Di tahun 70-an, kota ini penuh dengan kejahatan yang berkembang seperti lumut di sudut-sudut gedung tua. Di tengah semua kekacauan, ada sebuah perusahaan detektif swasta kecil tapi terkenal, "Red-Eye Detective Agency," yang dipimpin oleh Bagas Pratama — seorang jenius yang jarang bicara, namun sekali bicara, pasti menampar logika orang yang mendengarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairatin Khair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4
Udara malam itu dingin dan lengket, menyelimuti pelabuhan tua dengan kabut yang tebal dan lembap. Tempat ini terasa seperti area terlarang yang dilupakan waktu, dengan peti kemas tua yang berserakan di sudut-sudut dan kapal-kapal kosong yang bergoyang pelan diterpa angin laut.
Bagas melangkah mantap, diikuti oleh Siti yang tampak enggan dengan setiap langkahnya. Bagi Siti, suasana di tempat itu sudah cukup menyeramkan bahkan sebelum mereka melihat siapa pun. Bau amis dan karat memenuhi udara, bercampur dengan desau angin yang membawa bunyi dentingan logam yang samar.
“Kenapa kita harus selalu ketemu di tempat-tempat yang… seram, Pak?” gumam Siti, menggigil sambil memeluk tubuhnya sendiri.
Bagas hanya menoleh sebentar, seulas senyum tipis tersungging di wajahnya. “Orang yang bersembunyi dari cahaya biasanya akan merasa nyaman di tempat seperti ini.”
Siti mengerutkan dahi, lalu berusaha mengikuti Bagas lebih dekat. Mereka melewati beberapa peti kemas besar, hingga tiba di sebuah sudut yang remang-remang, di mana bayangan sosok tinggi tampak berdiri di ujung pelabuhan. Sosok itu mengenakan jaket tebal, dengan topi yang menutupi sebagian besar wajahnya.
“Si Hitam, aku kira?” ujar Bagas pelan, nadanya penuh ketenangan meski jelas ada sedikit ketegangan di baliknya.
Pria itu tak menjawab. Ia hanya berdiri dengan sikap tak acuh, tangan bersilang di depan dada. Mata tajamnya menatap Bagas dan Siti seolah sedang mengukur mereka dari kepala hingga kaki.
“Kalian yang datang jauh-jauh hanya untuk menggangguku di tempat persembunyianku?” tanyanya dengan suara serak, penuh ancaman yang tersembunyi.
Bagas tidak gentar. Ia mengeluarkan amplop merah dari saku jaketnya dan memperlihatkannya kepada Si Hitam. “Kematian Pak Ramelan. Dia menerima ini sebelum meninggal. Kami tahu kau tahu apa yang terjadi.”
Si Hitam mendengus, ekspresinya datar, tapi matanya mengeras. “Pak Ramelan… nama itu sudah lama tak ingin kuingat. Seseorang yang pernah berhutang besar pada kami, tapi kemudian menghilang begitu saja.”
“Dan sekarang seseorang memutuskan untuk mengingatkannya,” jawab Bagas. “Kenapa sekarang? Apa yang ingin kalian dapatkan darinya?”
Si Hitam tertawa kecil, suara tawa yang mengandung nada sinis. “Kau tak akan mengerti, Detektif. Kami bukan sekadar mengejar uang. Yang kami inginkan jauh lebih besar… Kami ingin nama dan kehormatan kami dikembalikan.”
Bagas mengamati ekspresi Si Hitam, mencoba mencari makna di balik kata-katanya. “Kehormatan… Jadi Pak Ramelan berhutang sesuatu yang tak bisa dibayar dengan uang?”
Si Hitam tidak menjawab langsung, melainkan menatap Siti dengan tatapan yang dingin dan tajam. “Temanmu ini punya rasa ingin tahu yang besar, Detektif. Tapi di dunia ini, semakin banyak kau tahu, semakin cepat pula kau bisa ‘dihilangkan’.”
Siti tersentak, namun mencoba tetap tenang. Ia menatap Bagas, berharap detektif itu memiliki cara untuk membuat pria ini bicara lebih banyak tanpa mengancam nyawa mereka.
“Kami hanya ingin tahu kebenaran,” ujar Bagas pelan, nadanya penuh ketegasan. “Jika kau ingin kehormatanmu dikembalikan, maka ceritakan semuanya. Jangan sembunyikan apa pun.”
Si Hitam tampak berpikir sejenak, lalu ia melirik ke arah laut yang gelap. “Pak Ramelan dulu bekerja dengan kami. Ia terlibat dalam kesepakatan besar yang berisiko. Kami menjalankan bisnis yang tak terlihat oleh hukum — bisnis yang sangat menguntungkan, namun berbahaya. Suatu malam, dia tiba-tiba menghilang, membawa serta sebagian dari kami ke dalam masalah besar.”
Bagas mendengarkan dengan penuh perhatian, mencoba menangkap setiap kata dengan teliti.
“Masalah besar?” tanya Siti, tak mampu menahan rasa penasaran. “Apakah kalian kehilangan uang?”
Si Hitam tertawa sinis. “Bukan uang, nona. Lebih dari itu. Kami kehilangan kesempatan — kesempatan untuk menaklukkan orang-orang yang selama ini mencoba menutup pintu kami. Karena Pak Ramelan, kami terpaksa kembali bersembunyi, kehilangan kepercayaan satu sama lain.”
Bagas mengangguk perlahan. Sekarang, ia mulai memahami kenapa amplop merah tua itu sampai di tangan Pak Ramelan. Ini bukan hanya tentang uang, tetapi juga tentang pengkhianatan dan balas dendam.
“Jadi sekarang kalian memburu siapa pun yang pernah melibatkan dirinya dalam kelompok kalian?” tanya Bagas.
Si Hitam menatap Bagas lama sebelum menjawab, “Bukan sekadar memburu. Ini adalah pengingat, Detektif. Pengingat bahwa setiap tindakan ada konsekuensinya. Kami takkan pernah melepaskan siapa pun yang telah mengkhianati kami.”
Bagas dan Siti terdiam. Di balik kata-kata itu, mereka merasakan tekad yang mendalam dan kebencian yang telah mengakar. Siti mulai merasa bahwa kasus ini jauh lebih berbahaya dari yang ia kira.
Si Hitam mulai melangkah mundur, seolah-olah pertemuan ini sudah selesai. Namun, sebelum ia pergi, Bagas mengajukan satu pertanyaan terakhir.
“Ada orang lain selain Pak Ramelan yang akan menerima ‘pengingat’ ini?” tanyanya dengan nada penuh kewaspadaan.
Si Hitam berhenti, lalu menoleh dengan senyum dingin. “Mungkin ada. Mungkin tidak. Tapi jika kau ingin mencari tahu, pastikan kau siap menerima jawabannya.”
Tanpa menunggu jawaban, Si Hitam menghilang ke balik bayangan peti kemas, meninggalkan Bagas dan Siti dalam keheningan yang mengerikan. Angin malam bertiup semakin dingin, membawa bau asin dari laut yang bergulung pelan.
Siti memandang Bagas, wajahnya terlihat bingung dan sedikit ketakutan. “Pak Bagas, ini bukan hanya soal kematian biasa, kan? Mereka benar-benar ingin memusnahkan siapa pun yang terlibat.”
Bagas mengangguk, menatap ke arah Si Hitam yang sudah lenyap dari pandangan. “Ini soal balas dendam, Siti. Balas dendam yang tertanam dalam-dalam dan sudah lama dipendam.”
Siti menelan ludah, merasakan beban yang semakin berat. Ia tahu, dengan informasi yang mereka peroleh malam ini, kasus ini baru saja memasuki wilayah yang jauh lebih gelap.
“Kita harus cari tahu siapa yang akan menjadi target berikutnya,” ujar Bagas dengan nada tegas. “Sebelum amplop merah tua itu menemukan mereka lebih dulu.”
Siti hanya mengangguk, tahu bahwa perburuan ini baru saja dimulai. Mereka berdua kemudian berjalan meninggalkan pelabuhan tua, membawa serta misteri yang semakin rumit dan penuh bahaya.
---
Semangat.