Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.
Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.
Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Teka-teki dibalik kutukan Vol.2
Hari perlahan beranjak malam. Suasana desa mulai lengang, hanya suara angin yang sesekali menderu melewati pepohonan di pinggir desa.
Ekot dengan gerakan cepat, ia mulai menyiapkan beberapa peralatan jaga untuk para warga. Tak lupa juga, tombak coklat dengan mata runcing mengkilat, yang selalu ia bawa.
Di depan rumah Pak Kades, pelataran yang sebelumnya tampak sepi, kini mulai terisi oleh beberapa warga yang mulai berdatangan. Bagi warga Mola-Mola, ini semua telah menjadi rutinitas yang sangat penting.
Satrio berdiri di samping Ekot, yang sibuk memberi arahan pada beberapa warga. Di antara kerumunan, hanya wajah Balewa, Empong dan pak Janjan, yang terasa sudah tak asing lagi.
“Seperti malam-malam sebelumnya,” ujar Ekot. suaranya tegas memecah kesunyian. “Bagi siapa saja yang tak memiliki anak gadis, diwajibkan untuk ikut berjaga setiap malam.”
Ekot kemudian menyebutkan beberapa rumah yang perlu diawasi secara khusus. Warga mengangguk setuju, wajah mereka terlihat tegang, menyadari bahwa tanggung jawab mereka sangatlah berat.
Satrio hanya membisu, memperhatikan dengan seksama. Sesekali, matanya melirik ke deretan rumah-rumah warga, seolah menimbang-nimbang sesuatu yang tak terucap. Ada kegelisahan yang samar di balik sikap tenangnya, namun ia menahannya dengan baik, fokus mendengarkan setiap instruksi yang diberikan Ekot.
"Dan kau Ageo," kata Ekot menoleh ke arah Satrio. "Kau ikut denganku, menyisir tiap sudut desa."
Satrio pun mengangguk mengerti, walau di dalam pikirannya, masih bergelut hebat dengan serangkaian kata-kata yang ia dengar dari Pak Purrok. Satrio yakin, pasti ada jawaban logis untuk menjawab semua ini.
"Ternyata, kau begitu pendiam?" tanya Ekot, mengayunkan kepalanya, memberi isyarat untuk mengikutinya.
Mereka berdua mulai bergerak, menyusuri jalan-jalan desa yang hanya diterangi oleh cahaya remang dari nyala obor. Udara malam terasa lembap, menyelubungi setiap sudut desa dengan kesunyian yang mencekam. Ekot memegang tombaknya erat, ayunannya pelan namun tegas. Satrio bisa merasakan ketegangan di setiap langkah, seakan mereka sedang memburu sesuatu yang tak kasat mata, namun selalu mengintai dibalik kegelapan.
"Apakah semua rumah di sini bergaya sama?" tanya Satrio, memecah keheningan.
Ekot mengangguk. "Desa ini telah menyatu dengan alam. Hutan menjadi rumah bagi kami," jawabnya, sambil mengangkat tombak dan menunjuk ke arah hutan yang jauh di belakang desa. "Di sana juga rumah bagi hewan-hewan mematikan. Untuk menghormati tanah mereka, semua rumah di desa ini diharuskan terpisah dari tanah."
Satrio merenungkan jawabannya, pikirannya berputar cepat. "Ternyata aku salah. Kukira ini berfungsi untuk menghindari banjir. Ternyata, ada makna tersendiri di balik rumah-rumah panggung ini," pikirnya dalam hati.
Mereka terus berjalan, dan Satrio tampak mencari momen yang tepat untuk bertanya lebih jauh. Akhirnya, ia mengalihkan pandangannya pada Ekot. "Boleh Aku bertanya, beberapa hal terkait kutukan ini."
Ekot menoleh sesaat, memperlambat langkahnya. "Apa yang ingin kau tanyakan?" suaranya terdengar waspada.
Satrio menghela napas, tampak menimbang kata-katanya dengan hati-hati. "Aku sempat tercengang, ketika melihat begitu banyak warga yang berjaga. Mustahil rasanya, jika tak ada satu orang pun yang menemukan petunjuk mengenai kutukan ini."
Pernyataan itu membuat wajah Ekot mengeras. Ia menggenggam tombaknya semakin erat, seolah menahan gejolak emosi yang menggelegak di dalam dirinya. "Aku tahu cara ini hanya sia-sia," gumamnya pelan, suaranya penuh frustrasi. "Tapi kami tidak punya pilihan lain!"
Kata-kata Ekot menggantung di udara, berat dan dipenuhi kesedihan yang tak terucap.
"Apa yang kalian lihat dan rasakan saat berhadapan dengan kutukan itu?" tanya Satrio, suaranya rendah namun tegas.
Ekot tak langsung menjawab. Ia menatap lurus ke depan, seolah berusaha mengumpulkan kata-kata yang tepat. "Siapapun yang melihatnya. Seberapapun jumlahnya, tak ada satu pun dari mereka yang mampu bertahan. Semua akan berakhir sama. Jatuh tak berdaya," ucapnya, suaranya penuh ketegangan.
Mendengar hal itu, raut wajah Satrio berubah. Garis di keningnya semakin jelas, kedua alisnya hampir bertemu, seakan menggambarkan kekhawatiran yang dalam. Ia memeras otaknya, mencari celah logika di tengah bayang-bayang ketakutan dan misteri yang dihadapi.
Suara derik jangkrik mengisi kesunyian di antara mereka, sementara embusan angin, seolah menyaksikan kebingungan dan kegelisahan mereka.
Di persimpangan jalan, Satrio menghentikan langkahnya, alisnya sedikit terangkat seperti ada yang mengganggu pikirannya. "Siapa nama gadis yang baru menjadi korban?" tanyanya, nadanya hati-hati.
"Daiva," sahut Ekot singkat.
Satrio merenung sejenak, menimbang-nimbang sebelum bertanya lagi, "Seberapa jauh rumahnya dari tempat ini?"
Ekot mendengus pendek, lalu menatap Satrio dengan sorot mata penuh curiga. "Apa yang sedang kau pikirkan?"
Satrio menahan diri agar tak tergesa-gesa. "Aku tidak punya maksud apa-apa. Aku hanya ingin berkeliling di sekitar rumahnya. Itu saja."
Ekot menghela napas panjang. Ia menilai Satrio dari ujung rambut hingga kaki, seolah menakar kesungguhannya. "Baiklah. Tapi ingat! Saat ini kau tetap dalam pengawasanku."
Satrio mengangguk cepat, menunjukkan ia paham dan menghormati batasan yang ada. Mereka pun berbelok di antara deretan rumah panggung yang berdiri berjajar rapi.
"Itu rumah mereka," Ekot menunjuk pada sebuah rumah dengan cahaya jingga redup. Rumah itu berada di sudut desa. "Sebaiknya kau hati-hati, mungkin mereka masih dalam ketakutan."
Satrio melangkah pelan, mencoba menyelami kesunyian yang terasa pekat. Dengan gerakan hati-hati, ia mulai menyisir setiap sudut rumah itu.
"Apakah ini kamar Daiva?" bisik Satrio, lengannya menunjuk ke arah jendela.
Ekot memicingkan mata, mencoba mengingat. "Sepertinya memang itu kamarnya," jawabnya nyaris tak terdengar.
Mereka berdua terus memutari rumah, langkah-langkah mereka terukur, seakan setiap ranting kering yang terinjak bisa mengubah nasib mereka. Saat berjongkok di bawah jendela, Satrio memperhatikan hal-hal kecil yang mungkin luput dari mata orang lain.
"Rumah ini menghadap ke dalam desa," batin Satrio. "Di belakangnya ada ladang jagung yang tingginya mencapai bahu. Pagar yang memisahkan rumah dengan ladang tampak rapuh, beberapa bilah bambunya sudah patah. Entah karena hewan liar atau memang lapuk termakan usia. Sementara jendela ini hanya terbuat dari anyaman rotan, tidak terlalu kokoh. Sedangkan, terdapat ilalang kering menumpuk hingga kolong rumah, menutupi tanah di bawahnya. Mungkin sengaja ditaruh di sana."
Satrio menarik napas panjang, merasakan udara malam yang dingin menusuk kulit. Sesuatu di balik ketakutan ini terasa lebih dari sekadar ancaman tak kasat mata. Ekot menatapnya, waspada, tetapi tak menghalangi Satrio mengamati lebih dalam.
"Jika kau sudah puas, sebaiknya kita segera pergi dari sini," bisik Ekot, suaranya rendah namun tegas. Satrio mengangguk, wajahnya mencerminkan semacam kepuasan tersendiri. Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka meninggalkan rumah Daiva dan kembali menjalankan tugas, menyusuri jalan-jalan desa yang sunyi.
Langkah mereka berdua terus bergerak, menyatu dengan bayangan malam. Sesekali Ekot melirik ke arah Satrio, tampak tidak nyaman dengan perubahan sikap rekannya. Sejak meninggalkan rumah Daiva, Satrio tidak lagi berbicara. Namun, dari tatapan mata dan gerakan tubuhnya yang tenang, Ekot tahu ada banyak hal yang sedang berputar di kepala orang itu.
Tak tahan dengan keheningan yang terasa berat, Ekot akhirnya buka suara. "Pasti kau sedang merencanakan sesuatu?" tanyanya curiga.
Satrio menoleh sedikit, bibirnya tersenyum samar. "Sebaiknya kau berhenti menyalahkan leluhur kalian," katanya. "Sebaliknya, berterima kasihlah pada mereka."
Alis Ekot berkerut. Ia menatap Satrio dengan tatapan tajam. "Apa maksudmu?" tanyanya, nada suaranya menuntut jawaban.
Satrio memandang lurus ke depan, seakan menerawang sesuatu yang jauh di luar jangkauan mereka. "Jika saatnya tiba, kau pasti akan mengerti," ujarnya dengan nada penuh keyakinan.
Mendengar itu Ekot pun terdiam, mencoba mencerna kata-kata yang baru terucap. Namun, ia tak melanjutkan pertanyaannya, hanya bisa melangkah mengikuti pria yang semakin sulit dipahami itu.
lanjut nanti yah