Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 24
Seorang wanita cantik bersembunyi di balik pintu, mengintip keluar rumah dimana seorang lelaki sedang berbincang dengan ibunya. Saat lelaki itu tersenyum, reflek garis bibirnya tertarik ke atas, entahlah kenapa dia bisa secinta ini pada lelaki itu. Lelaki yang ia tahu tak pernah memiliki perasaan yang sama dengannya.
Meski begitu ia tetap berharap, ia yakin pelangi akan datang selepas badai menerjang. Dan mungkin itu hari ini, ia memantapkan hati untuk keluar dari persembunyian, hendak menyapa ibu dan anak yang tampak saling melepas rindu itu. Namun, langkahnya terhenti saat seorang wanita keluar dengan nampan berisi kopi panas dan teh. Wanita itu tersenyum manis kala lelaki incarannya membantu menghidangkan nampan di atas meja.
“Terima kasih, Sayang,” ucapnya. Kalimat pendek yang menghujam tepat di jantung Meylani.
Wanita dengan panggilan sayang itu mencoba menggelitik pinggang Bagas, dan keduanya pun tertawa bersama. Ya, lelaki itu adalah Bagas bimantara, putra tunggal nenek Ratih dan mbah Samiran. Sementara wanita yang bersama mereka adalah Sukma, kekasih Bagas yang dibawanya dari kota.
“Terima kasih loh Nduk, karena kamu ibu sampai terkejut melihat anak ini, seolah dia menjadi orang lain,” ucap nenek Ratih menepuk pundak putranya yang hanya tersenyum. “Kalau kamu tahu, ibu dan bapak sudah ampun-ampun ngadepin tingkah anak satu ini. Makanya kami bawa ke pesantren aja sekaligus kuliah di kota, eh malah bikin ulah terus.”
“Benar Sukma yang dikatakan istriku, dalam sebulan bisa empat kali bapak dibuatnya pergi ke pesantren karena ulahnya, tapi kok aneh beberapa bulan ini nggak ada lagi panggilan. Eh ternyata karena kamu, terima kasih loh Nak. Bagas berubah di tanganmu.” Mbah Samiran yang sedang mencuci motor di depan rumah ikut berkomentar.
“Makanya Pak, Buk, restui kami. Bagas insya Allah mau menikahi dik Sukma, iya kan Dik?”
Sukma tersipu malu, apalagi calon mertuanya itu malah tertawa mendengar ucapan Bagas padanya. Tanpa diketahui mereka, wanita di rumah sebelah menangis pilu mendengar percakapan ini.
Ya, Meylani jatuh cinta pada tetangganya sejak mereka masih duduk di bangku SMP. Tapi ia tak memiliki keberanian sama sekali, hingga malam kelam itu pun tiba. Bagas yang memang terkenal nakal dan urakan datang ke acara sedekah desa sebelah, saat itu gadis dengan nama kecil Memey itu sedang mengikuti Lani sahabatnya, sang biduan kampung yang tengah manggung disana.
Memey melihat Bagas minum minuman keras dan mabuk di belakang panggung, tentu saja ia tak tega menyaksikan lelaki yang dicintainya terkapar tak berdaya di atas tanah. Dengan tekad bulat dan kekuatan terbatas, Memey menyeret tubuh Bagas menuju sebuah gudang kosong, membiarkan lelaki itu beristirahat sejenak sebelum acara selesai.
Namun, rupanya ia tak tahan melihat Bagas yang membuka pakaian karena kepanasan. Memey memeluk Bagas dan menciumnya, tentu saja jiwa lelaki Bagas meresponnya meski lelaki itu sedang tak sadar sekalipun. Keduanya terbuai dalam perbuatan dosa, tertidur bersama hingga pagi tiba.
Bagas lah yang bangun terlebih dulu, ia terkejut melihat tubuhnya yang polos. Terlebih saat melihat kesamping dan menemukan Memey disana dalam keadaan sama. Bagas memilih kabur, ia benar-benar tidak mengingat apa yang terjadi, ia terlalu takut mengingat watak bapak Memey seperti apa.
Bagas pulang, bapak dan ibunya murka sebab lelaki itu pulang dalam keadaan tubuh berbau alkohol. Mbah Samiran dan nenek Ratih pun sepakat memasukkan putranya ke pesantren, sebelum sang putra terjerumus semakin dalam. Sejak itu juga, Bagas tak lagi berjumpa Memey. Ia tak tahu dan tak mau tahu kabar tetangganya itu.
Hingga hari ini, ia pulang untuk mengenalkan kekasihnya pada keluarga. Memey melihat sendiri bagaimana sumringahnya Bagas saat mengatakan akan menikahi Sukma.
Memey berlari ke kamar, menangis di atas ranjang sambil mengusap perutnya yang besar. Wanita itu bingung harus berbuat apa, ia mencoba mencari cara untuk menggagalkan pernikahan Bagas dan Sukma, dan cara satu-satunya adalah membiarkan Bagas tahu ia tengah hamil anaknya. Dengan begitu, ia yakin Bagas akan menerimanya, barulah langkah selanjutnya ia akan meminta restu bapak dan ibu Bagas yang telah merawatnya selama ini.
Memey meraih bolpoin dan kertas, menuliskan sebuah fakta tentang kehamilannya disana. Lantas memasukkan kertas itu dalam sebuah buku hamil beserta sebuah tespek. Memey lantas mengendap di samping kamar Bagas, ia melihat jendela kamar lelaki itu terbuka.
Lantas meletakkan buku hamil di sana, ia berharap Bagas segera menemukannya, dan membaca pesan yang ia tulis untuknya. Tapi sungguh disayangkan, buku hamil justru ditemukan mbah Samiran.
Mbah Samiran membuka buku dan membaca surat di dalamnya, lelaki sepuh itu begitu terkejut dan memutuskan menyembunyikan fakta ini dari istri dan putranya. Ia tak ingin masa depan sang putra hancur, apalagi Bagas baru saja kembali ke jalan yang benar dan akan segera menikah dengan gadis sebaik Sukma.
Nenek Ratih menangis tergugu, ceritanya berakhir disitu. Wanita itu berdiri dan duduk bersimpuh dibawah kaki menantunya, tak dapat dipungkiri ada perasaan lega dan rasa bersalah yang berjalan beriringan.
“Maafkan Ibu, Nduk… ibu terlambat mengetahuinya, ibu tahu setelah bapak Bagas meninggal, dan ibu pun memutuskan untuk diam seperti bapak, karena tak ingin merusak kebahagiaan keluargamu," ucapnya berbalik menatap Nadira.
"Nadira, maafkan ayahmu Nak. Dia tak bersalah, ini semua kesalahan kakek dan nenekmu yang tak becus ini. Maaf…” Nenek Ratih hendak bersujud, tapi Sukma segera menahannya. Wanita itu lantas berdiri dan masuk ke dalam kamar, Nadira hanya memandang pintu kamar ibunya dengan perasaan tak menentu.
Fakta yang didengarnya ini masih belum bisa dipercaya olehnya, ayah yang dikenalnya sebagai lelaki yang taat agama memiliki masa lalu sekelam ini, kekaguman dan rasa cinta dihatinya mendadak terasa hambar. Tidak hilang, namun sulit terlihat.
Kyai Usman menepuk pundak Wijaya, beliau memilih undur diri untuk sementara waktu. Keluarga nenek Ratih butuh menenangkan diri saat ini.
“Mas Jaya, ini ada air tolong siramkan di seluruh rumah ya. Dan pastikan semua penghuni rumah juga meminumnya sebelum tidur, insya Allah malam ini tak akan ada lagi gangguan. Besok saya akan datang lagi, baru nanti kita bicarakan kembali rencana selanjutnya.
Yang jelas rumah ini perlu dipagari, semua belum selesai Mas. Tapi, mas dan keluarga butuh istirahat. Terutama kamu, Nduk… Nadira, jangan melamun. Tidur saja ya Nak, istirahat. Kalau perlu memarnya itu dikompres pakai air es, biar cepat hilang dan meredakan rasa sakitnya.”
Nadira mengangguk samar, tak lupa mengucapkan terima kasih. Kyai Usman pun keluar rumah setelah berpamitan pada mereka. Beliau sempat terkejut saat membuka pintu, melihat Rendra dan Indra menempelkan daun telinga di depan pintu. Kyai Usman pun reflek menjewer telinga dua santrinya itu, lantas mengajak mereka bersama-sama pulang ke pesantren.
.
Tbc