Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.
Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.
Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.
Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepolosan Yang Mengguncang
"Parade ditunda satu jam. Semua tetap di tempat. Ini bukan pementasan. Ini ujian untuk kita semua."
Ucapan Kaisar menggema di pelataran timur. Barisan prajurit tidak bergerak. Pejabat-pejabat tinggi menunduk dalam. Para pangeran turun dari kuda paradenya masing-masing dan berjejer rapi di sebelah kanan kudanya masing-masing.
Panggung utama kini berubah menjadi tempat sidang darurat. Tirai belakang dibuka, meja-meja panjang disusun memanjang, dan para kasim tergesa membawa tabung-tabung berisi dokumen serta cap istana. Lian He berdiri di samping Jing Rui, menyerahkan bukti yang sudah dipersiapkan.
Pangeran Pertama berdiri, ia mudah gusar namun kali ini di depan orang-orang penting ia berusaha pura-pura tenang. Tapi siapa pun yang pernah mengenalnya tahu: ia sedang sangat marah.
"Ampun, Yang Mulia, ucapnya. "Saya mohon izin bicara."
Kaisar mengangguk. "Bicara."
Pangeran Pertama melangkah ke depan. Matanya menatap lurus ke arah Jing Rui. Senyumnya sopan. Bahasanya tajam.
"Yang Mulia Pangeran Keempat, saudaraku, mengklaim bahwa kuda pemberian Kaisar telah disabotase. Ia membawa saksi. Ia membawa surat. Tapi... izinkan saya bertanya:"
"Kenapa tidak melaporkan kejadian itu sebelum parade dimulai?"
Gumaman kecil terdengar dari deretan bangsawan.
Pangeran Pertama melanjutkan:
"Kediaman Pangeran Keempat berada di arah barat laut. Sedangkan kandang kuda, semua orang tahu, berada di sisi timur luar istana. Tidak mungkin 'kebetulan lewat'."
"Dan yang menjadi saksi utama... hanyalah seorang dayang."
Beberapa menteri menoleh. Wajah mereka ragu. Dayang memang bukan saksi kuat dalam politik istana.
"Sedangkan mengenai surat pengakuan?" Pangeran Pertama melanjutkan, menoleh ke arah Kaisar. "Itu ditulis oleh pelaku yang sudah mati. Siapa yang menjamin surat itu tidak direkayasa?"
Yu Zhen, yang berdiri di sisi barisan penjaga wanita, mengepalkan tangan kecilnya. Ia tidak mengerti sepenuhnya jalur intrik ini, tapi ia mengerti satu hal: apa yang dilihatnya benar. Apa yang dikatakannya tidak salah.
Namun saat Kaisar mengangguk ke arah Jing Rui untuk menjawab, suara itu kembali terdengar:
"Ayah, izinkan saya menjawab."
Pangeran Keempat, saudaraku?? A-ayah?
Yu Zhen membeku.
Tatapannya perlahan menoleh ke arah Jing Rui. Lalu ke arah Kaisar. Lalu kembali lagi.
...Ayah? Ia...? Mereka...?
Wajahnya langsung memanas. Langkahnya goyah setengah. Qin'er yang berdiri tak jauh darinya bahkan ikut melirik heran.
Yu Zhen menunduk dalam, mencoba menyembunyikan semburat merah di pipi.
Astaga... jadi sejak tadi, dan sejak pelukan itu, a-aku, aku bicara sedekat itu, sedetail itu... ke putra Kaisar? Bahkan menyebut kalau aku dipeluk... ah tidak! Zhen apa yang sudah kamu lakukan ini! Pasti banyak gadis yang mengidolakannya ingin membunuhmu sekarang!
Sementara itu, di panggung utama, Lian He melangkah maju.
"Izinkan hamba menyampaikan, Yang Mulia," ucapnya. "Pangeran Keempat keluar dari kediaman pukul tujuh pagi. Dicatat oleh kasim gerbang selatan. Dayang Yu Zhen melihat pelaku bergerak sekitar waktu itu juga. Waktunya cocok."
Ia mengangkat tabung kecil dari dalam lengan jubahnya. "Surat yang ditemukan di lengan pelaku dilengkapi lencana resmi pengawal Kediaman Timur. Lambang ukirannya hanya dibuat oleh pembuat resmi. Sudah dicocokkan."
Namun Pangeran Pertama kembali menyela cepat, "Tetapi itu tidak menepis fakta apapun dari apa yang saya ucapkan sebelumnya. Mengapa bisa tepat di waktu tersebut, seakan semua telah disusun sempurna untuk memfitnah saya? Sekalipun lencana itu, kami adalah saudara dekat, bisa dia lakukan untuk mengambil lencana itu dari kediamanku bukan begitu?"
Suasana kembali ricuh. Jing Rui hanya mengepalkan tangan tak lagi berdaya, namun diam diam ia masih memikirkan celah lainnya.
Kaisar tidak menjawab. Matanya menatap lurus ke depan—diam, tapi tajam, seakan sedang menimbang keadilan.
Hening.
Sampai satu suara lembut tapi terdengar cukup jelas menembus udara:
“Mohon ampun, Yang Mulia.”
Semua kepala menoleh.
Yu Zhen berdiri—masih mengenakan seragam dayang lusuh dengan perban dan bercak darah yang telah mengering sebelumnya. Wajahnya pucat, namun tatapannya jernih.
Qin’er yang berdiri di barisan depan dayang barak barat langsung menahan napas. “Zhen... kau ngapain sih…”
Yu Zhen membungkuk dalam. “Maafkan hamba… hamba hanya ingin menanggapi.”
Kaisar menaikkan alis. “Apa yang ingin kau katakan?”
Yu Zhen meneguk ludah. “Kalau hamba boleh... menyampaikan logika sederhana...”
Kaisar melirik, lalu mengangguk pelan.
Yu Zhen mengatur napas. Suaranya agak gugup, tapi tidak gemetar.
“Menurut hamba… tidak janggal kalau Pangeran Keempat berada di sekitar kandang saat pagi. Hari ini… kan hari Parade Panen. Bisa saja Beliau datang lebih awal… untuk mempersiapkan sesuatu.”
Bisik-bisik langsung beredar di antara para bangsawan.
Yu Zhen melanjutkan, tanpa sadar bicara terus karena semua orang diam.
“Lalu… tentang kenapa pelakunya juga datang di jam yang sama… karena semalaman, kuda istimewa itu kabarnya dikunci dan dijaga. Jadi pagi itu… adalah satu-satunya waktu untuk membuka kandang dan memberi makan. Jadi... kalau pelaku mau sabotase… ya memang hanya bisa pagi-pagi sekali, Yang Mulia.”
Ia menunduk lagi. “Hamba tidak bermaksud lancang.”
Diam.
Bangsawan-bangsawan mulai melirik satu sama lain.
Lian He, yang berdiri di belakang Jing Rui, menutup mulut dengan satu tangan—menahan tawa kecil. “Dayang ini... bicaranya terang-terangan sekali, tapi... masuk semua…”
Jing Rui sendiri hanya menatap Yu Zhen lekat-lekat.
Ia menunduk sedikit… dan nyaris tak bisa menahan senyum tipis. Rasa tertariknya seketika meluap begitu saja.
Kaisar masih terdiam. Tapi sorot matanya kini berbeda.
“Cukup… menarik,” gumamnya.
Sementara itu di sisi Pangeran Pertama, wajahnya menegang. Ia sempat ingin menyela, namun ucapan Yu Zhen—yang begitu jujur dan tak terkesan dibuat-buat—membuatnya kehilangan celah.
“Berani sekali dia…” bisik salah satu Selir Kaisar tingkat menengah.
“Padahal cuma dayang...”
Qin’er mencubit lengan bajunya sendiri, gemas dan berbicara dari dalam hati dengan tangan mengepal. “Zhen... kau bisa mati kalo salah ngomong! Dan mungkin akan disasar banyak musuh Pangeran Keempat setelah ini berakhir. Kau sangat bodoh!"
Yu Zhen sendiri, setelah bicara, baru menyadari—
Oh tidak. Itu… itu tadi pangeran. Yang… barusan ia tunjuk dengan telapak tangan. Dan sekarang... dia bahkan bicara soal logika penyelidikan kerajaan!
Muka Yu Zhen langsung memanas. Ia buru-buru menunduk lebih dalam. “Ampun… saya tidak tahu etika bicara…”
Tapi dari arah depan, Pangeran Keempat hanya menggeleng perlahan. Tak satu pun kata bernada marah keluar dari mulutnya.
Sebaliknya—dalam hati:
“Bisa bicara jujur dalam suasana seperti ini… dan bukan untuk pamer, tapi karena memang ingin mencari kebenaran.”
Kaisar akhirnya membuka suara. “Saksi tetap saksi. Dan sejauh ini, justru ucapan dayang ini… yang paling tidak terbebani niat pribadi.”
Semua orang tercengang.
Jing Rui menatap ke bawah, menyembunyikan senyum tipis.
Namun belum selesai... seorang penjaga berlari dari sisi gerbang.
"Ampun, Yang Mulia! Salah satu pelayan dapur Kediaman Timur mencoba melarikan diri setelah mendengar tentang penyelidikan. Tapi berhasil ditangkap."
Semua mata membelalak.
Kaisar bangkit berdiri.
"Bawa ke sini. Sekarang."