Zeona Ancala berusaha membebaskan Kakaknya dari jeratan dunia hina. Sekuat tenaga dia melakukan segala cara, namun tidak semudah membalikan telapak tangan.
Karena si pemilik tempat bordir bukanlah wanita sembarangan. Dia punya bekingan yang kuat. Yang akhirnya membuat Zeona putus asa.
Di tengah rasa putus asanya, Zeona tak sengaja bertemu dengan CEO kaya raya dan punya kekuasaan yang tidak disangka.
"Saya bersedia membantumu membebaskan Kakakmu dari rumah bordir milik Miss Helena, tapi bantuan saya tidaklah gratis, Zeona Ancala. Ada harga yang harus kamu bayar," ujar Anjelo Raizel Holand seraya melemparkan smirk pada Zeona.
Zeona menelan ludah kasar, " M-maksud T-Tuan ... Saya harus membayarnya?"
"No!" Anjelo menggelengkan kepalanya. "Saya tidak butuh uang kamu!" Anjelo merunduk. Mensejajarkan kepalanya tepat di telinga Zeona.
Seketika tubuh Zeona menegang, mendengar apa yang dibisikan Anjelo kepadanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
"G-Gio?" Zeona menenggak saliva susah payah. Tak menyangka bisa bertemu dengan teman sekelasnya. "Sial banget sih malam ini. Tadi ketemu lagi dengan Tuan Fabian. Sekarang, malah ketemu sama Si Gio. Cowok playboy yang menyebalkan!" Zeona menggerutu dalam hatinya.
"Lo kerja di sini ya?" Pertanyaan dari Gio berhasil mematahkan gerutuan dalam hati Zeona.
Gadis itu lekas menganggukkan kepala seraya melempar senyum kecil.
"Waw, menarik sekali!" Gio berseru diiringi kekehan merendahkan. "Jadi pelayan doang? Atau nyambi jualan serabi?" bisiknya dengan nada mencemooh. "Kalau sambil jualan serabi legit, gue mau beli dong! Gue penasaran sama rasa dari serabi cewek so jual mahal kayak lo! Masih sempit atau udah long-gar?" Perkataan Gio sudah termasuk ke dalam pele c* han verbal.
Tangan Zeona sudah gatal, ingin menampar mulut menjijikan lelaki di hadapannya ini, namun perkataan dari sang pemilik club malam berkelebatan di dalam ingatan.
"Jangan kurang ajar pada pengunjung. Jika mereka menggoda dengan kata-kata atau apalah itu, segera laporkan saja pada security. Jangan sekali-sekali membuat keributan. Apalagi membentak pengunjung tersebut. Karena saya tidak mau nama baik club ini menjadi buruk di mata para tamu! Jika salah satu dari kalian berani melanggar, maka kalian akan langsung saya berhentikan!"
Maka dari itu, Zeona hanya mampu mengepalkan kedua tangannya di sisi badan. Dia tak meladeni perkataan Gio. Bergegas pergi dari hadapan lelaki berjaket kulit hitam itu.
"Cih! Awas lo Zeona. Malam ini, lo nggak akan bisa lari lagi dari gue!" Gio menyeringai. Dia melanjutkan langkah menuju toilet sambil bersiul bahagia.
"Mudah-mudahan aku tidak berpapasan lagi dengan Si Gio playboy itu!" Zeona membuang napasnya dengan kasar. Dia kembali melanjutkan pekerjaannya. Bolak-balik mengantarkan pesanan para pengunjung.
Semakin malam, suasana di club itu semakin ramai. Penuh sesak sampai sulit untuk meregangkan badan. Tubuh ramping Zeona bergerak gesit di antara padatnya manusia yang sedang melenggak-lenggokkan badan. Asap rokok dan bau minuman beralk*hol memenuhi seluruh penjuru ruangan. Menghasilkan sesak yang menyusahkan paru-paru untuk menghirup udara segar.
Sementara itu di rumah sakit, Zalina terbangun dari tidurnya. Pendar matanya berlarian, mencari keberadaan sang adik. Saat melirik ke atas nakas, Zalina mendapati secarik kertas. Dia mengambil kertas tersebut.
Kak, aku pergi kerja dulu. Tidur yang nyenyak ya, malaikatku. Aku sayang Kakak.
Berkaca-kaca mata Zalina membaca tulisan tangan dari Zeona. "Zeo, maafkan Kakak. Karena Kakak, kamu harus mengabdikan dirimu pada orang kaya raya itu. Bekerja menjadi pesuruh di hotel miliknya. Maafkan Kakak, Zeo." Dari setitik butiran bening, bertambah menjadi rintik-rintik. Zalina terisak pilu seraya memejamkan matanya. "Tuhan ... kenapa hidup kami semenyedihkan ini?" Melempar ingatan pada saat kedua orang tuanya masih ada. Meski hidup sederhana, tapi mereka sangat bahagia. "Bapak, Ibu ... kenapa kalian begitu cepat meninggalkan aku dan Zeona. Padahal kami masih butuh kalian. Kami tersiksa hidup tanpa kehadiran kalian. Sakit Pak, Bu. Semuanya terasa sangat sulit." Zalina mencurahkan seluruh isi hatinya. Meratapi nasib dirinya dan juga Zeona.
"Ya Tuhan ... aku mohon kepada-Mu. Tolong jangan cabut dulu nyawaku sebelum Zeona menemukan pendamping hidupnya. Aku tidak mau meninggalkan dia sendirian. Aku tidak ingin Zeona menderita karena kesepian dan kesulitan." Menangis dalam kesendirian sangat menyakitkan. Apalagi dalam keadaan yang menyedihkan.
Jika dulu Zalina tidak terjerumus ke dalam dunia hina, mungkin dirinya tidak akan terkena penyakit mematikan seperti saat ini.
Seharusnya dulu, dirinya memilih pekerjaan yang halal, meskipun dengan upah seadanya. Tapi karena takut tak bisa menyekolahkan Zeona, ia jadi mengambil jalan yang salah.
Penyesalan tiada akhirlah yang kini ia rasakan. Memohon ampun pada Sang Maha Kuasa seraya melantunkan bacaan istigfar. "Ampunilah segala dosa-dosaku Tuhan. Dosa adikku juga dan berikanlah bahagia untuk Zeona." Zalina mengakhiri rintihan lisannya dengan mengusapkan kedua telapak tangan ke wajah.
Kembali merebahkan badan. "Lindungilah adikku, Tuhan. Jauhkan dia dari segala marabahaya. Aamiin!" Memejamkan mata, berusaha merajut kembali asa di dalam mimpi yang berharap akan datang dengan indah.
"Aakhh." Zalina meringis. Merasakan nyeri pada panggulnya yang seperti merontokkan tulang. Saking nyerinya, air matanya sampai berjatuhan. "Huuu ... kenapa panggulku sakit sekali?" Kedua tangannya mencengkram pinggiran hospital bed.
Untungnya, di tengah kesakitan itu, seorang Suster masuk ke ruangannya.
"Bu Zalina kenapa?" Suster tersebut langsung bertanya panik karena mendengar Zalina merintih dengan wajah sudah banjir air mata.
"Pang-gul ss-sa-ya, Sus. Pang-gul sa-ya ... sa-kit se-ka-li." Zalina menjawabnya dengan suara tersendat-sendat. Sebab kata dan air mata saling tumpang tindih bersamaan.
"Ya Tuhan ..." Suster mengelus dada. Kemudian bergerak cepat memeriksa. "Saya panggil Dokter jaga dulu." Bergegas keluar ruangan. Tak lama, Suster yang tadi sudah kembali bersama seorang Dokter wanita.
"Saya periksa dulu ya, Bu!" Dokter yang baru datang itu meminta izin.
Zalina tak bersuara, ia hanya mampu menganggukkan kepala.
Setelah diperiksa, Dokter pun memberikan obat pereda nyeri. Berangsur-angsur, rintihan Zalina yang tadinya mengudara, kini hanya terdengar berupa desisan. Hingga akhirnya perlahan-lahan memejamkan mata.
"Sepertinya, pasien sudah tidur Dokter Meta," beri tahu Suster.
Meta menganggukkan kepala. "Iya, tapi kenapa tidak ada keluarga yang menemaninya?"
"Tadi siang sih ada. Dia ke sini dibawa sama adiknya. Tapi sekarang, adiknya pergi bekerja."
Meta pun membulatkan bibir.
Mereka berdua pun keluar dari ruangan itu.
*****
"Semangat Zeona! Tinggal setengah jam lagi." Zeona menyemangati diri sendiri. Tubuhnya sudah lelah. Serasa remuk dan pegal-pegal.
"Zeo, meja nomor dua puluh!" Bartender berteriak memerintah.
"Siap Mas!" Meskipun badan lelah, tapi Zeona tetap semangat melakukan pekerjaannya.
Bola mata Zeona bergerak liar, meneliti para pengunjung yang sudah hampir teler semua. Mereka benar-benar tak punya malu. Saling bercumbu, bahkan ada yang memainkan anu. Padahal di lantas dua dan tiga ada kamar khusus untuk yang mau ninaninu, tapi ada juga dari mereka yang memilih di tempat terbuka, di sofa.
Jika bukan karena butuh uang, Zeona tak sudi bekerja di tempat penuh kemaksiatan seperti ini. Sisi warasnya ingin berhenti, tapi keadaan ekonomi memaksanya untuk tetap bertahan.
"Akhirnya ... selesai juga!" Zeona membuang napas lega. Meregangkan tangan dan juga menghentak-hentakkan kaki.
Buru-buru dia mengganti pakaiannya dengan yang tadi. Memasukan seragam kerjanya ke dalam tas. Melirik kanan dan kiri, tak ada satupun dari kelima rekan kerja wanitanya yang muncul di ruang ganti. Zeona sangat tahu, mereka pergi ke mana. Pastinya menemani para tamu menghabiskan malam bersama.
Keluar dari ruang ganti, Zeona berpapasan dengan tiga orang pegawai lelaki.
"Pulang naik apa, Zeo?" Salah satu dari tiga lelaki itu bertanya.
"Naik ojol deh, kayaknya!" Zeona menjawab apa adanya.
"Oh ya, hati-hati ya!" seru ketiga lelaki itu berbarengan.
"Sipp!" Kedua jempol tangan Zeona terangkat ke udara.
Mengutak-atik ponsel. Zeona mendesah panjang. Karena belum sempat memesan ojol, benda pipihnya keburu mati. "Ah, sialan!" Zeona menggerutu. "Malah mati nih hape! Kalau kayak gini, aku pulang naik apaan?" Zeona meninju udara. Dia melirik kanan kiri, jalanan terlihat sangat sepi.
Memutuskan untuk beranjak. Saat akan mengayun langkah, satu tarikan mendarat di pergelangan tangannya. Sontak gadis bertubuh langsing itu menolehkan kepala. Mata Zeona melebar sempurna. "GIO!" Dan semakin membelalak ketika melihat dua lelaki lain muncul di belakang. "Dion, Jeff!" Seluruh tubuhnya langsung tremor.
"Hai Zeona! Pulang bareng kita aja yuk!" Ketiga lelaki itu menyeringai lebar seraya membantu Gio menarik tubuh Zeona untuk dimasukan ke dalam mobil.
"Lepasin tanganku!" Zeona memberontak. Sia-sia, karena kekuatannya tak seimbang. Zeona mengosong rongga dadanya untuk berteriak, "To--hmmmphh!"
"SHUT UP B*TCH!"
Makasih udah baca😊