Ketika makhluk misterius yang disebut "Ruo" mulai memburu dan mencuri indera manusia, ketakutan melanda dunia. Ruo, sosok tanpa emosi dan kekuatan yang tampak tak terbatas menjadikan setiap manusia sebagai target, memburu mereka yang tak mampu menekan rasa takut atau sedih.
Di tengah kehancuran dan ketidakberdayaan, muncul Wira, seorang pria muda yang berhasil selamat dari serangan pertama para monster. Dipenuhi tekad untuk menghancurkan makhluk-makhluk itu, Wira membangun kepercayaan orang-orang di sekitarnya, menawarkan seberkas cahaya di tengah malam yang mencekam.
Di antara reruntuhan harapan, Wira memimpin, melindungi, dan menginspirasi orang-orang yang mulai melihatnya sebagai sosok harapan yang akan melindungi kemanusiaan. Namun, setiap langkahnya menguji batas kekuatan dan kemanusiaannya sendiri. Mampukah Wira mempertahankan harapan yang ia ciptakan di dunia yang hampir tanpa cahaya?
Masuki kisah perjuangan penuh pengorbanan, di mana harapan baru menyala di tengah kegelapan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerhana_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5: Navigate
Di markas, Rizki sedang fokus pada perangkatnya, meneliti cara kerja bom pembeku yang diminta oleh Wira. Flora tiba-tiba masuk, mengamati Rizki yang tampak serius, dan bertanya, "Apa yang sedang kamu kerjakan?"
Rizki menoleh, lalu menjawab, "Lagi memikirkan mekanisme untuk membuat bom pembeku, atas permintaan Wira." Mendengar itu, Flora tampak terkejut. "Wira belum memberitahu aku soal ini," katanya.
Rizki mengerutkan alisnya, sama terkejutnya. "Oh, jadi kamu juga belum tahu? Kupikir dia sudah bicara ke semua orang soal rencana ini."
Flora terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Tapi... kamu serius bisa membuat bom pembeku? Setahuku, benda begitu cuma ada di film-film."
Rizki ikut tertawa, mencoba mengurangi ketegangan. "Kamu jangan meremehkan otakku. Aku sudah menelan komputer; sekarang komputernya sudah jadi bagian dari diriku."
Flora menggeleng sambil tersenyum. "Tetap saja, kamu kan ahli komputer, bukan ahli senjata!"
Rizki menghela napas. "Iya juga, sih," akunya. "Tapi Wira benar-benar optimis, Flora. Melihat keteguhan hatinya, rasanya aku akan merasa bersalah kalau mengeluh. Dia itu... harapan kita, dan aku ingin ikut bersamanya sampai akhir."
Flora mengangguk pelan. "Iya, kamu benar. Dia memang luar biasa. Awalnya, aku sempat merasa ngeri waktu dia bilang ingin menghancurkan Gougorr sampai tak tersisa. Tapi sekarang, semakin sering aku bersamanya... aku malah merasakan kehangatan dari dia. Entah bagaimana, dia memang seperti harapan."
Rizki tersenyum sambil memasang ekspresi meledek. "Hei, jangan-jangan kamu suka sama dia?"
Flora memutar mata sambil memukul lengannya dengan pelan. "Apa-apaan sih! Dasar culun, nggak usah bercanda, deh!"
Rizki tertawa, menikmati candaannya. "Kenapa? Wira kan memang menarik, wajar kalau cewek bisa suka. Coba deh kalau kamu memang serius... tapi hati-hati, mungkin dia mantan fakboy," Rizki mengedip nakal, membuat Flora mendengus jengkel.
"Dasar kamu, Rizki, menyebalkan!" serunya sambil berbalik, meninggalkan Rizki yang tertawa geli di ruangan.
Rumah Sakit
Setelah tiba di rumah sakit yang sunyi dan terbengkalai, Wira, Bima, dan Nora memutuskan untuk berpencar demi menghemat waktu. Nora pergi ke lantai atas untuk mencari obat-obatan, sementara Wira dan Bima menuju area penyimpanan, meski mereka mengambil jalur berbeda agar pencarian lebih cepat.
Setelah sekitar satu jam berkeliling tanpa hasil, Wira mulai merasa bosan dan akhirnya berkata dengan nada bercanda melalui komunikasi mereka, "Hei, Nora, kalau nggak ada Gougorr, mungkin kamu sudah bekerja di sini ya? Aku bakal sengaja demam setiap hari biar bisa ketemu kamu."
Di sisi lain, Nora tertawa kecil mendengarnya, dan Bima menimpali, "Halah, mulut anak ini berbahaya juga. Kalau terus-terusan begitu, nanti ada yang beneran suka."
Beberapa menit kemudian, komunikasi mereka berdering kembali. Suara Nora terdengar agak berbisik namun tegas, "Wira, Bima, kalian datang ke ruang penyimpanan obat, cepat! Aku menemukan survivor lain di sini."
Mendengar itu, Wira dan Bima langsung bergegas menuju lokasi Nora. Langkah kaki mereka terdengar menggema di koridor panjang rumah sakit yang sunyi.
Sesampainya di ruang penyimpanan, Wira melihat empat orang yang tampak lelah dan kusut, sepertinya sudah lama bertahan hidup di tempat ini. Ada seorang dokter pria yang wajahnya menunjukkan kelelahan tapi tetap berusaha tegar, seorang gadis kecil yang memeluk erat boneka kelinci lusuh, seorang perawat pria yang tampak siaga, dan seorang kakek tua di kursi roda, tampak lemah dengan mata yang penuh kehati-hatian.
Nora menatap Wira dan Bima dengan sedikit khawatir, lalu berbisik, "Mereka sudah bersembunyi di sini selama beberapa hari. Katanya, mereka kehabisan makanan dan sedang mencari cara untuk bisa keluar dari sini."
Wira menyapa mereka dengan suara lembut, berusaha menenangkan. "Halo, kami juga survivor. Nama saya Wira, dan ini Bima. Kami punya tempat perlindungan yang aman. Jika kalian mau, kami bisa membantu kalian pergi dari sini."
Dokter itu mengangguk pelan, tampak lega. "Terima kasih… Kami tidak punya banyak pilihan. Tempat ini tidak aman lagi, dan kami hampir menyerah."
Bima menyela dengan pandangan penuh tekad, "Jangan khawatir, kami akan membantu kalian. Hanya perlu sedikit bersabar; kami masih mencari beberapa hal yang kami butuhkan di sini."
Gadis kecil itu menatap Wira dengan mata berbinar, tampak penuh harapan. "Om Wira, kalian benar-benar bisa melindungi kami?"
Wira menunduk dan tersenyum lembut. "Kami akan berusaha, adik kecil. Kamu sudah berani bertahan sampai sekarang, ya? Kuat sekali."
Mendengar itu, gadis kecil itu mengangguk penuh semangat, pelukannya pada bonekanya semakin erat. Di dalam hati Wira, ada perasaan yang campur aduk. Dia tahu betul bahwa dunia sudah berubah menjadi tempat yang keras dan penuh bahaya, dan kehadiran para survivor ini mengingatkannya bahwa tidak semua orang punya kekuatan atau kemauan sekeras dirinya. Tapi, meski begitu, dia tetap berusaha memberikan secercah harapan — karena kadang itu saja sudah cukup untuk membuat orang tetap bertahan.
Setelah menemukan survivor di ruang penyimpanan obat, Wira menyadari bahwa timnya masih memerlukan bahan kriogenik untuk melanjutkan rencana melawan Ruo. Di sini, Wira mulai bertanya kepada dokter yang terlihat paham dengan kondisi rumah sakit ini.
"Dokter," tanya Wira dengan suara serius, "apakah Anda tahu di mana kami bisa menemukan bahan kriogenik di sini?"
Dokter berpikir sejenak, lalu menjawab, "Bahan kriogenik? Mungkin ada di ruang radiologi, di sebelah ruang penyimpanan mayat. Biasanya disimpan dalam tabung besar yang cukup berat."
Mendengar itu, Wira mengangguk cepat. Dia segera menginstruksikan Bima untuk menjaga para survivor, sementara ia sendiri bergegas ke ruang radiologi. Sesampainya di sana, Wira melihat tabung kriogenik yang disimpan dalam lemari besar berpendingin. Dengan susah payah, ia menarik satu tabung yang tampak sangat berat, berusaha mengangkatnya meski tubuhnya mulai terasa kelelahan.
Saat hendak kembali, Wira menangkap sosok bergerak dari ujung koridor. Wajahnya berubah serius — makhluk itu tidak lain adalah salah satu Ruo. Napasnya tertahan, tapi kepalanya tetap dingin. Segera, Wira menekan alat komunikasinya dan berbicara pelan kepada timnya.
"Ada Ruo di sini," katanya. "Aku butuh bantuan kalian. Bima, cepat ke sini untuk membantuku membawa tabung kriogenik ini. Kita harus menjebaknya sebelum dia menyerang kita."
Mereka berdiskusi cepat melalui alat komunikasi. Wira mengusulkan ide berani: memancing Ruo dengan umpan sehingga bisa dilumpuhkan tepat saat mereka menembak tabung kriogenik, yang mungkin akan menghasilkan ledakan pembekuan instan jika berhasil. Namun, mereka butuh seseorang sebagai umpan.
Dalam hening yang tegang, satu per satu dari mereka mengajukan diri untuk menjadi umpan. Namun, Wira tahu, setiap nyawa di sini sangat berharga, dan ide ini terlalu berbahaya. Suasana semakin tegang, hingga akhirnya sang kakek tua yang duduk di kursi roda mengangkat tangan, wajahnya penuh keteguhan.
"Biar aku saja," katanya dengan tenang. "Hidupku juga sudah tak lama lagi. Jika ini bisa membantu kalian… aku rela."
Semua orang terdiam, lalu mengangguk dengan berat hati, menghormati keberanian kakek tersebut.
Rencana mulai dijalankan. Mereka memilih dua ruangan berhadapan, yang salah satunya sudah disiapkan dengan pintu terbuka dan kakek duduk di kursi rodanya, menunggu dengan tabung kriogenik di sebelahnya. Sementara itu, Wira, Bima, dan Nora bersembunyi di ruangan seberang dengan senjata siap, menunggu Ruo mendekat.
Detik-detik berlalu dengan ketegangan yang menyayat. Akhirnya, sosok Ruo mulai terlihat mendekati kakek. Wira menahan napas, bersiap memerintahkan tembakan saat waktu yang tepat. Tapi tiba-tiba, situasi berubah drastis. Alih-alih mendekati kakek, Ruo mengalihkan pandangannya, seolah bisa merasakan kehadiran mereka. Ruo mendobrak pintu di mana Wira dan kawan-kawan bersembunyi!
Suasana menjadi kacau. Ruo mengamuk, menghancurkan isi ruangan dengan liar, membuat Wira dan yang lain berlarian menghindar. Di tengah kekacauan, Ruo berhasil menyerang perawat yang berada di belakang mereka, membuat suasana semakin mencekam.
Dokter, yang menyadari situasi semakin buruk, merogoh sakunya dan mengeluarkan kunci mobil. Dengan putus asa, dia menyodorkan kunci itu kepada Wira.
"Ambil ini! Kalian bawa putriku pergi! Aku dan perawat ini akan mengalihkan perhatian Ruo sementara kalian kabur!" katanya dengan tegas, matanya berkaca-kaca namun penuh tekad.
Wira terpaku sejenak, tapi akhirnya mengambil kunci itu dengan berat hati. Ia mengangguk, tahu betul bahwa dokter dan perawat telah memutuskan untuk berkorban. Wira, Nora, Bima, dan gadis kecil putri dokter itu pun berlari keluar, meninggalkan tiga orang yang memilih untuk berkorban di belakang mereka.
Mereka bergegas menuju mobil dokter yang terparkir di luar. Gadis kecil itu menangis keras, memanggil-manggil ayahnya dengan sedih, dan Wira hanya bisa menguatkan diri sambil mengusap kepala gadis itu, mencoba memberinya rasa aman di tengah duka.
Saat mereka berkendara menjauh, Wira menggenggam erat kemudi, rahangnya mengeras menahan amarah dan rasa frustrasi. Rencananya gagal total. Ia bukan hanya kehilangan kesempatan mendapatkan bahan kriogenik, tapi juga kehilangan orang-orang yang nyawanya tak bisa tergantikan.
Di dalam hati, amarah membakar. Wira bersumpah bahwa Gougorr dan para Ruo akan membayar mahal atas setiap pengorbanan yang mereka alami hari ini.