"Hanya satu tahun?" tanya Sean.
"Ya. Kurasa itu sudah cukup," jawab Nadia tersenyum tipis.
"Tapi, walaupun ini cuma pernikahan kontrak aku pengen kamu bersikap selayaknya istri buat aku dan aku akan bersikap selayaknya suami buat kamu," kata Sean memberikan kesepakatan membuat Nadia mengerutkan keningnya bingung.
"Maksud kamu?"
"Maksud aku, sebelum kontrak pernikahan ini berakhir kita harus menjalankan peran masing-masing dengan baik karena setidaknya setelah bercerai kita jadi tau gimana rasanya punya istri atau suami sesungguhnya. Mengerti, sayang!"
Loh, kok jadi kayak gini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Araya Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berbohong
Ya. Itu momen yang sangat indah jika saja menjadi kenyataan karena yang terjadi sebenarnya adalah ....
"Hei, Sean! Kamu gak apa-apa?" tanya Nadia.
"Hapeku jatuh di kolong tempat tidur," jawab Sean menoleh ke arah Nadia.
Ya ampun. Nadia sudah berpikir jika Sean mungkin takut pada suara petir dan guntur di luar sana sampai pria itu meringkuk di sebelah tempat tidur.
Sepertinya Nadia harus mengurangi membaca terlalu banyak novel romantis. Tapi, masalahnya hanya itu hiburan Nadia satu-satunya. Menonton tv? Nadia paling tidak suka menonton serial tv. Bahkan wanita itu sudah lupa kapan terakhir kali dia menonton tv.
"Aku pinjam hapemu dulu ya," kata Sean mengambil ponsel Nadia tanpa persetujuan lalu mengarahkan ponsel itu ke arah kolong tempat tidur. Pria itu pun sibuk mencari ponselnya sambil sesekali menggerutu karena tak menemukannya.
Jujur saja Nadia agak kecewa karena apa yang baru saja terjadi hanya khayala belaka. Tidak hanya kecewa sih, malu juga karena, kok bisa Nadia berpikir seperti itu tentang Sean?
Mana mungkin pria gagah seperti Sean akan takut pada suara petir dan guntur. Nadia saja tidak takut kok.
Aduh! Memalukan sekali. Nadia sampai memejamkan mata sambil mengutuk dirinya sendiri dalam hati.
"Ketemu!" teriak Sean agak kuat membuat Nadia terlonjak kaget.
"Makasih ya," katanya lagi memberikan ponsel Nadia sembari tersenyum manis di tengah cahaya temaram ponsel.
Nadia tidak menjawab dan langsung mengambil ponselnya agak kasar dengan raut wajah ditekuk. Setelahnya dia pun naik ke atas tempat tidur, menarik selimut tebal itu lalu berbaring dengan posisi membelakangi Sean. Pria itu jadi agak bingung. Kenapa Nadia tampak marah? Memangnya dia berbuat kesalahan?
Ah, sudahlah. Lebih baik sekarang Sean memeriksa hasil foto yang dia ambil tadi, menyimpannya dalam satu file agar saat mendapat sinyal dia bisa langsung bisa mengirimkannya ke Dominic.
***
Jika biasanya suara alarm yang akan membangunkan Nadia, kali ini suara burung serta hewan-hewan kecil yang membuatnya terbangun. Wanita itu merentangkan tubuhnya sebelum bangkit dari tempat tidur. Dia menoleh ke arah samping di mana Sean masih terlelap.
Damai sekali wajah Sean ketika sedang tidur. Membuat Nadia tidak bisa menahan senyumnya untuk terbit melupakan kejadian semalam dimana dirinya membayangkan Sean yanh takut suara kilat dan guntur. Dia menarik selimut untuk menyelimuti pria itu sementara dirinya akan bangun dan membersihkan diri.
Itu rencana yang sangat bagus andai saja air di dalam kamar mandi sederhana yang hanya ditutupi oleh kayu yang sudah mulai lapuk itu tidak berwarna coklat. Alias airnya bercampur dengan lumpur. Mood Nadia seketika rusak.
"Terus gimana caranya aku mandi?" gumamnya kecewa.
Tok...tok...tok.
Seseorang mengetuk pintu utama membuat Nadia beranjak untuk membuka pintu. Dia yang tadinya memasang wajah masam langsung tersenyum melihat seorang wanita paruh baya berdiri di sana sambil tersenyum ramah.
"Eh, Neng Nadia udah bangun. Saya kira belum," kata wanita itu.
"Udah, Bu. Ada apa ya?" tanya Nadia.
"Airnya pasti keruh ya?" Mendengar pertanyaan itu membuat Nadia berpikir jika warga di sana pasti sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini.
"Iya, Bu," jawab Nadia dengan senyum canggung.
"Itu udah biasa kalo habis hujan lebat," kata wanita itu. "Neng Nadia pasti mau mandi kan?" tanyanya kemudian yang dijawab anggukan kepala oleh Nadia.
"Ya udah kalo gitu Neng Nadia ikut sama kami aja. Di dekat sini ada sumur. Di sana airnya gak keruh. Bagus buat mandi," ajak wanita itu.
Saat ibu itu berkata kami, Nadia sempat bingung namun ketika dia melihat ke arah belakang ternyata wanita itu tidak sendiri. Mungkin ada sekitar lima orang wanita lain lagi di sana, melambai pada Nadia.
Sebenarnya Nadia malas dan berencana ingin menunggu sampai air kembali normal namun melihat ketulusan para warga yang sudah bela-belain memanggilnya membuat Nadia tidak punya pilihan lain kecuali mengiyakan ajakan mereka.
Sumur yang mereka maksud itu cukup jauh dari pemukiman namun hal itu tidak terasa karena para warga terus mengajak Nadia bicara. Bertanya bagaimana kehidupan di kota.
Saat sampai di sana mereka pun bergiliran untuk mandi. Sembari menunggu, Nadia berjalan sambil melihat-lihat sekitar tempat yang dikelilingi banyak sekali pohon besar. Hingga Nadia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Dia pun melangkah tanpa sadar mendekati benda itu.
"Apa ini?" gumam Nadia pelan melihat sebuah batu berwarna merah gelap di bawah pohon. Cukup lama Nadia memperhatikan batu tersebut sembari membolak-baliknya.
"Neng Nadia!" panggil salah satu ibu-ibu di sana.
"Iya!" sahut Nadia tanpa sadar mengantongi batu tadi.
Nadia merasa sangat segar setelah membersihkan dirinya. Meski air dari sumur itu sangat dingin membuat Nadia tadi sempat menggigil. Namun setelah berjalan bersama ibu-ibu menuju rumah masing-masing, perlahan rasa dingin itu mulai menghilang.
"Neng Nadia katanya lagi hamil ya?" celetuk ibu yang tadi memanggil Nadia ke sumur.
"Hah!" Nadia kaget, tentu saja!
Mata dan mulutnya sampai terbuka lebar di sana. Lidahnya terasa kelu karena tidak tahu harus menjawab apa.
"Oh ya? Ibu tahu dari mana?" tanya ibu yang lain penasaran.
"Dari suaminya Neng Nadia," jawab ibu itu.
"Wah! Selamat ya! Emang udah jalan berapa bulan, Neng?" tanya yang lain membuat Nadia semakin tak tahu harus berkata apa. Sean benar-benar. Kenapa dia harus mengatakan jika Nadia sedang hamil sih?
"Kayaknya baru deh. Soalnya kemarin saya liat Neng Nadia muntah-muntah."
Oh jadi karena itu. Padahal saat itu kan Nadia sedang mabuk laut dan bukannya hamil. Wanita itu hanya bisa menghela napas panjang membiarkan para ibu-ibu itu berspekulasi sendiri.
"Oh ya ampun. Jadi beneran baru dong ya kalo masih muntah-muntah," timpal yang lain sementara sisanya hanya mengangguk pelan.
"Neng Nadia udah gak apa-apa? Masih mual?" tanya salah satu dari mereka pada Nadia yang sejak tadi hanya bisa diam. Jujur saja dia bingung harus menjawab apa.
Jujur? Entah kenapa Nadia merasa tidak enak hati. Padahal seharusnya dia jujur saja jika dirinya tidak hamil.
"Udah gak apa-apa kok." Namun pada akhirnya Nadia harus mengikuti alur saja. Meski sebenarnya dia tidak enak harus berbohong pada warga yang sudah sangat baik padanya. Ini semua gara-gara Sean. Lihat saja nanti dia akan menyuruh pria itu bertanggung jawab jika nanti mereka ketahuan berbohong.
"Kalo masih mual, nanti saya bikinin obat. Neng---"
"Saya udah gak apa-apa kok, Bu. Beneran," potong Nadia dengan cepat.
"Oh ya udah kalo gitu." Wanita itu terlihat sedikit canggung meski tetap tersenyum tipis ke arah Nadia. Dia tidak berniat membantah hanya saja Nadia tidak ingin merepotkan para warga lagi. Apalagi dirinya tidak benar sedang hamil.
****