Ratri Swasti Windrawan, arsitek muda yang tidak ingin terbebani oleh peliknya masalah percintaan. Dia memilih menjalin hubungan tanpa status, dengan para pria yang pernah dekat dengannya.
Namun, ketika kebiasaan itu membawa Ratri pada seorang Sastra Arshaka, semua jadi terasa memusingkan. Pasalnya, Sastra adalah tunangan Eliana, rekan kerja sekaligus sahabat dekat Ratri.
"Hubungan kita bagaikan secangkir kopi. Aku merasakan banyak rasa dalam setiap tegukan. Satu hal yang paling dominan adalah pahit, tetapi aku justru sangat menikmatinya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Ciuman Ketiga Kali
"Kenapa? Apa yang Elia lakukan?" tanya Ratri penasaran.
Sastra tersenyum samar, lalu mengepulkan asap rokok yang baru disulut. Dia meneguk sisa minuman dalam kaleng, sebelum bercerita.
"Aku lebih banyak menghabiskan waktu di Skotlandia. Intensitas pertemuan kami hanya beberapa kali dalam satu tahun. Namun, selama itu aku berusaha jadi pacar yang baik. meskipun terkadang sangat berat. Astaga! Aku pria normal. Yang benar saja." Sastra tersenyum aneh.
"Lalu? Apakah seperti yang Elia pikirkan?" tanya Ratri lagi, tanpa mengalihkan perhatian dari pria yang tengah mengisap rokok itu.
Sastra mengerti maksud ucapan Ratri. Dia menggeleng pelan. "Tentu saja tidak. Sudah kukatakan tadi," sanggahnya.
Namun, Ratri justru menatap tidak percaya. Dengan apa yang Sastra lakukan saat ini terhadap dirinya, membuat citra pria setia jadi tak terlihat lagi. "Siapa yang tahu?"
"Ya, Tuhan. Keras kepala sekali." Sastra tersenyum, menanggapi sikap Ratri.
"Aku bukan Elia yang dibutakan cinta. Setampan dan sekeren apa pun Sastra Arshaka, itu bukan jaminan dia bisa berkuasa penuh atas diriku," ujar Ratri cukup tegas.
"Sungguh? Kamu yakin? Kita lihat saja nanti."
"Aku hanya tidak mau terlihat bodoh."
"Semua orang memiliki sisi bodoh dalam dirinya. Kita tidak sesempurna seperti yang diharapkan."
Ratri hanya menanggapi dengan senyum tipis. Wanita itu terdiam sejenak, sebelum kembali pada topik pembicaraan. "Bagaimana kelanjutannya?"
"Apa?"
"Ceritamu tadi."
Sastra tersenyum, lalu mematikan sisa rokok dalam asbak. "Ya, seperti itu. Awalnya, aku hanya melakukan keisengan. Aku meminta seorang teman lama untuk memata-matai Elia. Ternyata, itu jadi hal terbodoh yang pernah kulakukan," sesalnya.
"Dalam beberapa waktu terakhir, Elia terlihat bersama pria lain. Menurut temanku, kebersamaan mereka terbilang intens," tutur Sastra lagi.
"Kamu percaya begitu saja?"
"Aku tidak tahu. Aku harus memastikan terlebih dulu. Itulah kenapa kuputuskan kembali ke Indonesia. Semua demi meyakinkan diri atas segala laporan yang kuterima."
"Lalu? Apakah benar?" Ratri menatap lekat Sastra, yang tampak berat dalam memberikan jawaban. Namun, dari ekspresi pria itu, dia sudah bisa menebak tanpa harus diberi penjelasan.
"Aku tidak yakin," ucap Ratri, diiringi gelengan pelan.
"Itulah kenyataannya. Elia yang lebih dulu mengkhianatiku," tegas Sastra penuh penekanan, meskipun dengan intonasi cukup pelan.
Akan tetapi, Ratri masih terlihat tidak percaya. Meskipun baru mengenal dekat Eliana dalam satu tahun terakhir, tetapi dirinya ragu sang rekan bisa berbuat demikian.
"Elia sangat mencintaimu," ucap Ratri memberikan sedikit pembelaan, walaupun dia sendiri belum mengetahui kebenarannya secara pasti.
"Aku juga mencintainya. Namun, aku tertarik padamu," balas Sastra menanggapi tenang.
"Kamu hanya mencari pelarian," tegas Ratri. "Seperti yang dikatakan tadi. Aku hanya membuatmu tersesat. Suatu saat nanti, kamu pasti akan kembali menemukan jalan pulang, untuk kembali ke rumah yang sebenarnya."
Ratri mengembuskan napas pelan, kemudian beranjak dari duduk. Dia berdiri di tepi bukaan, yang dibatasi kaca tebal sebatas perut. Tatapan wanita itu menerawang jauh menembus pekat yang telah bertahta, berhiaskan gemerlap lampu dari bangunan-bangunan di sebelah cafe 'Secangkir Kopi'.
Melihat Ratri berdiri sambil termenung di sana, Sastra pun melakukan hal yang sama. Larut dalam pikiran tak menentu.
"Hidup ini sungguh lucu. Rasanya seperti dalam cerita komedi," ucap Ratri, setelah terdiam beberapa saat.
"Kenapa?" tanya Sastra tak mengerti.
"Semua orang menjalani hidup dalam kekonyolan. Termasuk aku. Entah sampai kapan akan seperti ini," jawab Ratri, dengan pandangan menerawang ke depan, sebelum beralih menatap Sastra. "Terkadang, aku sangat lelah," ucapnya pelan.
"Lelah atas keputusan sendiri. Sebenarnya, kamu bisa mengubah cara berpikir. Dengan begitu, pandanganmu akan sesuatu pun pasti ikut berubah."
"Aku takut," ucap Ratri. Keresahan terpancar dari sorot matanya. "Sama seperti hubungan yang kamu dan Elia jalani. Jika kalian saling mencintai, kenapa harus ada pengkhianatan? Jika kalian dituntut untuk menjaga kepercayaan, kenapa bisa melakukan kecurangan dengan begitu mudah dan tanpa ada rasa bersalah?"
"Karena tak ada satu hal pun yang sepenuhnya benar," ucap Sastra menanggapi.
Sementara itu, Eliana menemui Laras di apartemen orang tua Sastra tersebut. Tujuan arsitek muda itu ke sana tiada lain untuk berkeluh-kesah, tentang hubungan yang tengah membuatnya resah.
"Sastra terlihat biasa saja. Tante tidak melihat ada yang aneh," ujar Laras, setelah mendengar penuturan Eliana.
"Entahlah, Tante. Aku hanya merasa ada sesuatu yang berbeda. Aku yakin dia menyembunyikan sesuatu. Itulah kenapa kupikir Sastra berselingkuh," bantah Eliana tak tenang.
Namun, Laras menggeleng pelan, seakan hendak mematahkan praduga wanita muda di hadapannya. "Jangan berpikir terlalu jauh, Sayang. Itu hanya akan membuatmu lelah sendiri," tegur ibu tiri Sastra tersebut. "Jangan karena Sastra menolak acara pertunangan, lantas itu membuatmu jadi berpikir yang tidak-tidak."
"Iya, Tante. Akan tetapi, rasanya benar-benar berbeda."
Laras kembali menasihati Eliana dengan kata-kata bijak. Dia begitu lembut dalam memperlakukan kekasih Sastra tersebut.
Tanpa mereka ketahui, Carson mendengar perbincangan itu. Sebagai seorang pria sekaligus ayah kandung Sastra, tentunya dia mengenal betul seperti apa karakter sang anak.
Carson mengembuskan napas dalam-dalam, kemudian beranjak ke dalam kamar. Dia meraih telepon genggam, lalu duduk di kursi dekat jendela dengan tirai yang dibiarkan terbuka. Dicarinya kontak bernama 'My Son'.
Sementara itu, Sastra tengah berbincang dengan Ratri. Obrolan santai, tetapi cukup mendalam.
"Papaku pria setia. Dia menemani mama selama menjalani perawatan di rumah sakit. Tak pernah kudengar keluhan sedikit pun. Dia bahkan selalu tersenyum, seakan ingin memberikan energi positif agar mama tetap semangat melawan rasa sakitnya," tutur Sastra.
"Apa itu sudah lama?" tanya Ratri, setengah menghadapkan tubuh kepada Sastra.
"Ya. Ketika usiaku 21 tahun," jawab Sastra tenang. "Itu merupakan saat terberat karena aku sangat dekat dengan mama."
"Tidak sepertiku," sesal Ratri pelan.
"Kenapa?" tanya Sastra penasaran.
"Mama sering pergi tanpa pamit. Tak jarang, aku dan Asha mencarinya ke setiap bagian rumah. Namun, dia tidak ada di manapun. Suatu hari, mama benar-benar pergi dan tidak kembali," terang Ratri.
"Pergi?" Sastra menautkan alis tak mengerti.
"Ya. Pergi dalam arti sebenarnya. Dia menghilang," jelas Ratri. "Papa mengatakan bahwa mama memiliki kekasih lain. Entahlah. Aku dan Asha tidak ingin memikirkannya terlalu dalam. Kami harus mempersiapkan masa depan dengan baik, sebab hidup tidak berhenti setelah kepergian mama."
"Pemikiran yang sangat cerdas," sanjung Sastra, diiringi senyum menawan. Dia menghadapkan tubuh sepenuhnya pada Ratri.
Tak ada rasa sungkan lagi. Sastra menangkup paras cantik Ratri, kemudian melu•mat mesra bibirnya. Untuk ketiga kali di malam itu, mereka kembali berciuman.
"Suka?" bisik Sastra, bermaksud kembali mencium Ratri. Namun, dering panggilan menghentikan niatnya.
taukan ela itu pemain drama
apa prama yaa
☹️☹️
betkelas dech pokoknya
" ternyata baru kusadari sirnanya hatimu yg kau simpan untuknya
aku cinta kepadamu,aku rindu dipelukmu
namun ku keliru t'lah membunuh cinta dia dan dirimu... oh...ohh..ohhh"
😅😅😅😘✌
jangan2 emaknya ratri ibu tirinya sastra...