu senang kan, Sayang?" tanya Firman pada sang istri.
"Nggak," jawab Lia dengan jutek.
"Loh, kenapa?"
"Karena maharnya cuma lima ratus ribu. Aku nggak mau."
"Nanti uangnya aku tambah, Sayang! Untuk sekarang, kamu terima dulu yang lima ratus ribu ini, ya."
"Lima ratus ribu dapat apaan, Mas?" ketus Lia.
"Nanti Mas kasih seratus juta, gimana?"
Dan, Lia masih saja cemberut. Pun, dengan sang Ayah yang bernama Imron.
"Mas beliin perhiasan juga, mau?"
Lia tetap saja terdiam.
"Nggak usah ngambek gitulah, Lia! Firman tidak bisa memberikan kamu mahar yang besar untuk sekarang karena kondisinya memang sangat mendesak." Bu Midah berusaha memberi pengertian kepada sang menantu.
"Tapi, Bu..."
"Suami kamu itu orang kaya! Dia punya empat toko meubel yang sangat besar.Jangankan seratus juta, satu milyar pun sanggup dia kasih. Tapi, dengan catatan kamu harus jadi istri yang pandai menyenangkan hati suami dan mertua."
Sang pelakor perlahan mulai luluh. Apa yang dikatakan Bu Midah perlahan semakin menyilaukan matanya. padahal, Bu Midah hanya sesumbar saja. Mana mungkin Firman sanggup memberi uang satu milyar pada Lia?
"Ya udah, deh. Lia akan terima mahar yang dikasih sama Mas Firman. Tapi, Ibu sama Mas Firman janji ya, harus kasih uang yang lebih besar lagi untuk Lia nantinya?"
"Iya, Sayang! Mas janji!" angguk Firman seraya memeluk Lia mesra.
"Lia juga pengen dinikahin sah secara negara, Mas!" rengek Lia lagi.
"Itu gampang. Nanti, pulang dari sini, Mas akan paksa Kalila untuk untuk tanda tangan surat persetujuan."
"Kenapa perempuan burik itu nggak mas cerai aja, sih? Aku pengen jadi satu-satunya, Mas."
"Tidak boleh, Lia!" sahut Bu Midah cepat. "Kalau Kalila dicerai sama Firman, yang jadi babu gratisan di rumah kita, siapa?"
Seketika, tawa Lia meledak.
"Jadi, Kalila cuma dijadikan babu aja sama Ibu dan Mas Firman?"
Baik Firman maupun Bu Midah kompak menganggukkan kepala.
"Ya, bagi kami dia itu hanya babu gratisan. Nggak lebih," jawab Firman.
"Kalau aku?"
"Tentu saja kamu akan Mas jadikan ratu."
"Tapi, kalau misalnya Kalila menolak pernikahan kita, gimana, Mas?"
"Itu nggak mungkin. Kalila itu bucin akut sama Mas. Jadi, nggak mungkin dia berani menolak."
Sang pelakor kini merasa diatas angin. Dengan memanfaatkan kebucinan Firman, dia berniat untuk menguasai seluruh harta lelaki itu.
"Kalau gitu, Lia boleh ya, tinggal seatap sama Mas Firman dan juga Ibu?"
"Kalau kamu tinggal di sana, terus yang tinggal di rumah ini, siapa?"
"Tenang, ada Bapak," sahut Pak Imron cepat.
Tampak, Firman sedang berpikir keras. Rumah yang ia belikan untuk Lia masih kredit. Firman merasa rugi, jika rumah itu pada akhirnya tidak dihuni juga oleh Lia.
"Kenapa, Mas? Kamu nggak setuju ya, kalau aku tinggal sama kamu dan Ibu? Padahal... aku cuma pengen ngerasain tinggal di rumah mewah aja. Kan, seumur hidup aku belum pernah."
Wanita itu menundukkan kepalanya. Memasang ekspresi sesedih mungkin agar Firman jadi luluh dan merasa kasihan.
"Bukan begitu, Sayang..."
"Atau, kamu nggak ikhlas kalau Bapak aku tinggal di rumah yang dibeli pakai uang kamu?" potong Lia dengan cepat.
Sekali lagi, Firman menggeleng. Lia berhasil meng-skak mat dirinya.
"Oke. Kamu boleh tinggal di rumah aku yang satunya. Dan, Bapak boleh tinggal di sini."
Lia girang mendengar ucapan sang suami. Pun, dengan Pak Imron. Ia puas karena akhirnya bisa memiliki tempat yang jauh lebih layak dibanding rumah reyotnya di kampung halaman.
*
Ditempat lain...
"Bagaimana? Sudah selesai main rumah-rumahannya, Kalila?"
Suara itu menyambut Kalila begitu ia baru saja membuka pintu ruangan tersebut. Disana, seorang pria sedang berdiri membelakanginya sambil menatap ke luar jendela, menikmati pemandangan kota yang semrawut.
"Apakah menyenangkan hidup bersama pria pecundang itu?" Pria dengan setelan jas rapi itu akhirnya berbalik.
Degh!
Bola matanya terlihat sedikit melebar. Ia agak terkejut melihat penampilan wanita yang selama lima tahun ini tidak pernah ia temui lagi.
Namun, sepersekian detik berikutnya ia berusaha menetralkan kembali ekspresi wajahnya.
"Saya kalah, Tuan Kalandra!" ucap Kalila bergetar. "Sesuai perjanjian, silakan ambil lima persen saham milikku!"
Kalila meneguk ludahnya susah payah. Sementara, pria dihadapannya tampak tersenyum sinis.
"Tapi, untuk saat ini... Apa saya boleh meminta sebuah pelukan?" tanya Kalila dengan suara serak. "Saya sedang butuh kekuatan."
Pria itu menatap Kalila lekat. Ia pun merentangkan kedua tangannya.
"Kemari!" ucapnya dengan senyum hangat.
Kalila tak bisa menahan air matanya lagi. Ia menangis seraya berlari masuk ke dalam pelukan pria itu.
"Selamat datang kembali... Adik kecilku!" lirih pria bernama Kalandra itu. "Welcome home! Rumahmu tak tak pernah berpindah. Selamanya akan selalu di sini, dan menunggu kau untuk datang dan mengetuk perlahan."
Syukurlah yang akan membeli Kalila sendiri. pethiasan yang untuk modal usaha Firman ditagih sekalian,
Dia penjaja tubuh, dan modal rayuan harus bisa Firman, kamu ngerasa kan tak ada campur tangan Kalila kamu tidak bisa apa- apa, dan buka siapa- siapa. Nikmati saja toh itu pilihanmu, dulu miskin kembali miskin, pas kan. Itu tepat bagimu yg tak bisa bersyukur dan lupa kau jadi kaya darimana