Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
"Akhirnya saya menemukan anak berbakat di kampus ini!"
Aline terkejut dan menengok ke sebuah suara yang tiba-tiba muncul di pintu keluar aula itu.
"Kau!" pria itu menunjuk ke arah Aline.
"Saya sudah melihat dan mendengar semua yang kau katakan tadi. Saya tertarik dengan konsep yang kau miliki. Dan, saya akan membeli desainmu. Ah, tidak, bagaimana kalau saya langsung mengajakmu bekerja sama dengan perusahaan saya? Mrs. Laura juga pasti tidak keberatan, kan, jika saya mengambil gadis ini?"
Aline membelalakkan matanya.
Itu Luna... Luna Takahashi!
Mrs. Laura maju selangkah, dan berdiri di depan Luna. "Apa kamu yakin ingin memilihnya? Dia itu hanya mahasiswa baru di kampus ini. Di kampus ini masih banyak anak berbakat yang pantas mendapatkan perhatian kamu. Apa kamu tidak akan menyesal nantinya?"
Luna Takahashi berjalan melewati barisan di belakang ke depan, ia melihat-lihat sketsa kasar yang dibuat oleh mahasiswa baru lainnya, dan terdiam sejenak. Matanya terpaku pada satu buku yang terbuka di lantai. Itu buku sketsa Aline. Buku itu berisi sekumpulan sketsa pakaian yang telah dibuat Aline selama lima tahun ke belakang.
Luna tersenyum saat ia melihat nama Aline tertera di bagian depan sampul bukunya. "Saya rasa itu tidak masalah. Justru karena anak itu masih mahasiswa baru, saya jadi bisa mengajarinya di bawah pengawasan saya sendiri, kan?"
"Tapi dia—"
"Ssst!" Pria itu menghentikan Mrs. Laura. Ia tidak suka berdebat panjang apalagi di hadapan para mahasiswa itu.
"Saya menginginkan anak ini." Pria itu berkata dengan tegas.
Mrs. Laura tercengang. "Kamu tidak akan mengadakan seleksi terlebih dahulu?"
Pria itu tidak menjawab tetapi melangkah mendekati Aline. "Siapa namamu, Nak?"
"A, Aline. Alinea Prasasti." Aline menjawab dengan ragu.
“Alinea. Nama yang bagus, sepertinya aku pernah mendengar nama itu sebelumnya. Tapi di mana, ya..."
Aline menunduk. Tangan dan wajahnya mulai berkeringat.
"Berapa umurmu sekarang?”
Deg.
Jantung Aline berdegup kencang saat sosok pria itu melangkah mendekatinya. Mata Aline hampir tidak bisa berkedip. Aroma parfum woody yang kuat menyebar hingga ke seluruh ruangan. Pria bertopi pandora itu mengulurkan tangannya, menyentuh lengan Aline dengan lembut. Bersalaman dengannya. Kala itu, Aline merasakan tangannya terasa dingin seperti salju.
Pria itu memiringkan kepalanya. “Kenapa wajahmu terlihat pucat? Kamu baik-baik saja?”
Aline menahan napas. Dia ingin berbicara tetapi tenggorokannya terasa kering. Semua mata yang menatapnya di dalam ruangan itu terasa seperti sedang mengintimidasinya.
“Kenapa? Apa kamu tidak ingin memberitahu saya soal umurmu?”
Pria ini sudah sangat dekat dengan Aline, tetapi kaki Aline tidak lagi kuat.
Tidak. Tolong jangan sekarang…
“Aline!” Raga berlari masuk.
Aline tiba-tiba menjadi tidak stabil. Tubuhnya oleng ke samping, ditangkap oleh Ode dan didudukkan di kursi. Wajah Aline pucat pasi, dipenuhi keringat-keringat dingin.
"Mrs. Laura, ada apa dengannya? Apa ada yang salah?"
Mrs. Laura hanya menggeleng.
Mulut Aline menggumamkan sesuatu kepada pria itu. Pria itu mendekat dan tampak terkejut mendengar ucapan Aline. Pria itu melirik Mrs. Laura, sorot matanya tampak marah.
Ode dan Stev kesulitan menahan Aline yang mulai tidak sadarkan diri.
"Aline... cukup, cukup! Jangan banyak bicara lagi. Kamu minum obat ini, ya." Ode menyodorkan dua pil dan sebotol air mineral kepada Aline.
Pria itu kembali menggeleng seolah tak percaya, lalu rombongan mereka meninggalkan aula.
"Kak Ode," Aline mengerjap, ia baru saja terbangun dan mendapati dirinya bersandar di ranjang putih.
Aline tersentak saat melihat jam menunjukkan pukul tujuh malam. "Kak, apa yang terjadi padaku?"
"Ssst..." Ode menggeleng, menyuruh Aline untuk diam.
"Kamu jangan banyak mikir sekarang. Tiduran saja dulu. Aku udah bilang sama Raga buat siapin mobil dan nganterin kamu pulang," Ode menyeka keringat Aline dengan tisu.
"Apa tadi aku mengatakan sesuatu?" tanya Aline, wajahnya terlihat khawatir.
Ode terdiam sejenak. Tenggorokannya terasa kering. Ode menelan ludahnya berulang kali. Ia gugup.
"Kak?" Aline menatap Ode dengan serius. Sepasang matanya seolah memohon pada Ode untuk mengatakan hal yang sebenarnya.
Ode tidak tega melihat Aline kebingungan seperti itu. Gadis itu tidak berdaya. Melihat Aline seperti ini membuat Ode teringat pada ayahnya yang kini terbaring di panti jompo. Akhirnya, setelah mempertimbangkan risikonya, Ode menganggukkan kepalanya. Kemudian gadis itu menceritakan semua yang terjadi di aula siang itu.
Aline cukup kaget. Jantungnya hampir copot setelah mendengar pengakuan Ode.
"Jadi, aku...."
Ode mengangguk lemah. "Tapi untung saja aku bisa menemukan obatnya di saku bajumu." Pungkas Ode sambil menyodorkan tas Aline.
"Aku sudah mengemas semuanya di sini. Termasuk buku sketsa dan jaket kamu."
Aline tidak bicara lagi. Ia hanya merenung dan meneteskan air matanya.