Permainan Tak Terlihat adalah kisah penuh misteri, ketegangan, dan pengkhianatan, yang mengajak pembaca untuk mempertanyakan siapa yang benar-benar mengendalikan nasib kita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faila Shofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
perang yang tak terlihat
Keesokan harinya, meskipun mereka berhasil lolos dari ancaman kelompok itu, perasaan cemas tetap membayangi Diana. Polisi yang menangani kasus mereka masih dalam penyelidikan, tetapi Diana tahu bahwa mereka hanya bisa bertahan sementara waktu. Kelompok itu pasti masih mengawasi mereka, dan Diana tak bisa merasa aman begitu saja.
Di sekolah, suasana terasa berbeda. Semua siswa tampak membicarakan insiden yang terjadi di gedung tua, meskipun sebagian besar dari mereka tidak tahu detail sebenarnya. Diana berusaha untuk tetap tenang dan tidak menarik perhatian, namun perasaan was-wasnya semakin besar. Ada saat-saat ketika ia merasa ada yang mengawasinya, saat matanya bertemu dengan seseorang yang tampak tidak dikenal, atau saat ia mendengar langkah kaki yang tiba-tiba terdengar terlalu dekat.
Namun, meskipun ketegangan semakin memuncak, Adrian selalu ada untuk menenangkan Diana. Setiap kali mereka bertemu, Adrian memberikan senyum kecil dan kata-kata penghiburan yang mampu meredakan sedikit ketakutan di hati Diana. Tetapi meskipun mereka berdua semakin dekat, ada satu hal yang masih menggantung di benak Diana—apakah mereka bisa benar-benar aman?
Suatu hari, saat Diana sedang duduk di perpustakaan, matanya tertuju pada sebuah berita di salah satu koran sekolah. Berita itu mengabarkan tentang sebuah insiden yang terjadi di kota terdekat, di mana beberapa orang dilaporkan hilang secara misterius. Diana segera merasa ada hubungan antara kejadian itu dengan kelompok yang mengancam mereka.
"Adrian, kamu harus melihat ini," kata Diana, menunjuk pada berita itu saat Adrian duduk di sampingnya.
Adrian membaca dengan seksama dan tampak gelisah. "Ini… mungkin ada kaitannya dengan kelompok itu. Mereka bisa saja terlibat dalam penculikan ini, mencoba menarik perhatian lebih besar."
Diana merasakan tubuhnya merinding mendengar perkataan Adrian. Penculikan? Itu berarti bahaya yang mereka hadapi jauh lebih serius daripada yang mereka duga.
"Kalau benar begitu, kita harus berhati-hati," kata Diana. "Tapi apa yang bisa kita lakukan? Aku nggak bisa terus hidup dalam ketakutan."
Adrian menatapnya, tampak serius. "Kita harus mencari cara untuk menghentikan mereka. Tidak hanya untuk kita, tetapi untuk orang lain juga. Mereka tidak boleh terus berjalan seperti ini."
Setelah beberapa hari penuh kekhawatiran, Diana akhirnya memutuskan untuk mengunjungi Nanda, meski jarak yang memisahkan mereka semakin jauh. Diana merasa bahwa Nanda mungkin tahu sesuatu yang bisa membantu mereka mengungkap kebenaran di balik kelompok tersebut. Setelah berkomunikasi lewat pesan singkat, Nanda setuju untuk bertemu di sebuah tempat yang aman di luar kota.
Namun, perjalanan menuju tempat itu bukanlah hal yang mudah. Diana dan Adrian harus berhati-hati agar tidak menarik perhatian. Di tengah perjalanan, mereka berdua merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Setiap suara mobil yang mendekat atau langkah kaki yang terdengar di kejauhan membuat mereka waspada. Mereka tahu bahwa kelompok itu mungkin masih mengawasi mereka.
Akhirnya, setelah perjalanan panjang, mereka sampai di tempat yang dijanjikan. Nanda menunggu di sudut kafe yang sepi, dan begitu melihat Diana, ia segera mendekat.
"Nanda!" seru Diana, menghampiri sahabatnya dengan cepat. "Apa yang sebenarnya terjadi? Ada yang harus aku ketahui."
Nanda tersenyum tipis, tetapi raut wajahnya menunjukkan kecemasan yang mendalam. "Aku… aku nggak tahu harus mulai dari mana. Mereka sangat berbahaya, Diana. Kelompok itu bukan hanya sekedar geng, mereka memiliki jaringan yang sangat besar, bahkan lebih besar dari yang kamu bayangkan. Mereka bisa mengendalikan hampir segala sesuatu."
Diana mendengarkan dengan seksama, semakin terkejut dengan setiap kata yang keluar dari mulut Nanda. "Tapi, kenapa kamu harus meninggalkan semuanya? Apa yang mereka lakukan padamu?"
Nanda menghela napas panjang. "Mereka… mengancam keluargaku. Mereka bilang, kalau aku nggak ikut dengan mereka, orang yang aku cintai akan menjadi sasaran. Aku nggak punya pilihan, Diana. Mereka sangat kuat."
Diana merasakan hatinya hancur mendengar penjelasan Nanda. Ia tidak bisa membayangkan betapa sulitnya keputusan yang harus diambil sahabatnya. "Aku… aku nggak bisa membiarkan kamu melarikan diri sendirian. Kita harus menemukan cara untuk mengalahkan mereka."
Adrian yang sejak awal mendengarkan dengan cermat, akhirnya berbicara. "Nanda, kamu nggak sendirian. Diana dan aku akan membantu. Kita bisa cari cara untuk menghentikan mereka. Tapi kita butuh informasi lebih banyak. Semakin banyak yang kita tahu, semakin besar peluang kita untuk melawan mereka."
Nanda terdiam sejenak, tampak ragu. "Aku ingin membantu, tetapi aku nggak yakin apakah aku bisa melakukan apa-apa. Mereka memantau setiap langkahku."
Diana menggenggam tangan Nanda dengan lembut. "Kamu sudah berani dengan langkah pertama ini. Kami akan menemukan cara untuk menghentikan mereka, dan kita akan melakukan ini bersama-sama."
Dengan tekad yang bulat, ketiganya mulai menyusun rencana untuk mengungkap lebih banyak tentang kelompok tersebut. Mereka tahu bahwa risiko yang mereka hadapi sangat besar, tetapi mereka tidak bisa lagi berdiam diri. Waktu semakin sempit, dan jika mereka tidak bertindak sekarang, lebih banyak orang akan menjadi korban.
Namun, mereka juga tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Setiap langkah yang mereka ambil bisa membawa mereka lebih dekat dengan bahaya yang lebih besar. Diana memandang Adrian dan Nanda dengan tekad di matanya, merasa bahwa ini adalah momen yang akan mengubah hidup mereka selamanya.
Setelah pertemuan dengan Nanda, ketiganya sepakat untuk mulai merencanakan langkah-langkah yang bisa mereka ambil untuk mengungkap dan menghentikan kelompok misterius yang telah mengancam mereka. Diana dan Adrian merasa mereka semakin terjebak dalam permainan berbahaya, namun mereka juga tahu bahwa tidak ada jalan mundur. Mereka harus melawan, demi keselamatan mereka dan orang-orang yang mereka cintai.
Adrian mengusulkan untuk mulai mencari informasi lebih dalam tentang kelompok tersebut. "Kita harus menemukan sumber mereka," katanya. "Jika kita tahu siapa yang mendanai mereka atau apa yang mereka inginkan, kita bisa lebih mudah menghentikan mereka."
Diana mengangguk setuju. "Aku akan coba cari tahu lebih banyak di sekolah, mungkin ada orang yang tahu sesuatu. Mungkin mereka sudah merambah ke sini, atau bahkan beberapa teman kita terlibat tanpa sadar."
Nanda terlihat ragu, namun ia tak bisa menahan diri. "Aku… aku bisa coba cari tahu lebih banyak juga. Aku masih punya koneksi dari dulu, meskipun aku sudah keluar dari mereka. Aku akan berusaha semampuku."
Setelah pertemuan itu, mereka kembali berpisah untuk menjalankan tugas masing-masing. Diana dan Adrian kembali ke sekolah, di mana suasana terasa semakin tidak aman. Meski mereka berusaha bersikap tenang, mata-mata kelompok tersebut bisa saja berada di antara mereka. Diana mulai merasa paranoid, setiap orang yang lewat bisa saja menjadi ancaman.
Selama beberapa hari ke depan, Diana dan Adrian sibuk mencari petunjuk yang bisa mereka gunakan untuk melawan kelompok tersebut. Di sekolah, Diana mulai berbicara dengan beberapa teman yang terlihat tidak biasa, mencoba menggali informasi lebih dalam. Beberapa teman sekelas tampaknya menghindarinya atau tampak gelisah ketika ia bertanya soal rumor atau kejadian aneh yang berhubungan dengan kelompok itu.
Suatu siang, saat Diana sedang berada di kantin bersama Adrian, ia melihat seorang siswa baru yang tampaknya sedang mengawasi mereka dari kejauhan. Siswa itu tampak tidak terlalu mencolok, namun ada sesuatu dalam cara dia memperhatikan mereka yang membuat Diana merasa curiga.
"Adrian, lihat itu. Siswa baru di pojok sana," bisik Diana, menunjuk ke arah siswa tersebut. "Apa menurutmu dia tahu sesuatu?"
Adrian menatap siswa itu dengan seksama. "Aku nggak tahu, tapi dia memang tampak aneh. Kita harus hati-hati."
Mereka pun memutuskan untuk mendekati siswa itu secara tidak langsung. Mereka tidak ingin menarik perhatian, namun juga harus memastikan apakah orang itu terlibat dalam kelompok yang mereka hadapi. Setelah beberapa jam, mereka akhirnya memutuskan untuk mengikuti siswa tersebut setelah jam sekolah.
Saat mereka mengikuti, mereka menemukan bahwa siswa tersebut berjalan menuju sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Diana dan Adrian saling pandang, merasa ragu apakah mereka harus terus mengikuti. Namun, rasa ingin tahu mendorong mereka untuk terus mengintai. Mereka berdiri di seberang jalan, bersembunyi di balik sebuah pohon besar, mengamati siswa tersebut yang memasuki kafe.
Beberapa menit kemudian, Diana melihat dua pria yang mereka kenali muncul dari dalam kafe dan bertemu dengan siswa baru itu. Salah satu dari pria itu adalah bagian dari kelompok yang telah mengancam mereka sebelumnya. Itu adalah saat yang menentukan. Diana merasa jantungnya berdegup lebih cepat.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Adrian, suaranya terdengar serius.
Diana menatapnya dengan tegas. "Kita harus tahu apa yang sedang mereka rencanakan. Aku akan masuk ke dalam dan mencoba mendengar percakapan mereka."
Adrian tampak khawatir. "Diana, ini terlalu berbahaya. Mereka bisa saja melihat kita."
Diana tahu itu, namun ia juga tahu bahwa mereka tidak bisa terus bersembunyi. "Aku akan hati-hati. Jika terjadi apa-apa, kamu harus segera lari ke kantor polisi."
Adrian menghela napas dan akhirnya mengangguk. "Baiklah. Tapi aku nggak bisa jauh dari kamu."
Diana kemudian bergegas menuju kafe tersebut. Ia berusaha tetap tenang dan tidak menarik perhatian. Setibanya di dalam, ia memilih meja yang agak jauh dari tempat di mana tiga orang itu duduk, namun cukup dekat untuk mendengar percakapan mereka.
Siswa baru itu tampaknya sedang berbicara serius dengan dua pria tersebut. Diana mengatur posisi duduknya agar bisa mendengar percakapan mereka. Tanpa sadar, ia menggigit ujung kukunya, menahan rasa cemas.
"Apa kabar, Max?" salah satu pria itu berkata dengan suara rendah. "Kamu tahu apa yang harus dilakukan, kan? Jangan sampai kamu mengecewakan kami."
Max, siswa baru itu, mengangguk dengan cepat. "Aku mengerti. Mereka sudah mulai curiga, tapi aku akan pastikan Diana dan Adrian tetap dalam kendali kami. Aku akan membuat mereka terjebak lebih dalam."
Diana hampir terjatuh dari kursinya ketika mendengar nama mereka disebut. Jantungnya berdegup kencang. "Apa yang dia maksud dengan 'terjebak lebih dalam'?" gumam Diana dalam hati.
Pria kedua yang duduk di meja itu mengangkat cangkir kopinya dan berkata, "Bagus. Pastikan mereka tidak bisa pergi kemana-mana. Kita tidak bisa membiarkan mereka menyusup ke dalam organisasi ini. Kalau perlu, kita ambil langkah lebih drastis."
Diana terkejut mendengar perkataan itu. Mereka benar-benar sedang merencanakan sesuatu yang lebih besar dan berbahaya.
Akhirnya, setelah percakapan itu berakhir, Diana keluar dari kafe dengan cepat, berusaha tidak terlihat. Begitu keluar, ia segera menemui Adrian yang menunggu di seberang jalan.
"Adrian, kita harus segera bertindak. Mereka sedang merencanakan sesuatu yang lebih buruk, dan kita harus menghentikan mereka sebelum terlambat," kata Diana dengan napas terengah-engah.
Adrian menatapnya dengan serius. "Aku setuju. Kita nggak bisa menunggu lagi. Kita harus mencari cara untuk melawan mereka."
Namun, meskipun semangat mereka untuk melawan semakin besar, Diana tahu bahwa mereka sedang menuju ke arah yang sangat berbahaya. Setiap langkah mereka semakin mendekat ke dalam perang yang tak terlihat ini, dan mereka hanya bisa berharap bahwa mereka akan mampu keluar hidup-hidup.